AKU tidak pernah bermaksud untuk menggugurkan kandungan, tidak pernah sama
sekali. Sebab kata orang, rasanya sangat sakit, lebih menyakitkan dari
melahirkan. Namun, jika kuingat wajahnya, hatiku koyak-moyak. Bagaimana mungkin
aku dapat hidup dengan seorang anak yang tidak memiliki seorang ayah. Mereka
yang mengenalku akan menjuluki anakku sebagai anak haram, anak terkutuk.
Akhirnya, aku memutuskan untuk meminum sebotol bir, seperti orang kehausan,
satu botol ditenggak habis. Lalu, aku mabuk.
Aku tidak dapat menerima
kehadiran tangis bayi di tempat tidurku, rasanya jika mendengar tangis bayi,
masa lalu yang memedihkan hidupku semakin menggerogoti hati, semakin nyeri,
semakin tidak dapat aku memutuskan untuk melahirkan. Cukup sudah perjalanan
masa remajaku, kehormatan seorang wanita yang harus dijaga baik-baik kini hanya
akan menjadi impian semu, atau aku harus mengakhiri hidupku?
Ya, bunuh diri. Seperti
yang aku dengar dari teman-teman se-profesi, tentang pemberitaan wanita-wanita
putus asa dan memilih jalan kematian sebagai solusinya. Apakah kematian dapat
menghilangkan rasa sakit? Aku masih tercenung memikirkannya, sebab sejak kecil,
aku tidak pernah dikenalkan dengan sebuah kematian, ayahku selalu mengenalkanku
pada kehidupan keras, banting tulang, mati-matian hanya untuk hidup.
Setelah lulus sekolah, aku
memang merantau ke Jakarta, mencari penghidupan sebab di kampung tidak dapat
menghasilkan apa-apa, hanya bisa bertahan hidup, tidak bisa meningkatkan hidup.
Kata orang-orang yang sudah merantau di kota, uang sangatlah mudah didapat,
bekerja menggosok WC saja dapat menghasilkan uang, pulang dari kota dapat
membeli sawah, membangun rumah dan menikmati masa tua.
Di Jakarta, aku bekerja
sebagai seorang tukang cuci di rumah seorang Direktur perusahaan, dia
berkebangsaan Jepang. Aku diberi kamar di belakang rumahnya, dan sebagai kerja
tambahan, aku membersihkan seluruh ruangan rumah; menyapu, mengepel, mencuci
peralatan dapur, dan belajar memasak, masakan khas Jepang kepada koki di rumah
besar itu. Sungguh pekerjaan yang memang biasa dilakukan oleh wanita-wanita
kampung diusia remaja sepertiku.
Seperti wanita kebanyakan
diusia remaja, tubuhku sangat padat, dan cantik. Membuat mata laki-laki melirik
jika aku keluar dari rumah itu untuk sekadar membeli bakso, dan layaknya
seorang remaja yang sedang mekar, aku juga senang jika para laki-laki melirikku,
bahkan menggodaku. Entahlah perasaan apa namanya, tetapi jantung ini selalu
berdebar-debar jika ada seorang laki-laki mendekatiku. Darahku seolah mendidih
sehingga seluruh tubuhku terasa hangat, mungkin mataku akan terlihat
berbinar-binar, seperti yang dideskripsikan oleh para penulis.
Cinta? Mungkin itu kata
yang tepat. Aku merasakan cinta, rasa yang memiliki kasih dan sayang, ingin
diperhatikan, dimanja dan dibanggakan. Aku juga tidak bisa menghentikan
perasaan itu, seolah cinta tak pernah memiliki ruang, ia bebas berada dimana
saja, bahkan bebas kemana saja. Dan aku semakin terhayut dengan perasaan itu.
Tentunya, cinta yang
seperti itu tidak akan pernah bekerja tanpa ada pasangannya. Teman-teman
se-profesiku di kawasan itu telah memiliki pasangan, berkasih-kasih di malam
minggu dan terkadang jalan-jalan di taman, sambil bersenda-gurau. Aku juga
ingin seperti itu, sangat ingin.
Suatu hari Wati (bukan
nama sebenarnya) koki rumah dimana aku bekerja akan pergi mengunjungi adik
laki-lakinya yang bekerja di sebuah toko alat-alat tulis di daerah Jakarta
Selatan, tidak begitu jauh dari rumah tempat aku bekerja yang hanya berjarak
tiga ribu rupiah menggunakan Bajaj. Dan kebetulan, hari ini adalah hari minggu,
semua tuan-tuan dari Jepang sedang pergi bermain golf, sehingga rumah kosong.
“En, mau ikut tidak?”
tanyanya.
“Mmm… lama tidak?” tanyaku
balik.
