MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Membaca Dunia Secara Asing (Sebuah Epilog Kumpulan Puisi “Kitab Hujan” Karya Nana Sastrawan)

Oleh : Handoko F Zainsam - Pemerhati Sastra, Penggagas Komunitas Mata Aksara (KoMA)


KARYA adalah hasil dari suatu kontemplasi, pendataan, observasi, dan berbagai renungan menanggapi sebuah peristiwa. Tak heran, karya kadang memiliki sifat yang sangat personal dan kadang memiliki nilai yang mampu dinikmati secara umum.

Sebuah karya sastra, memetik pendapat Goldmann dalam “The Epistemologi of Sociology” (1981:55-74), pada dasarnya merupakan sebuah pengungkapan atau proses menyatakan pandangan dunia secara imajiner. Karena itu, dalam pengungkapannya semua diciptakan dengan relasi-relasi secara imajiner pula.

Relasi-relasi yang dibangun dipusatkan pada elemen kesatuan pembentukan karya. Banyak elemen relasi pembentukannya. Satu diantaranya adalah aspek keindahan. Untuk mengurai unsur keindahan tersebut, banyak pula hal yang terkait di dalamnya.

Keindahan memiliki kaitan erat antara emosi estetis dengan “significant form”. Kalau Kant bilang form of purpose” (wujud yang bertujuan). Tujuan inilah yang sebenarnya akan menjadi hal yang mampu menggerakkan “mind” seseorang. Artinya, mereka bisa melakukan hal-hal yang diluar nalar atau rasio sebagi sideeffect-nya.

Mekanisme penggerak ini tercipta lantaran keindahan mampu mempengaruhi seseorang. Jika keindahan ini tak memiliki “penggerak” maka tak ubahnya seperti kecantikan yang terasing. Dan akhirnya, menghilangkan kecantikan itu sendiri. Alih-alih mengingatkan saya pada kisah Narsisus dalam mitologi Yunani. Tak ada yang bisa mengetahui keindahan itu selain tersampaikan.

Menggerakkan “mind” atau pikiran memiliki arti membangun imaji untuk menemukan suatu sensasi rasa dan menjalankan esensi wacana yang dibangun dari keindahan itu. Di sisi lain, keindahan karya juga merupakan sebuah mediasi semiotik.

Semiotik sendiri merupakan sederetan luas objek-objek, peritiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco 1979:6). Sedangkan tanda didefinisikan sebagai sesuatu tolak dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dianggap bisa mewakili sesuatu yang lain (Eco 1979:16).

Kedua hal tersebut menjadi titik tolak pemikiran saya untuk menegok Kumpulan Puisi “Kitab Hujan” karya Nana Sastrawan. Dalam puisi berjudul “Bimbang”. Saya menangkap, Nana Sastrawan secara apik memainkan sebuah tanda. Perpaduan antara estetik (keindahan) bahasa dan kode (semiotik) terjalin dengan lancar.

Untuk apa kau hancurkan istana
jika kau masih ingin menjaganya?

Kita ini tentara yang setiap waktu bisa mati oleh mimpi negara sendiri

dan akan menjadi tawanan dalam penjara yang paling kejam
dengan badan penuh luka

Sebuah pertanyaan awal yang menjadi jawaban atas pertanyaannya. Permainan logika pertanyaan menjadi titik awal jawabannya. Ini mengingatkan saya pada berbagai carut-marut masalah yang melanda negeri ini. Bahwa gejolak sosial masyarakat menyikapi negara menjadi padanan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan oleh masyarakat terhadap negara sendiri. Begitu kiranya saya menangkan sebuah kode budaya yang diletakkan dalam puisi ini.

Wacana ini menjadi sebuah lingkaran yang sangat tajam untuk menyikapi dan merenungkan kenyatan sosial dalam dunia nyata. Sadar atau tidak bahwa keseluruhan wacana memang tidak bisa dipahami tanpa bagaian dan bagian juga tidak bisa dipahamai tanpa keseluruhan. Pencapaian dialektik ini akan bergerak melingkar dan terus-menerus, tanpa diketahui tempat atau titik yang menjadi ujung pangkalnya. Goldmann (1977:5) bilang, “… the advance of knowledge is thus to be considered as a perpetual movement to and fro, from the whole to the parts and from the parts back to the whole again, a movement in the course of which the whole and the parts throw light upon one another.”

Nana Sastrawan dalam Kumpulan Puisi “Kitab Hujan” seperti menyajikan sebuah potret keprihatinan dan kepedihan menjadi social respons atas laku batinnya. Hal ini makin kentara ketika kita membaca puisi lainnya yang berjudul “Asing”.

Jika musim hujan menjatuhkan guntur kedalam rumahmu,
apa masih kau memberiku sebuah kursi?

Sekadar minum kopi sambil menikmati air hujan deras di teras rumahmu

dan kita saling bertukar sepi
membunuh dingin dengan nyala mata kita
menumbuk derita dalam tungku lalu dijadikan obat penawar rindu

kau tahu, jika aku seorang penyair yang setiap malam mengigau,
apakah kau masih mau tidur bersamaku?

Dan setiap malam kita akan mencari bintang untuk di tenun dalam kain kehidupan

namun, jika aku sebuah cermin retak
apakah kau akan melihat wajahku?

Aku akan melukis langit gelap di tepi jalan yang dijaga tentara
membawa guntur yang diamdiam tinggal di rumahmu
dengan mata menyala
lalu lemparkan sepi ke dalam hati mereka
dengan derita yang mereka olah untuk penawar rindu kita

kau tahu, aku akan menulis syair pembangkangan
dalam undangundang di tepi jalan itu
hingga kami tak asing di negeri sendiri

Dalam puisi ini, ke’asing’an penulis sangat kuat terasa. Hampir semua pengungkapannya diciptakan dengan relasi-relasi secara imajiner. Sedangkan keindahan memiliki keterkaitan erat antara emosi estetis dengan “significant form” dalam pencapaiannya

// Jika musim hujan menjatuhkan guntur ke dalam rumahmu,/ apa masih kau memberiku sebuah kursi? // Sekadar minum kopi sambil menikmati air hujan deras di teras rumahmu.

Hujan, guntur, kursi, kopi dan teras rumah mampu membangkitkan imaji yang pekat. Keindahan tutur disampaikan secara terbuka dan mengalir. Dalam tataran inilah, sepertinya penyair sadar betul fungsi kata—sebagai unsur bahasa (baca: penyampai)--untuk membangun “theater of mind”.

Kita sepertinya diajak untuk memasuki ranah imaji tanpa batas guna mendalami suasana dan kondisi keterasingan secara personal—yang selanjutnya bergerak secara masif di pembaca. Namun, pertanyaan-pertanyaan yang tak lagi membutuhkan jawaban terus menghantui pikiran, selanjutnya ini dimanfaatkan penulis menjadi sebuah kode tak henti yang terus dirangkai dan diciptakan.

Berbeda dengan kegetirannya dalam puisi “Hikayat Kemiskinan”

kemboja dan sepotong roti isi hati
tersaji di meja makan bersama gelas air mata
lalu perempuan tua merebus batu
dengan sumbu dari mesiu

Dalam puisi ini, kepedihan begitu kental diusung tiap-tiap kata dan kontradiksi yang dimunculkan mampu mengukuhkan gambaran pembangun suasananya. Menurut saya, inilah tonggak kekuatan yang cukup mapan dalam puisi Nana Sastrawan.

Namun perlu disadari, untuk suatu pertahanan membutuhkan nafas panjang dan management emosi yang tertata. Dalam hal ini, saya menemukan beberapa puisi yang terlalu rapi menyimpan maknanya. Akibatnya, sebuah tafsir makna yang cukup luas tak elak dihindari. Pun perlu banyak pisau untuk melakukan operasi bedahnya. Puisi sebagai medium penyampai seperti terbentur pada lorong-lorong persembunyian yang gelap dan kedap suara. Asyik dengan dirinya.

Ada pula patahan-patahan dan loncatan ruang kosongnya cukup terbuka lebar. Mungkin dengan kesadaran penulis, bahwa ia berusaha memberikan arena kosong untuk ruang tafsir. Personifikasi dan metafora terakit mapan, menjadi pemikat yang mampu menyihir sekaligus pembangun wacananya.

Akhir kata, selamat atas penerbitan buku puisi berjudul, “Kitab Hujan.” Untuk sahabatku Nana Sastrawan, semoga langkah tak hanya berhenti sampai di sini. Akan terus melahirkan karya-karya yang tak berkesudahan dan semakin memperkaya khasanah sastra Indonesia.

“Berkaryalah dan jangan sekedar bicara karya”


Ciputat, 15 Desember 2009
Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893