MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Rambut


Sudah 9 bulan aku mengumpulkan rambut putih di kepalaku. Yang panjang atau pendek. Kepalaku pun sedikit demi sedikit mulai botak seperti ada purnama di tengah kepalaku. Inilah aku pikir hidupku tak lama lagi. Akan tetapi usiaku masih 30 tahun, entah kenapa rambutku cepat sekali memutih dan rontok. Mungkin terlalu berpikir atau tidak pernah berpikir sama sekali, bukankah hidup itu sederhana? Ambil keputusan dan jangan menyesalinya.

Rambut, mungkin terbuat dari cakrawala tempat para dewa meletakan keabadiannya. Setiap ada kesempatan aku selalu melihat rambut putihku yang terkumpul dalam toples, tak pernah membusuk. Semakin lama aku memandang, aku semakin ingin menjadi rambut. Tumbuh dan rontok sesukanya, setelah tak berguna pun mereka masih berwujud rambut. Mungkin ini yang sering ayah katakan padaku; hiduplah seperti rambut. Tapi kata ibuku, hidup lebih baik menjadi dunia luar. Di sana banyak sekali peristiwa yang akan membuat benar-benar hidup, semakin banyak peristiwa maka semakin banyak pilihan kemudian tentukan mana yang sesungguhnya membuatmu hidup.

Aku tidak terlalu heran dengan pikiran ayahku dan ibuku, mereka berjenis kelamin berbeda, cara hidup yang berbeda dan tentu lahir dari keluarga yang berbeda. Namun sebuah perbedaan akan melahirkan karakter seperti hutan rimba tak setiap pengembara bisa menaklukannya.

Hidup itu seperti perang. Demikianlah yang dikatakan orang-orang, jika kita tak memiliki strategi maka akan kalah. Sekali-kali aku memikirkannya juga ucapan mereka dan setiap itu pula aku heran sendiri. Bukankah perang harus ada prajurit? Apa gunanya strategi tanpa prajurit? Aku beranggapan bahwa mereka terlalu membenci aturan.

Terkadang aku memikirkan tentang kelahiran, seorang bayi lahir dengan tangis dan tentu rambut yang panjang. Mengapa mereka tidak terlahir botak? Dan beberapa komunitas manusia melakukan ritual ketika melakukan pemotongan rambut pada seorang bayi, mungkin rambut adalah jalan menuju semesta dan menyimpan rencana dalam setiap helainya. Setiap manusia pun selalu membanggakan rambutnya, mereka memangkas dan membuat bentuk sesuai dengan keinginannya. Bahkan, rambut bisa menjadi identitas bagi manusia itu sendiri. Sungguh rambut adalah kelahiran dari setiap manusia dan kelahiran adalah awal dari kematian.

Suatu ketika aku keluarkan kumpulan rambut dari toples dan ku letakan di atas meja, aku melihat satu persatu rambut putihku itu. melihatnya seperti berada dalam sebuah masa, waktu yang sudah terlewatkan dengan sia-sia. Kini, aku tahu mengapa rambut menjadi putih lalu rontok begitu saja. Mereka tengah membuang sebuah zaman dan mengajari kita untuk segera melupakannya, setiap rambut memiliki kenangan yang berbeda. Dari kesepian hingga benar-benar ramai.

Setelah 30 tahun ini aku merasakan hal berbeda, seperti rekontruksi bangunan dalam tubuhku terbongkar dan memberikan gambar masing-masing untuk terus menganalisa dan berbuat dalam sisa usaiku. Entahlah apa lagi yang akan dikatakan oleh orang-orang sekitarku tentang hidup, yang pasti sekarang kepalaku sudah benar-benar botak seperti ada gurun pasir di kepalaku, mungkin saja ada daratan masa depan untuk di jelajahi. Tempat hidup berjalan tanpa harus mengenang. Bagaimana dengan rambutmu?

 : Cerpen Nana Sastrawan Di Buletin Mata Aksara.
Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893