Setiap pagi, aku terbangun dengan buku yang baru saja dipinjam dari toko sepatu, tapi bukan di deretan sepatu. aku menemukannya di meja kasir yang penjaganya seorang wanita. kita berbincang tentang apa saja, tapi bukan sepatu. kita berbincang tentang canda dan diam. setelah itu kau mulai nakal dengan meminjam tubuhku dan memungut hidup dalam kepalaku lalu kita pun sepakat menukar buku.
buku yang hanya tiga bab
bab pertama
cerita tentang wajah yang muram
hitam, legam
guratan luka mendendam
ekpresi diam
dari wajah itu sering terdengar gaung dan penuh orangorang hitam mencangkulcangkul wajah, namun tetap saja hitam, meskipun sudah sampai dasar mereka terus saja mencangkul
bab kedua
hanya ada sepasang mata
meneteskan air mata
tak terhingga
dan air mata itu bersuara
menjerit bahkan tertawa
air mata itu menjadi gelombang pasang
menggulunggulung, semakin riuh
memporakporandakan sepasang mata
dan pecah
berhamburan air mata
lalu menjadi gelombang
dan gelombang itu saling menyerang
bab ketiga
hening
setiap sore, aku selalu berkunjung ke toko sepatu itu untuk mengembalikan buku. toko itu selalu tutup dan becek. hanya ada sepatu bot tergeletak, lalu ku tatap tajam dan aku menemukan buku yang sama penuh lumpur.
Puisi ini dibawakan Teater Nusantara di acara Kongkow-kongkow Apresiasi Puisi, 21 Februari 2010 (gambar atas) dan Launching Kitab Hujan di acara Deklarasi Pencinta Seni Budaya Tangerang Serumpun, 31 Januari 2010 (gambar bawah)
comment 0 komentar
more_vert