MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Lebih Gelap Dari Malam

Stasiun kota pagi ini terlihat ramai, terlalu ramai untuk ukuran sebuah stasiun. Apa yang terjadi? Orang-orang saling berbisik, membicarakan sesuatu hal yang terdengar aneh. Semakin aneh, ketika mereka memperbincangkannya. Beberapa petugas stasiun pun tengah berjaga-jaga bersama polisi setempat, suasana pagi yang terlalu menegangkan. Aku berusaha untuk tidak perduli, lembar demi lembar majalah ku baca sambil menanti kereta tujuan. Tiba-tiba seorang wanita menghampiriku kemudian menampar wajahku.

“Dimana kau sembunyikan anakku?” Bentaknya.

Aku terkejut, namun berusaha untuk tenang. Ku tatap matanya memerah menyimpan kemarahan yang teramat sangat. Wanita dengan tubuh kurus, giginya gemeratak. Ia gelisah, sangat gelisah ketika beberapa petugas stasiun berlari menghampiri kami. Tanpa basa-basi mereka memborgol wanita itu, ia berontak dan terus mengoceh.

“Aku bukan penjahat, perempuan ini yang telah menculik anakku. Aku tahu, beberapa malam yang lalu ia berada di sekitar rumahku. Tolong percayalah!!” Isak tangisnya tak bisa terbendung.

Petugas-petugas itu bimbang, mereka menatap wajahku yang masih merah akibat tamparan wanita itu. Kemudian salah satu dari mereka menyuruh aku mengikutinya menuju ruang keamanan. Aku masih saling bertatapan dengan wanita itu, pandangan kami membuat garis tersendiri, sebuah garis yang mengakibatnya adanya takdir dan nasib. yaitu pertemuan.

“Bisa anda ceritakan ketika anda berada di kota ini?” Tanya kepala petugas setelah melihat kartu pengenalku.

“Aku tidak kenal wanita itu, dan aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan.” Jawabku dengan nada kesal. Wanita itu kembali ingin menyerangku, namun petugas menahannya kemudian dibawa ke sudut ruangan.

“Ceritakan saja, agar semuanya jelas.”

“Baiklah, beberapa hari aku di sini hanya ada keperluan bisnis. Dan aku tinggal di hotel yang disewa oleh perusahaanku, aku bisa buktikan.” Aku mengambil bukti kwitansi pembayaran hotel atas nama perusahaanku dari tas pinggangku.

Beberapa saat kemudian seorang petugas memasuki ruangan dan berbisik ke kepala petugas yang mengintrogasiku. Kemudian mereka memandang wajah wanita itu dengan pandangan yang aneh, seperti pandangan seorang pemburu yang kehilangan bidikannya. Ruangan ini semakin terasa asing bagiku, suasana yang diliputi perasaan-perasaan bimbang dan gelisah, tanpa adanya sebab dan akibat. Sampai detik ini pun aku tak mengerti mengapa aku tiba-tiba terlibat dengan permasalahan yang aku sendiri tidak pernah mengalaminya. Aku melihat jam dinding, suaranya tengah mengabarkan ketegangan, suara kesedihan. Sementara wanita itu terisak-isak memilukan, kami semua hening turut merasakan kepedihannya.

“Aku akan mengantar anda ke gerbong barang, dimana suami dan putri anda tengah berbaring dengan tenang di peti mayat.” Ucap kepala petugas.

Sungguh perkataan yang mengejutkan semua orang di ruangan itu, wanita itu terus menangis dan terduduk lemas. Wajahnya memancarkan kehilangan, kepedihan, ketakutan dan kekecewaan. Kami beranjak dari ruangan dan menggiring wanita itu menuju gerbong kereta, orang-orang di stasiun berbisik dan memperbincangkan kejadian ini, seakan mereka ikut merasakan kepedihan wanita itu. Setibanya di sana, ia menghampiri kemudian memeluk kedua peti mayat itu. Ia menjerit mengabarkan kehilangan yang tak bisa dijabarkan oleh kata-kata, sebuah kehilangan hanya bisa diukur oleh perasaan dan contoh yang serupa.

“Suaminya loncat dari gedung dengan membawa anaknya, beberapa hari yang lalu.” Bisik kepala petugas.

Aku masih menyaksikan wanita itu menangis, namun lambat laun suaranya tangisnya berubah menjadi sebuah tawa. Dan ia terus tertawa membuat suasana semakin tegang dan aneh. Aku merasakan gelap, lebih gelap dari malam.
Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893