Pada saat saya sekolah di tingkat tiga menengah atas, ada seorang siswa berlari dari dalam kelas menuju kantor guru.
“Bu guru, Pak Sarkawi kejang!”
Semua guru yang tengah berada di dalam kantor terkejut, kemudian mereka
berlari mengikuti siswa tersebut. Ya Tuhan. Di tengah kelas seorang
pria tua tengah kejang-kejang, dari mulutnya mengeluarkan busa. Semua
siswa hanya berdiri mematung memerhatikan pak Sarkawi, wajah mereka
sangat tegang. Mungkinkah pak Sarkawi sedang sakaratul maut? Tak ada yang bisa melakukan apa-apa.
“Bagaimana ini?” tanya seorang guru muda.
“Biarkan saja dulu!” jawab seorang guru tua.
Semua diam memerhatikan pak Sarkawi kejang-kejang di atas lantai di
depan kelas. Ada beberapa siswa yang berbisik dengan temannya, sambil
sesekali nyengir. Ada juga yang menangis, mungkin dia merasa sangat
kasihan kepada pak Sarkawi yang sudah lanjut usia itu. Ada juga beberapa
siswa yang cuek sambil memainkan ponsel, lalu memotretnya. Mungkin dia
akan meng-upload ke media sosial.
Klik.
***
“Sebaiknya Bapak pensiun saja…,” ucap bu Sarkawi.
Mata pak Sarkawi memandang langit rumah. Wajahnya gelisah, semakin gelisah ketika mendengar ucapan bu Sarkawi.
“Bapak masih ingin bekerja Bu.”
Bu Sarkawi memandang wajah pak Sarkawi. Seorang laki-laki yang telah menikahinya tiga puluh tahun lalu.
“Iya… Ibu mengerti. Tapi kesehatan itu penting!” suara bu Sarkawi sedikit tegas.
Pak Sarkawi terdiam. Kemudian dia bangkit dari tempat duduknya,
melangkah ke luar rumah. Bu Sarkawi memandang haru, walaupun
kehidupannya tidak dikarunia seorang anak, namun dia dan suaminya tidak
pernah ribut, selalu merasa bahagia setiap hari.
Pintu rumah
dibuka, udara pagi berhembus. Terasa dingin, kabut-kabut merendah di
pucuk-pucuk daun seperti gumpalan asap mengaburkan pandangan. Mata pak
Sarkawi berusaha menembus kabut-kabut itu, dia ingin melihat peristiwa
dibalik kabut. Peristiwa yang mungkin bisa mengembalikan usianya ke masa
lalu dimana dia tidak pernah merasa lelah, tidak pernah dilarang oleh
istrinya untuk bekerja. Baginya, bekerja adalah sebuah ibadah, yang
harus selalu ditunaikan dalam keadaan apapun.
Pak Sarkawi
duduk di beranda rumah. Beberapa orang melintas dan menyapa dengan
ramah. Maklum, pak Sarkawi dikenal sangat baik di lingkungan sekitar.
Memang sejak kepindahannya ke tempat ini, sebuah kota kecil di bawah
kaki gunung pak Sarkawi selalu bergaul dengan baik. Mungkin, yang
dilakukan olehnya adalah sebuah tuntutan pekerjaan untuk seorang guru
yang ditugaskan oleh Negara ke tempat ini.
Matahari mulai terbit
dari timur. Perlahan cahayanya mengurai kabut-kabut hingga tembus ke
beranda rumah pak Sarkawi. Kabut-kabut itu pada akhirnya lenyap, suasana
semakin terang benderang. Rasa dingin berubah menjadi hangat, dan
orang-orang semakin bergegas untuk berangkat bekerja.
“Teh hangatnya diminum dulu Pak…”
Bu
Sarkawi menghampirinya, lalu meletakkan sebuah cangkir besar yang
terbuat dari keramik. Lalu dia masuk lagi, dan beberapa menit kemudian
bu Sarkawi muncul kembali dengan membawa sepasang sepatu. Tanpa ada
komando dari pak Sarkawi, dia memakaikan sepatu ke kedua kaki pak
Sarkawi. Sungguh pemandangan yang mengharukan, seorang istri yang begitu
mulia terhadap suaminya. Pak Sarkawi memandang kepala bu Sarkawi yang
tengah memakaikan sepatu. Rambut di kepala bu Sarkawi sudah banyak yang
putih, menandakan bahwa mereka tidak muda lagi.
“Ada kabar apa
dari Sahrul semalam?” tanya pak Sarkawi. Setelah selesai, bu Sarkawi
bangkit dan duduk di samping pak Sarkawi.
“Sahrul akan diwisuda bulan depan.”
Mata pak Sarkawi terlihat bercahaya, lalu berkaca-kaca. Semalam dia
sudah sangat lelah hingga tertidur pulas, padahal Sahrul akan
meneleponnya.
“Semoga anak itu menemukan nasib yang baik.”
“Pasti Pak… Tuhan tidak mungkin memberikan nasib buruk kepada umatnya yang baik….” Bu Sarkawi tersenyum.
Pak Sarkawi memandang wajah bu Sarkawi. Kebahagiaan mereka jelas
terlihat, Sahrul adalah seorang yatim-piatu yang diasuh oleh mereka.
Disekolahkan, dididik dan diberikan kasih sayang oleh mereka seperti
anak sendiri.
Tiba-tiba ada sepeda motor berhenti di halaman rumahnya. Seorang laki-laki setengah baya turun, dan menghampiri mereka.
“Mari Pak Guru…” ucapnya.
“Sebentar Pak Parmin.” Pak Sarkawi bangkit.
“Masuk dulu Pak Parmin, ngopi dulu!” ajak bu Sarkawi.
