MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Pintu

 Di ruangan ini hanya ada dua pintu. Pintu keluar, satu lagi pintu kamar bersalin. Aku duduk di depan seorang suster, wajahnya tanpa tersenyum. Ia sibuk mencatat segala macam data dari kertas yang berserakan di atas meja. Bahkan, ketika aku menatapnya, ia tak memedulikanku.

Sesekali, mataku melirik ke arah pintu bersalin. Sepi, tiada suara—tiada orang yang membuka pintu tersebut. Sebenarnya, malam ini aku sangat lelah—berangkat pagi dan sampai rumah ketika matahari tepat tenggelam, menyisakan langit yang muram. Aku bersandar di punggung kursi, melirik kembali ke arah pintu bersalin, andai ruangan ini memiliki pintu yang lain, mungkin aku dapat memalingkan sesaat pandanganku. Tiba-tiba, aku menemukan pintu, pintu yang terbuka di dalam kepala. 
Pintu yang kutemukan ini tidak jauh berbeda dengan kedua pintu di ruangan ini, namun ketika aku membukanya, jelas terlihat peristwa-peristiwa yang sudah terlewati. Baiklah, aku namai pintu ini adalah pintu ingatan.

***

Pintu ingatan terbuka. Istriku keluar dengan perut buncit dari pintu kamar, aku duduk di sofa setelah menutup pintu.

“Ayah sudah pulang?” tanyanya dengan senyum manja.
“Hari ini tidak ada pekerjaan yang penting.” Jawabku.
“Tidak ada yang penting, atau karena pesan yang mamah kirim?”
“Pe.. pesan?” aku heran.
“Gugup? Bukankah kita sudah menikah dua tahun yang lalu, mengapa masih juga canggung. Atau ayah memang mempunyai kesalahan besar.” Selidik istriku.

Aku diam. Tanganku meraba-raba saku celana dan baju, mencari handphone, tak juga didapati, lalu aku mengingat-ngingat dimana ditaruh benda yang menjadi bagian kedua terpenting setelah kebutuhan makan.

“Ah, ayah baru ingat! Handphone tertinggal di loker ruang kerja.” Seruku.
“Tertinggal? Tak biasanya ayah meninggalkannya? Apa mamah bilang kemarin, ayah sudah bosan dengan mamah?” Istriku duduk, ia memandang mataku.
Aku juga memandang matanya—ada gambaran aneh dari sorot matanya, sebuah api yang perlahan menyala lebih terang.
“Siapa yang telah menelepon ayah hari ini?” tanyanya.
“Tak ada.” Jawabku, sambil mengingat-ngingat.
“Mamah akui sekarang sudah tak cantik lagi, badan juga sudah membesar. Kata orang, dalam keadaan seperti ini banyak suami yang sudah tak cinta lagi.”

Aku diam—tidak seharusnya istriku menduga seperti itu, sebab cinta tidak bisa diukur oleh sebuah sikap.

“Cinta? Mengapa juga kita harus membahas cinta? Bukankah aku menikahimu, dan bertanggung jawab atas nafkahmu.” Suara tegas kepadanya.
“Itu perkara mudah! Mamah sudah tidak menemukan keromantisan dari ayah, semenjak kita menikah. Tidak ada bunga, tidak ada perayaan ulang tahun dan tidak ada ciuman yang mesra, seperti masa pacaran dulu.”
“Apa yang kau pikirkan?” aku mulai marah mendengar ucapan istriku yang terkesan menghakimi sikapku.
“Ayah sudah bosan bukan? Pasti sudah bosan denganku! Akhir-akhir ini sering duduk sendirian, tidak bergairah di dalam rumah.”
“Aku memang sendirian, sejak awal sudah kukatakan bukan? Bahwa aku hidup sendirian di dunia ini, tak ada sanak keluarga!”
“Bukan masalah itu!”
“Lalu masalah apa?”

Istriku menunduk—aku perhatikan wajahnya, lambat-laun berubah muram, dan perlahan tetes air mata membasahi kedua pipinya. Wanita jika dibentak sedikit, pasti menangis, dan tiada guna jika aku meneruskan percakapan ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk meninggalkannya dalam kondisi seperti ini.

“Aku jadi merasa sedih dengan perubahan sikapmu, sikap ayah. Dulu, kita sering bersama ke mana-mana, tapi sekarang aku lebih sering di dalam rumah. Menunggu ayah pulang, menyiapkan makanan dan sesekali hanya keluar rumah, itupun hanya mengobrol dengan tetangga.”

Aku menarik napas. “Inilah kenyataan kita. Sebagai laki-laki, aku tidak mungkin selalu ada di dalam rumah, aku ingin banyak tahu tentang segalanya, ingin membaca, ingin belajar, ingin bergaul dengan orang-orang agar aku dapat mengetahui segala yang belum pernah aku ketahui, terkadang aku juga terpaksa mengikuti keinginan orang-orang yang bekerja denganku.” Kataku.

“Aku mengerti. Dan aku sadar, aku sudah tidak bisa lagi ditempatkan di sampingmu bukan? Aku ketinggalan jaman, tidak seperti wanita lain yang lebih berpendidikan, lebih mudah bergaul dengan orang-orang, bahkan mereka lebih luang waktunya. Aku sudah sangat membosankan dimatamu.”

“Janganlah merendahkan diri sendiri! Karena sejelek-jeleknya manusia adalah yang merasa dirinya hina di mata orang lain.”
“Benar kataku bahwa aku sudah jelek dan membosankan!”

Usai berkata istriku bangkit dari duduknya, kemudian ia masuk kamar dan menutup pintu kamar dengan cara dibanting. Suara berdentum mengejutkan—aku tersadar, kemudian menatap ke sekeliling ruangan.

***

Beberapa suster mendorong sebuah kursi roda, ada seorang ibu duduk di kursi itu. Dia akan melahirkan. Namun, darah berceceran dari sela-sela pahanya, suster-suster itu ribut kepada suster yang lainnya, aku sendiri tak tahu persis apa yang mereka katakan. Pintu keluar dan pintu bersalin terbuka, orang-orang hilir mudik, bahkan ada yang menangis. Kemudian, mereka mendorong kursi roda, membawa ibu itu masuk ke dalam kamar bersalin. Kedua pintu itu tertutup bersamaan, meninggalkan suara dan sejurus kemudian hening.

Di ruangan ini aku sendiri. Suster yang berada di depanku juga ikut tak ada, aku menatap pintu keluar, sepi. Aku melirik ke pintu bersalin, semakin sepi. Mataku berkeliling ke tembok-tembok ruangan, ada beberapa foto contoh proses kehamilan dan satu papan informasi yang masih kosong. Rupanya, ruangan ini dipenuhi kekosongan.
Pintu keluar terbuka, seorang dokter masuk diiring oleh suster yang kulihat tadi sedang sibuk mencatat data.

“Peralatan sudah siap?” tanyanya.
“Sudah.” Jawab suster sigap.

Mereka masuk ke dalam kamar bersalin, dan pintu tertutup kembali. Sebenarnya, aku ingin menanyakan sesuatu ke dokter itu, tetapi mulutku tiba-tiba terkunci ketika melihat mereka tergesa-gesa.

Beberapa menit sudah berlalu, ruangan ini hening. Aku merasa cemas dengan keheningan ini, teringat akan kematian. Bukankah kematian datang bersama keheningan, dia menyusup dan mengambil nyawa manusia tanpa ampun. Aku teringat Tuhan.

Pintu kamar bersalin terbuka. “ Anda suaminya?” tanya suster.
“Suami siapa sus?” tanyaku lagi sebab ada seorang ibu yang masuk juga ke dalam kamar itu setelah istriku.
“Nyonya May.” Jawab suster.
“Iya. Bagaimana dengan keadaannya?”
“Pendaharannya hebat, kami membutuhkan darah segera, harap bapak menulis formulir permintaan darah.”
Suster itu mengambil formulir dan pena, kemudian menyodorkan kepadaku. “Ini dicatat dan di tanda tangani, setelah itu bapak membayar di kasir.” Katanya.
“Saya tak bawa uang sus!”
“Tapi ini penting pak?”
“Iya, tapi sebenarnya saya sudah tak punya uang lagi.”
“Kami tidak bisa bekerja tanpa darah itu, dan nyawa istri bapak tergantung dengan darah itu, ia kehabisan darah banyak.”

Aku diam sejenak—kepalaku menerawang kemana saja, mencari nama-nama yang dapat dimintai pinjaman, tapi tak juga didapatkan. Kuraba kantong, handphone bisa menjadi penyelamat, jika dijual. Tetapi, aku teringat benda itu tertinggal di loker.

“Pakai darahku!”
Suster itu menatap mataku, ia mencoba memastikan ucapanku. “Apa golongan darah bapak?” tanyanya.
“Tidak tahu.” Jawabku sebab aku memang tak pernah memeriksa darah.
“Wah, jika tak sama akan lama lagi.”
“Pakai saja! Saya yakin sama, dia istriku dan aku suaminya tak mungkin berbeda. Percayalah!”

Suster itu keheranan. “Pak, saya tahu keadaannya genting. Tapi, bapak juga harus sadar dan bersabar.” Katanya.
“Suster, Hawa tercipta dari rusuk Adam bukan? Jadi jangan menunda lagi, lakukan pemeriksaan dan ambil darahku!”
“Baiklah, bapak yang bertanggung jawab.”

Setelah itu aku digiring masuk ke dalam kamar bersalin. Sempat aku melihat istriku yang tergeletak tak sadarkan diri. Pintu ingatan itu terbuka kembali, ketika ia membanting pintu. Beberapa menit kemudian aku mendengar suara jatuh, kemudian pintu kamar terbuka. Istriku berdiri dengan darah mengalir dari sela pahanya, ia berkata: ayah, pendarahan!

***

Mataku berkunang-kunang, kepala terasa sedikit pusing dan pergelangan tangan kesemutan. Aku berbaring di samping istriku, darah mengalir dari selang infus. Ia tengah mengalami masa krisis akibat mengalami pendarahan, dan aku masih menunggu kabar dari rumah sakit tentang nasib anakku.

“Anda baik-baik saja?” tanya dokter.
“Lumayan dok. Bagaimana dengan nasib anakku?” tanyaku.
“Terpaksa harus kami keluarkan, ia telah meninggal di dalam kandungan.”

Hatiku bagai ditusuk oleh pedang—sangat nyeri. Dia yang aku nanti tak bisa memenuhi harapan, aku memandang langit kamar. Putih dan kosong. Rupanya pintu harapan masih tertutup untukku, pintu yang akan mengeluarkan sebuah impian tentang penerus keturunan. Aku memandang istriku, dia masih belum sadarkan diri. Pintu ingatan terbuka kembali, tentang pesan yang dikirim istriku, lalu pintu apa lagi yang akan terbuka setelah aku membaca pesan itu?

(2013)
Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893