Yang Anonim, Anonim, Anonim
Oleh Fathan Mubarak*“…kau tahu, perjalanan adalah hari tak bernama, begitupun dengan diri sendiri.”
(Anonymous)
Puisi, barangkali, selamanya akan berupa transposisi dari peristiwa ke makna—sebuah peristiwa yang tercecer di sepanjang perjalanan kesadaran yang tak berkesudahan, dan, karenanya, juga pemaknaan yang tak kenal kata final. Dengan demikian, puisi adalah sesuatu yang terus menerus memperbaharui diri, terus menerus berada dalam proses men-jadi.
Barangkali kita memang mirip puisi: hidup dalam kepungan ketidakpastian dan senantiasa berhadapan dengan satu pertanyaan eksistensial. Kebudayaan manusia lebih sering menghadapinya dengan cara memburu sumber segala sesuatu. Logikanya sederhana: ketika kampung halaman dikenali, setidaknya ada harapan untuk bisa pulang kembali. Maka manusia mulai mengidentifikasi—sebut saja itu Tuhan, pada apa-apa diluar kendalinya. Sampai saat agama datang sebagai satu jawaban yang menegasikan keseluruhan anggapan.
Tapi kita seperti puisi: rasio, perasaan, imajinasi, baur membentuk intelegensinya sendiri. Menarik satu tafsiran Iqbal atas peristiwa kejatuhan Adam di bumi. Bagi Iqbal, dalam Membangun Kembali Pemikiran Agama Dalam Islam, peristiwa tersebut tidak menunjukkan kebangkrutan moral melainkan peralihan dari kesadaran sederhana menuju cahaya pertama kesadaran diri. “Kejatuhan Adam”, kata filsuf muslim terbesar abad 20 ini, justru “menunjukkan kebangkitan manusia dari keadaan primitif dengan selera dan nalurinya, menuju kesadaran ego yang merdeka, yang mampu bersikap ragu dan membangkang.” Kebenaran pun kembali menjadi sasaran buru sepanjang usia peradaban.
Yang pertama lahir adalah mitos. Dengan pengetahuan serba alakadarnya, manusia menciptakan tanda atas pelbagai fenomena termasuk kehadiran dirinya di muka bumi. Darinya muncullah Bhagawad Gita, Mahabharata, Ramayana, Epos Ilias dari Homerus, kisah Dewi Matahari Jepang dan lain sebagainya. Lalu saat pikiran mulai diberdayakan, filsafat hadir mengoyahkannya. Para filsuf dari mulai Parmenides, Pythagoras hingga Nurcholis Madjid dan seorang tukang kayu tetangga rumah pun mencoba memahami semesta dan diri yang ada di dalamnya. Tafsir dan teori berkembang biak. Tapi lalu semuanya justru mengingatkan kita bahwa selalu ada misteri di balik setiap pemahaman; semakin banyak pemahaman, semakin banyak pula lorong-lorong gelap yang persis tak dikenali. Manusia hari ini akhirnya tahu, semua bisa jatuh dalam kubangan relativitas—tanpa sisa. Sementara ilmu pengetahuan hanya mampu menjelaskan “yang ada” (dos sollen) tapi tidak yang seharusnya (dos sein). Pada akhirnya kosong. Dunia hampa. Nilai tidak ada. Kesadaran pun terapung dalam waktu. Manusia seperti seorang aktor di atas panggung yang tanpa teks sekenario, tanpa sutradara, tapi harus memainkan lakon entah apa. Hidup, mengikuti alur berpikir kaum eksistensialisme, adalah sebuah kutukan yang bisa diakhiri hanya dengan ensoi; hilangnya kesadaran.
Demikianlah. Si aku-puisi dalam Anonymous terkatung-katung dalam pergulatannya mencari identitas. Membaca Anonymous, kita seperti tengah bertamasya pada sebuah museum keseharian sambil mendengar seorang guide nyrucus tanpa diberi kesempatan menyela. Di sana kita dipertemukan dengan orang gila di jalan, pelacur, pengemis, seorang bocah di kandang babi, wanita yang tergila-gila dengan kebun halaman belakang, dramawan, dan akhirnya diri sendiri: Anonymous membicarakan hal-hal nonsense dan sepele tapi—dengan mengikuti hingga akhir keseluruhan cerita—kita akan merasa bahwa itu pokok.
Tapi tentu orang seperti Plato tak akan bisa menerima si aku-puisi dalam republiknya. Saya membayangkan Plato tengah berdiri tegak di atas podium. Tubuhnya tegap penuh wibawa dan kharisma. Sorot matanya memancarkan pengetahuan yang seakan takterbantahkan. Dan di atas podium itu, di hadapan orang-orang yang agaknya mudah mengkultuskan segala sesuatu, ia berkata-kata tentang kebenaran yang selalu terkait dengan pelbagai fenomena besar dan peristiwa akbar: tidak ada tempat untuk sensasi, fantasi, ilusi, dan mereka yang membincangkan dunia privat yang penuh emosi. Seni, dan karenanya puisi, kata Plato dalam Politeia, adalah KW tiga-nya kebenaran. Sebab, ia hanya berupa mimesis realitas, sementara realitas sendiri merupakan pantulan tak utuh dunia Ide—sesuatu yang dalam alam pikir Plato dianggap unggul, indah, dan agung. Dengan kata lain, oleh Plato puisi diletakkan berlangkah-langkah jauhnya dari kebenaran dan mendefinisikannya sebagai “bentuk perayaan terhadap hal-hal tanpa nilai”. Perjalanan intelektual-spiritual para penyair pun dianggap sekadar rekreasi tak berarti.
Tak berselang lama Aristoteles muridnya memang membantah itu. Namun apa lacur, suara Plato dari atas podium bergema panjang melintasi kurun waktu sampai ribuan tahun lamanya. Hingga kini, kita mendapati puisi sebagai yang terkucilkan di tengah ingar-bingar peradaban. Puisi terpencil di daerah yang tak masuk hitungan. Meski barangkali, puisi sendiri punya kecenderungan mengisolasi diri: ia membincangkan hujan, embun, rembulan, payudara, di tengah dunia yang kian praktis-pragmatis.
Tentang ini, Richard Rorty, seorang filsuf asal Amerika menulis sebuah esai menarik dan mengagetkan. Era filsafat dan epistemologi yang serius membicarakan dan melekatkan kebenaran pada “cerita-cerita besar” telah rampung, katanya. Yang dibutuhkan sekarang adalah, lanjut Rorty dalam Philosophy as a Kind of Writings yang ditulisnya 34 tahun lalu itu, “cerita-cerita kecil” yang tidak menawarkan kebenaran, tapi hal-hal yang menarik yang menggembirakan hidup.
Ada banyak hal bisa dikritik dari esai ini. Tapi paling tidak (sama halnya dengan Anonymous karya Nana Sastrawan), kita seperti diingatkan betapa hidup mencakup segala persoalan, dan kepingan-kepingan kebenaran bisa tercecer di mana saja.
Maka, si aku-puisi tidak mencari kebenaran dengan cara muluk-muluk. Dengan gaya deskriptif-imajiner, kita pembaca hanya diajak mengelilingi museum keseharian namun penuh endapan kental dalam ruang-ruang kesadaran. Di titik ini, Anonymous bahkan terasa seperti tesaurus makna. Jika saja tak terdapat unsur puitik kuat dengan metafora-metafora yang berlompatan di dalamnya, barangkali bagian-bagian kontemplatif dalam novel ini akan kering dan kehilangan perhatian dari para pembacanya.
Hatta, di ujung cerita, si aku-puisi akhirnya kembali menjumpai kampung halamannya, rumahnya, ibunya, dan dirinya. Ia pulang. Pengembaraan dan pergulatan mencari identitas pun berakhir happy ending—satu akhir yang memuncak, menutup, namun lumayan bermasalah. Bagi saya, si aku-puisi telah mendaratkan dirinya dengan tidak nggenah. jika kita tahu dunia adalah hamparan ketidakpastian, jika kesadaran manusia hidup dan mati dalam pengembaraan, maka puisi hanya bisa meng-aku pada sosok yang memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah pusat kosmos dan senantiasa bergerak-gerak liar tanpa peta, kompas, dan navigasi. Seperti sudah disebut di awal, puisi tidak berrumah. Puisi tidak punya alamat untuk kembali. Ia menerobos batas-batas “kewajaran” dan melakukan penjelajahan ke daerah-daerah yang tak terjamah ilmu pengetahuan. Karenanya, sebuah puisi, sekali lagi, akan terus berproses men-jadi dan berada dalam lingkaran “pencarian-penemuan” yang abadi.
Sebagai suatu personifikasi, saya membayangkan puisi menjelma dalam ubermench, sosok manusia unggul dalam diskursus Nietzschean. Ia hidup di alam dimana kreativitas dan kemerdekaan menjadi semangat yang menggerakkan segalanya. Ia tidak lagi berlindung di bawah naungan kebenaran karena sikap pengecut dan penolakannya terhadap dunia. Ia kreatif. Ia pesiar total kehidupan tanpa pernah sekali-kali singgah di suatu tanah. Ia tak punya rencana. Tak punya harapan, keinginan, atau apapun yang bisa dijadikan tujuan. Tapi, ia menolak murung dan kehilangan gairah dalam hidupnya. Seorang ubermench, kata Nietzsche, harus memiliki apa yang olehnya disebut sebagai der will zur macht/the will to power; sebuah kehendak untuk berkehendak: ia puisi.
Di luar itu, hidup memang sebuah pencarian abadi, sebuah perjalanan sepi. Dan perjalanan, meminjam kata-kata Nana dalam Anonymous, “adalah hari tak bernama, begitupun dengan diri sendiri. Ia puisi. Dan puisi adalah anonim sejati.
*@FathanMu, mahsiswa Hub. Internasional UMY,
Bersama teman-temannya mendirikan Rumah Kertas;
Sebuah komunitas sastra di Cirebon
comment 0 komentar
more_vert