“Terima kasih Bu.” Pak Parmin masuk ke beranda rumah dan duduk.
Bu Sarkawi segera masuk ke dalam rumah, beberapa saat kemudian kembali
membawa segelas kopi dan sepiring pisang goreng. Sementara itu Pak
Sarkawi masuk ke dalam kamarnya, dia mengambil tas. Matanya tertuju ke
sebuah amplop di samping tas pinggangnya yang biasa dibawa olehnya untuk
mengajar. Sebuah surat dari kepala dinas yang meminta dirinya untuk
tetap mengajar walaupun sudah pensiun, sebab belum ada guru pengganti
yang dikirim oleh kantor pusat. Sementara mencari guru honor sudah
semakin sulit, kebanyakan guru-guru muda memilih mengajar di
sekolah-sekolah swasta yang gajinya besar.
Dibuka amplop itu,
dan dibaca isinya. Ada senyum puas ketika membaca surat dari kepala
dinas itu, seolah dia tengah mendapatkan medali emas untuk sebuah
penghargaan bagi dirinya yang sudah berpuluh tahun menghabiskan hidup
untuk berbakti kepada Negara.
“Pak…,” panggil bu Sarkawi.
Pak Sarkawi tersadar, lalu ditutup kertas itu dan dimasukan kembali ke dalam amplopnya.
“Sudah siang…,” kata bu Sarkawi sambil tersenyum di pintu kamar.
Pak
Sarkawi segera beranjak dari kamarnya, lalu berpamitan kepada bu
Sarkawi. Lalu melangkah ke luar rumah dimana pak Pamin sudah siap untuk
mengantarnya ke sekolah. Setiap hari, pak Parmin selalu mengantar dan
menjemput pak Sarkawi, dia adalah ojek langganan keluarga Sarkawi.
|
Cerpen Renungan : Epilepsi |
Semua siswa berkumpul di lapangan sekolah, sementara petugas upacara
sibuk mempersiapkan diri untuk melaksanakan upacara bendera. Hari senin,
adalah simbol bagi seluruh siswa di seluruh pelosok negeri untuk
membakar semangat rasa nasionalisme dimana bendera Negara Indonesia
dikibarkan.
Para guru berbaris di depan, dan beberapa berjaga
di pintu gerbang untuk menghadang siswa yang terlambat atau siswa yang
bersembunyi untuk tidak mengikuti upacara bendera. Wajah mereka sangat
garang, seolah memang sudah sengaja dipilih guru yang berwajah garang
berada di depan gerbang sekolah.
Pagi itu, awan tidak
bercahaya namun tidak panas. Matahari bersinar akan tetapi bukan musim
kemarau, begitu sejuk. Kepala sekolah tersenyum puas dengan situasi pagi
ini, dia pasti akan mendapatkan penghargaan karena upacara bendera akan
berjalan tertib dan khidmat. Dia juga diminta untuk menjadi pembina
upacara, tentu ini adalah kesempatan bagi dirinya untuk menunjukan jiwa
kepemimpinan.
Sebagian guru ada yang terkagum-kagum melihat senyum
kepala sekolah, sebagian lagi mencibir. Entah, apa makna dari semua
wajah yang berada di lapangan ini, akan tetapi segalanya terasa sangat
berbeda. Saya merasakan bahwa sekolah yang besar dan megah yang dibangun
dari dana pemerintah terasa hambar, sebab saya belum melihat pak
Sarkawi. Entah sejak kapan juga saya menyukai guru itu, rasanya jika
diajar olehnya saya merasakan kenikmatan.
Protokol membacakan
teks, pemimpin upacara memasuki lapangan upacara, seluruh peserta
disiapkan. Lalu petugas upacara menjemput kepala sekolah untuk naik
podium. Setelah itu, pengibaran bendera lalu mengheningkan cipta dan
membacakan teks UUD 1945. Kemudian pembaca teks pancasila, dan tibalah
pada amanat pembina upacara.
Kepala sekolah membetulkan letak
mikrofon, senyumnya masing mengembang. Dia berdehem, semua mata tertuju
padanya. Tetapi mata saya tertuju ke luar gerbang, pak Sarkawi sedang
dibonceng motor, dia terlambat. Disaat kepala sekolah akan mengucapkan
salam untuk membuka pidatonya, saya berseru.
“Pak Sarkawi kejang-kejang!”
Kemudian saya berlari ke luar sekolah. Saya melihat dengan mata kepala
sendiri bahwa pak Sarkawi jatuh dari motor, dia diserang oleh
penyakitnya ketika motor masih berjalan. Penyakit epilepsi yang sudah
lama diderita oleh guru pensiunan itu, guru yang masih mau mengajar
meski sudah sangat tua.
Semua guru berlarian ke depan gerbang.
“Bagaimana ini?” tanya seorang guru muda.
“Biarkan saja dulu!” jawab seorang guru tua.
Semua diam memerhatikan pak Sarkawi kejang-kejang di atas aspal. Ada
beberapa guru yang berbisik dengan temannya, sambil sesekali nyengir.
Ada juga yang menangis, mungkin dia merasa sangat kasihan kepada pak
Sarkawi yang sudah lanjut usia itu. Ada juga beberapa guru yang cuek
sambil memainkan ponsel, lalu memotretnya. Mungkin dia akan meng-upload ke media sosial.
Klik.
Kepala sekolah datang dengan senyum mengembang. Pak Sarkawi meninggal
dunia tanpa disadari oleh semuanya. Sementara itu, angin berhembus pelan
mengibarkan bendera merah putih di atas tiang. Di tengah lapangan siswa
menatap heran, apa yang sebenarnya terjadi di luar gerbang, mereka
saling pandang.
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert