“Anggi, dengarkan aku!”
“Nggak, aku nggak mau!”
“Anggi! Anggiii!”
Dia membanting pintu kamarku kemudian berlari ke luar rumah. Aku tak boleh kehilangan dia. Pikirannya lagi kacau, aku tak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan padanya. Aku harus bertindak.
Aku mengejarnya. Anggi sudah berada di tengah jalan, ini sangat serius. Dia bisa tertabrak mobil, dia bisa mati. Aku terus berlari hingga berada tepat di sampingnya kemudian kutarik dia ke pinggir jalan.
“Bodoh!”
“Aku memang bodoh!”
Anggi menangis tersedu-sedu, kemudian dia membenamkan wajahnya ke dadaku. Suara tangis yang sangat menyayat hati. Terdengar pilu dan sepi. Seolah hidup sudah tak pernah berarti baginya, sangat tidak berarti.
“Aku tahu kamu menyesali semuanya. Tapi… bukan begini caranya. Ini sama saja dengan kamu membunuh masa depan. Dan orang yang membunuh masa depannya, dia tidak akan pernah diterima dimanapun. Masa depan harus diperjuangkan, ingat itu Anggi!”
“Aku sudah tidak punya masa depan Na!”
“Kamu punya Anggi. Masa depan ada di tanganmu, bukan dari orang lain. Kamu harus hidup, harus!”
Perlahan wajahnya terangkat, matanya berkaca-kaca menatapku. Kupegang erat pundaknya, Anggi adalah perempuan yang cantik, rajin, baik hati dan tentu saja cerdas. Ini persoalan cinta yang rumit. Sebab cinta bisa menjerat siapa saja untuk masuk ke dalam sebuah lubang hitam kehidupan. Dan cinta juga bisa menjerat siapa saja untuk masuk ke dalam lubang keindahan dalam hidup.
“Kamu melakukannya atas dasar cinta bukan? Aku yakin, laki-laki yang menghamilimu juga pasti mau bertanggung jawab. Dia juga pasti mencintaimu, pergilah padanya. Katakan yang sejujurnya, dan ajak dia untuk naik ke pelaminan.”
“Ak… aku takut.”
“Ketakutan itu awal keberanian. Berdoalah pada Tuhan agar semuanya berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang kamu harapkan.”
Matanya perlahan berubah biru.
“Apa Tuhan masih memaafkanku dengan dosa ini?”
“Jika ingin bertobat,jangan berpikir apakah Tuhan akan mengampuninya. Tapi, berusahalah untuk selalu terhindar dari perbuatan dosa. Tuhan punya caranya sendiri untuk kita, untuk umatnya.”
Anggi tersenyum. Wajahnya berseri kembali seperti pertama kali aku mengenalnya. Seorang perempuan dengan segala keindahannya, tidak pernah luluh selamanya jika dia tetap berada dalam lingkaran yang benar. Begitupun cinta, akan selalu menebarkan keindahan bagi para pecinta selama mereka berada dalam lingkaran Tuhan.
Seminggu kemudian aku menatap Anggi di kursi pelaminan, wajahnya semakin berseri-seri, walau perutnya tidak langsing lagi. Namun, pernikahan tetap sebuah ritual yang sangat menggembirakan bagi siapa saja. Inikah cinta yang sebenarnya? Aku tak pernah bisa menyimpulkan apa yang terjadi, semua kehendak Tuhan, semua telah ada jalannya masing-masing. Hanya butuh perjuangan untuk mempertahankan diri untuk tidak keluar dari jalan, sebuah jalur kehidupan yang fana.
“Nana Sastrawan!” panggil Anggi.
Aku menghampiri mereka,lalu berfoto bersama.
comment 0 komentar
more_vert