BANGUN KEPRIBADIAN LEWAT TEATER
Berkarya dengan kejujuran bagai memberi kecerahan dalam berpikir dan menyadarkan hati tentang eksitensi diri. “Yang fana adalah ketakutan, yang abadi adalah keberanian, yang tunggal adalah kasih sayang.”
Demikian kutipan singkat seniman satu ini. Eksitensi Nana Sastrawan sangat melekat dalam jiwa dan raganya. Tak pelak pria yang kini berusia 28 tahun sudah melanglang buana ke berbagai daerah guna mementaskan segudang tema dengan berbagai komunitas. Salah satunya Komunitas Teater Nusantara. Nana yang lahir di Kuningan 27 Juli 1982, mulai bergelut di bidang seni ketika dirinya menginjak kaki di bangku SMP Negeri Mandirancan 1 Kuningan. Tulisan pertamanya berupa puisi mengenai kisah hidup dan cintanya. “Saya menulis pertama kali ketika masih di SMP, dan kemudian tulisan saya dijadikan naskah untuk teaterikal”, ujarnya kepada Satelit News kemarin.
Meski tidak memiliki garis keturunan sebagai seniman, Nana tetap menekuni hobinya di bidang puisi hingga menjadi seni teater. Sekitar tahun 2004, Nana bergabung dengan Forum Lingkar Pena ( FLP ). Meski sempat vakum saat SMA, Nana tetap merintis prestasi seni yang dimilikinya, baik di bidang puisi maupun teater. “Keinginan saya untuk menulis puisi dan bergelut di bidang teater. Melalui tulisan, saya ingin membuat orang sadar akan dirinya sendiri,” tandas pria bertumbuh rampin ini.
Keberanian untuk tampil di muka umum menjadi bekal bagi lelaki yang kini menjadi salah satu sastrawan dan seniman di tangerang. Kang Nana sapaan akrabnya, kemudian melebarkan sayapnya dengan rekan sejawatnya di STKIP Kusuma Negara Jakarta dengan merintis Komunitas Pasca Goer ( Pasukan Calon Guru ). “Saya melihat ada potensi di kampus ini, kemudian saya mengajak teman-teman untuk bergelut di bidang teater berbekal pengalaman yang saya miliki. Setelah bergabung dengan Teater Nusantara saya mengajar dan merintis Pasca Goer untuk mementaskan puisi berjudul Suara-suara bumi,” ungkapnya.
Pementasan panggung teater yang dilakoninya dengan Komunitas Teater Nusantara rupanya menorehkan sejumlah prestasi, beberapa di antaranya berupa piagam penghargaan saat mengikuti peringatan 100 hari Rendra, pementasan Walhi ( Wahana Lingkungan Hidup ) tahun ini. Bahkan sejumlah buku juga sudah diluncurkan Nana, karya tunggalnya seperti Tergantung Di Langit ( 2006 ), Nitisara ( 2008 ), Kitab Hujan ( 2010 ). Sedangkan karya bersama, yakni Menggenggam Cahaya ( 2008 ) dan Gempa 30 September ( 2010 ). “ Tahun ini saya juga tengah merampungkan dua naskah novel serta cerpen yang digarap ramai-ramai dan tunggal,” pungkasnya. ( aditya/ulfa )
comment 0 komentar
more_vert