Pada
23 Oktober 2018 di Aula terapung perpustakaan Universitas Indonesia ramai
mahasiswa dan mahasiswi UI dari berbagai Fakultas, komunitas sastra dan seni
se-jabodetabek, para penyair, kritikus dan penulis memadati ruangan dalam acara
peluncuran buku terjemahan penyair sebagai hasil laporan kerja dari penyair
Taufiq Ismail. Acara itu juga didukung oleh berbagai lembaga Nasional dan
Internasional, suatu peristiwa penting dalam perkembangan sastra Indonesia di
era milenial ini. Nana Sastrawan diundang secara khusus dalam acara tersebut,
dia diminta tampil membacakan puisi karya Taufiq Ismail. Nana Sastrawan tentu
saja menyambut dengan gembira, dia memilih puisi Taufiq Ismail berjudul ‘Tentang
Joki Jam Sembilan Pagi’ yang diambil dari buku ‘Malu (Aku) jadi orang Indonesia’
karya Taufiq Ismail.
Bagi
Nana Sastrawan, puisi itu sangat tepat dibacakan dipuluhan orang-orang yang
datang dari berbagai kalangan, puisi itu seolah menjadi cerminan situasi negeri
ini. Seorang seniman, musisi, sastrawan, dramawan memiliki peran penting dalam
kemajuan bangsa, mereka mesti dapat hadir sebagai pemberi solusi sekaligus
kritikus melalui karya-karyanya. Nana Sastrawan mengingatkan juga kepada para
mahasiswa dan mahasiswi untuk tidak terlalu berleha-leha dalam kenyamanan
fasilitas, justru mereka harus memanfaatkan fasilitas untuk berkarya, berkarya,
berkarya!
Inilah
puisi karya Taufiq Ismail yang dibacakan oleh Nana Sastrawan. Suasana hening
ketika Nana Sastrawan membacakan puisi itu secara dramatis, dan sorak-sorai
dari penonton usai pembacaan puisi itu selesai.
Beras berkata kepada saya, bahwa
kacang kedele dan kelapa sawit, ayam daging, sapi
inseminasi, ikan laut, dan ikan daratan, semua dalam keadaan segar bugar
tidak kurang suatu apa. Dia tidak menyebut mengenai apa yang dihasilkan
hutan yang lama terbakar dan saya lupa pula menanyakannya,
Mesin giling menelponku baru-baru
ini, bilang bahwa industri elektronika, komponen
cip, kimia dasar, seluloid, otomotif, telekomunikasi, alat-alat berat, kereta
api,
kapal laut dan kapal terbang dalam situasi menyenangkan dan sehat-sehat. Dia
tidak berkisah tentang orang-orang yang berhasil menggerek lobang-lobang
besar di bawah lantai bank dan rasanya aku sudah tahu jalan ceritanya,
Aspal bertanya kepada saya apa
hubungan semua ini dengan kesenian. Seorang anak
kecil yang jadi joki jam sembilan pagi di jalan Thamrin cepat menjawab, “oom
aspal, kesenian itu bagian dari kebudayaan, ekonomi bagian dari kebudayaan,
sehingga mengacungkan jari di tepi jalan seperti saya ini juga bentuk seni,
agar
saya dapat uang seribu sebagai joki untuk mendapat ekonomi.”
“Anak bijak, siap gerangan namamu?”
tanya saya.
“Ronggowarsito,” jawabnya segera
“Ah, kamu,” kata saya. Dia
bersiul-siul.
“Siapa namamu?”
“Ronggowarsito,” jawabnya pelan.
Dia bersiul-siul, lalu mengumam lagu.*)
Jaman
Edan
Amenangi
jaman edan
Ewuh
aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan waspada
Zaman
Edan
Hidup
di zaman edan
Suasana
jadi serba sulit
Ikut edan tak tahan
Tak ikut
Tak kebagian
Malah dapat kesengsaraan
Begitulah kehendak Allah
Sebahagia-bahagia orang lupa
Lebih bahagia orang sadar dan waspada
Kemudian saya berjalan dengan
sahabatku Ronggo mengurus bisnis ke Sudirman Central Business District,
menyeberang ke Panin Centre, masuk ke Parkview Apartment, mencari logo di
Jakarta Design Centre, lalu Ronggo minum milk shake dan aku makan banana split
di Pondok Indah Mall, memikirkan keuangan dunia di Jakarta Stock Exchange
Building, makan angin di Royal Sentul Highland, memeriksakan mata di Jakarta
Eye Centre, mencari kontrakan rumah di Luxury California Town Houses, kemudian
mandi-mandi di Lido Lake Resort. Edan.
Kemudian saya berjalan dengan sahabatku
Ronggo ke pekuburan di pinggiran kota, suram berkabut suasananya, kambojanya
kering-kering kulit dahannya, rumpun bambunya gemersik ditegur angin yang
kurang bersemangat melakukan tiupannya, aneh aku berpikir tentang di mana
gerangan mahkamah pengadilan ketika melihat nisan berjajar, ada yang bertulisan
R.I.P., ada yang berkaligrafi alif-lam-wau-alif-lam-ra, dan kubaca nama Abadi,
Pedoman, Indonesia Raya, KAMI, Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, editor, DeTik.
Di mana alamat mahkamah pengadilan, berapa nomor teleponnya dan tolong beri
saya nomor faksimilenya? Edan.
Lalu saya mengingat Perburuan,
Mastodon dan Burung Kondor, Wasdri, Sam Pek Eng Tay, Opera Kecoa, Pak Kanjeng,
Demi Orang-orang Rangkasbitung, dan demikian panjang daftar pencekalan, yang penjelasannya
pada satu meja berbunyi A, di meja lain A-aksen, di meja berikutnya A-dua
aksen. Edan.
Kemudian debu Galunggung, Kedung
Ombo, SDSB, Gamalama, Liwa, Nipah, Timor Timur, Marsinah yang masuk kubur,
keluar kubur dan masuk kubur lagi, Palestina, Bosnia, Chechnya yang tiada
reda-redanya. Edan.
Memasuki mesin waktu saya berlari
bersama sahabatku Ronggo menghindari badai prahara yang memutar suasana,
menjepit dan menggencet semua. Mereka mengejar-ngejar orang, melarang buku,
merampoki perpustakaan, menimbun dan membakari buku, memaksakan ideologi seni,
membabat penerbit independen dan membawa panji tujuan menghalalkan cara.
Kemudian prahara reda, orang-orang bekerja, tapi ada juga yang mencoba
membengkokkan sejarah dan bila diluruskan kembali, ini disebut membalas dendam.
Edan.
Mas Ronggo, selamat jalan. Dia
melengkapi kendaraan 3-dalam-1. Mas Ronggo, selamat jalan mengais nafkah yang
jernih dan bersih …
***
Sesudah melambai Mas Ronggo saya
termangu di pekarangan Cikini Raya 73. Setiap bentuk seni punya masalah yang
tak kunjung usai dan selesai. Film makin jauh dari cita-cita menjadi tuan rumah
di negeri sendiri, serbuan medium televisi telah mengguncang negeri, seni rupa
belum punya Galeri Seni Rupa Nasional, pencekalan kambuhan pementasan teater masih
terasa, dikotomi tari daerah dan nasional, musik yang terus mencari dan
mencari, dan sastra yang jalan di tempat. Pendidikan tinggi kesenian tak
putus-putus mencoba menemukan bentuknya yang tepat guna. Sekeping potret sesaat
perlu, tapi tidak sepatutnya kita dibelenggu daftar keluhan, karena modal kita,
yaitu cita-cita bersama, masih ada.
Pidato kesenian ini tidak
menuliskan resep manjur untuk pelaksanaan praktikal, dia cuma merangsang
beberapa dahan perasaan dan fikiran lewat bentuk puisi. Dia menegaskan akar
Indonesia dalam tahun ke-50 usia negeri ini. Dia mencoba mengingatkan bahwa
dalam gelombang besar materialisme, keserakahan dan rasa tak acuh pada
penderitaan manusia di dunia ini, pemberhalaan terhadap apa pun ditolak.
Kesenian kita adalah kesenian yang bermanfaat bagi manusia serta lingkungannya
dalam dataran bumi, dan bermakna maksimum dalam garis tegak lurus menuju Yang
Maha Pencipta Keindahan. Dalam pelaksanaan kesenian seniman tidak dapat
mengasing duduk mencangkung di sebuah pulau alit, atau berjalan sendiri tanpa
mengindahkan siapa-siapa. Dia percaya pada bentuk kerjasama dan selalu
menghargainya. Dia memerlukan kemerdekaan kreatif, dan untuk itu dia tahu bahwa
akan ada kemungkinan benturan. Dia percaya pada hati nuraninya dan yakin pada kekuatan
doa. Perasaannya akrab dan lekat pada orang-orang malang dan berkekurangan.
Seninya adalah untuk mengingatkan.
1995
*) Abad 19, Bait ketujuh Serat
Kalatida, terjemahan Slamet Sukirnanto
Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang
Indonesia (Yayasan Indonesia, Jakarta, 1998)
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert