Pertunangan bagi sebagian orang adalah hal yang paling penting. Sepasang kekasih semakin terikat dengan cincin yang melingkar di jari manis, begitu pun dengan keluarga masing-masing merasa bertanggung jawab untuk menjaga hubungan semakin lebih baik. Jika sepasang kekasih telah melakukan pertunangan, maka tak bisa dipisahkan hingga mereka menikah. Setiap sepasang kekasih yang telah melakukan pertunangan harus menjaga pertemanan dengan lawan jenis agar terhindar dari rasa cemburu. Dengan kata lain kebebasan mereka terbatas.
Dewi hanya tersenyum mendengar kata-kata itu, seperti hatinya yang sangat bahagia memandang cincin seberat 7 gram yang melingkar di jari manis. Setiap hari ketika ia akan berangkat bekerja selalu memandangnya. Dan ketika berada di tempat umum jari manisnya berusaha ditunjukan ke semua orang agar mereka tahu bahwa ia tak sendiri lagi, kini masa lajangnya akan berakhir di kursi pelaminan dengan pesta yang meriah.
“Apa tidak terpikirkan olehmu jika cincin itu jatuh di kamar mandi?” Tanya Rara, teman sekantor Dewi seakan mengingatkan untuk melepas cincin itu ketika ia beraktivitas di kamar mandi.
“Bilang saja kau iri padaku, karena pacarmu belum melamarmu.” Jawab dewi ketus.
“Dewi, dewi... kamu itu terlalu yakin jika pertunangan itu awal adanya sebuah pernikahan. Asal kamu tahu, jika kekasihku pasti menikahiku tanpa ada pertunangan sebelumnya.”
“Sudahlah, jangan kau urusin aku! Lebih baik kamu bekerja, aku cape mendengar ocehanmu itu setiap hari.”
Mereka pun terdiam. Semua orang di dalam ruangan itu terdiam, matanya tertuju pada layar-layar komputer dengan jari-jari lincah mengetik beberapa tugas yang sudah menjadi rutinitas setiap hari. Sementara di luar gedung kemacetan tak bisa terhindari, sebuah rutinitas ibukota yang tak pernah selesai dengan beribu-ribu pekerjanya. Jalan-jalan penting ibukota layaknya jalan menuju pelabuhan yang selalu macet oleh mobil-mobil kontener, sungguh pemandangan yang memilukan.
“Sepertinya tunanganmu tak jadi jemput ya?” Tanya Rara ketika jam kerja telah usai dan mereka berdua berdiri di depan kantor menunggu jemputan kekasihnya masing-masing.
“tidak juga.” Jawabku Pendek mencoba menguasai diri menghadapi Rara yang selalu ingin tahu urusan orang.
“Jika kamu tidak keberatan bareng saja denganku, kebetulan pacarku menunggu diujung jalan sana.”
“Terima kasih, aku bisa naik taksi.”
Rara tersenyum mengejek sebelum meninggalkan Dewi yang masih menunggu Sastra, tunangannya yang beberapa hari berjanji untuk menjaga cinta mereka seumur hidup di pesta pertunangannya. Setelah beberapa menit akhirnya ia menyerah menunggu kekasihnya, berbagai cara telah dicobanya dengan menelepon dan mengirim pesan pendek namun tak pernah ada jawaban. Ia memanggil taksi kemudian bergabung dengan kemacetan sore itu.
Beberapa meter dari kantornya ia menangkap sebuah mobil yang dikenalnya. Akan tetapi ia berusaha untuk tidak mempercayai penglihatannya itu, bisa saja mobil itu bukan milik Sastra. Di sebuah lampu merah taksi dan mobil itu berdampingan, ia menoleh. Terlihat jelas bahwa pengemudi itu adalah kekasihnya, akan tetapi sebelum ia turun dan menghampiri lampu sudah berubah hijau dan mobil itu melaju cepat. Penasarannya memuncak, ia menyuruh sopir taksi itu mengikutinya.
Di sebuah hotel, Dewi menggedor kamar. Wajahnya merah menyala, kemarahan tak bisa dibendung seperti melemahkan akal sehatnya. Berulang kali namun tetap sunyi, tak ada seseorang membukakan pintu. Akan tetapi kemarahannya berubah menjadi kebencian, ia semakin keras menggedor pintu lalu berteriak-teriak menyuruh di bukakan pintu. Kemudian pintu terbuka, Sastra terkejut ketika melihat Dewi dengan wajah merah menyala.
“Pengkhianat!!” Teriak Dewi, kemudian dihantamkan telapak tangan ke wajah Sastra.
“Tunggu dulu, jangan salah paham.” Ucap Sastra mencoba membela.
Tiba-tiba Dewi menerobos masuk, terlihat Rara tengah memakai bajunya yang tergeletak di lantai.
“Wanita tak tahu malu, teganya kamu tidur dengan tunanganku. Pelacur!”
“Jaga mulutmu!! Sastra pacarku, kami sudah lama berpacaran.” Rara melotot dan tak mau kalah.
Amarah tak terbendung, mereka berdua bertarung dengan saling jambak dan cakar, sementara Sastra hanya melihat dengan wajah sinis seperti melihat dua orang lesbian yang tengah bertengkar. Pertarungan semakin sengit, Rara menampar Dewi begitu pun sebaliknya kemudian hantaman demi hantaman dari tangan mereka silih berganti mengenai wajah, tubuh masing-masing. Beberapa petugas hotel yang mendengar kegaduhan segera berlarian menuju lokasi dan melerai. Mata mereka saling beradu usai pertengkaran, menyimpan dendam yang tiba-tiba tumpah, nafasnya memburu menyisakan kemarahan.
“Ambil cincin ini, dasar pelacur.” Dewi pergi setelah berucap, sementara cincin yang dilempar mengenai wajah Rara.
Sastra mencoba menghalangi, namun Dewi mendorong sekuat tenaga hingga ia terjungkal, kemudian Dewi berlari dengan tangis menyayat hati. Rara menghampiri Sastra yang bangkit dari jatuhnya.
“Bangsat!!” Maki Rara setelah menampar wajah Sastra dan berlalu pergi dengan hati kecewa.
Sore itu telah berubah menjadi malam yang hitam, suasana semakin dingin. Penjaga-penjaga hotel meninggalkan Sastra yang memandang cincin tergeletak di atas celana dalam Rara yang belum sempat terpakai. Inikah cinta? Sebuah perasaan yang telah menguasai akal pikiran, ataukah nafsu? Mungkin pertunangan dan pernikahan pun belum bisa menjawab apa arti cinta yang sesungguhnya.
Note : Tulisan ini diadaptasi dari sebuah kisah nyata seorang teman. Tidak ada maksud tertentu hanya ingin berbagi cerita dan bisa mengambil hikmahnya dari peristiwa ini.
comment 2 komentar
more_vertIni antologi ya, kak? Terbitan mana ya?
January 23, 2013 at 6:36 PMIni terbitan pustaka serumpun, sebuah antologi cerpen bersama para penulis berbakat lainnya.
January 30, 2015 at 11:20 AM