“Tidak…”
Setelah mendengar jawaban
yang disetujui oleh hatiku, maka aku memutuskan untuk ikut Wati keluar rumah. Aku
segera mandi, memakai pakaian yang pantas, dan tentu berdandan agar terlihat
tambah menawan, maklum aku dan Wati jarang sekali pergi keluar rumah
menggunakan kendaraan, biasanya aku hanya pergi di sekitar komplek saja.
Wati tertegun—matanya
menatap tajam ke arahku, rupanya ia terpukau dengan penampilanku, yang
menurutku sangat sederhana. Mungkin aku seorang remaja sehingga selalu terlihat
cantik memakai apa saja. Apalagi, rambutku hitam, terurai panjang. Aku digoda
oleh Wati, hatiku semakin berbunga-bunga. Lalu, kami pergi.
Sesampainya di tempat
tujuan, Wati memperkenalkanku kepada Yadi, adik kandungnya yang tengah menjaga
toko, tanganku gemetar ketika bersalaman dengannya. Yadi seorang sosok lelaki
impian, gagah dan tentu saja tampan. Kami saling pandang—lalu beberapa menit
kemudian kami tersipu malu.
“Hey Yad! Boleh nih
dikenalin!”
Terdengar suara dari toko
sebelah, toko buku. Aku menoleh ke arah suara. Seorang lelaki tinggi, rambut keriting,
gondrong, berdiri menyandarkan tubuhnya ke pintu toko. Dia mengerlingkan
matanya kepadaku, lalu menghampiri dan mengulurkan tangan. Aku sejenak terdiam,
hatiku merasa tidak nyaman ada lelaki genit ini, tetapi, Wati menyenggol
pundakku, hingga aku membalas uluran tangannya.
“Yadi.”
Aku terkejut—namanya ternyata
sama dengan adik Wati, hanya sangat berbeda. Jika adik Wati adalah lelaki
idaman, sedangkan dia? Hanya Tuhan yang tahu. Namun, mau tidak mau, kami
mengobrol juga dengannya hingga aku tahu bahwa dia ternyata berasal dari daerah
yang sama hanya berbeda kampung, persisnya tetangga kampung.
Setelah perkenalan itu,
dia selalu datang mengunjungi rumah pada malam minggu tempat aku bekerja. Awalnya
aku tidak mau menemuinya, aku memilih untuk berdiam diri di dalam kamar, akan
tetapi Wati selalu membujukku untuk menemuinya, sebab dia juga sudah malas
menemani Yadi jika aku tidak mau keluar kamar. Aku memang tidak pernah tertarik
dengan Yadi, aku lebih tertarik kepada Yadi, adik Wati. Lama-lama aku
menemuinya juga, dengan maksud secara halus menolaknya.
Sekali, duakali, dan
ketiga kalinya aku merasa nyaman mengobrol dengan Yadi, ternyata dia orangnya
pandai berbicara, membuat aku terbuai dengan setiap kata-katanya. Tetapi, aku
tetap tidak menyukainya. Sampai pada suatu hari, ada kiriman surat yang
ditujukan kepadaku, surat dengan amplop wangi dan berwarna cerah.
Perlahan aku buka,
tanganku gemetar, jantungku berdebar-debar. Aku membacanya, kata demi kata.
Sebuah surat yang memang ditujukan dengan maksud tertentu sehingga kata-kata
yang tertuliskan sangat indah. Aku semakin terbuai, seluruh indera tersedot
oleh kata-kata itu, sangat manis dan romantis. Aku sungguh berubah seratus
delapan puluh derajat setelah membaca surat itu, surat dari Yadi yang berisikan
kata-kata indah dengan maksud ingin mencintaiku seumur hidup. Sungguh, tak
pernah kusangka jika dia dapat menulis kata-kata seindah itu. Sumpah! Baru kali
ini aku membaca kalimat-kalimat yang menakjubkan, seperti bait-bait puisi. Dan
di hari-hari berikutnya, aku menerima cinta Yadi sampai kami menikah.
Bunga-bunga cinta tumbuh
dengan sendirinya, aku mengandung seorang bayi, usianya sudah enam bulan.
Bayang-bayang masa depan telah dipelupuk mata, aku akan menjadi seorang ibu,
dan membina rumah tangga bersama Yadi. Sampai suatu hari, aku dikejutkan oleh seorang
tamu perempuan, perutnya hamil seperti diriku. Ia datang dengan wajah muram,
rambutnya kusut lalu bersujud ke kakiku dan menangis tersedu-sedu.
“Maafkan aku, sungguh aku
sangat menyesal!” Ia terisak-isak.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Aku sangat tidak berguna,
sangat tidak bisa berguna hingga aku membiarkan diriku disakiti oleh seorang
laki-laki.”
“Maksudmu?”
“Aku sedang hamil, dan
anak ini adalah anak suamimu.”
Seperti tersambar petir
disiang bolong, aku terperangah—telingaku berdengung mendengar perkataannya.
Tidak bisa dipercaya. Ya, aku tidak percaya, apakah mungkin suamiku berbuat
serong? Aku duduk, seluruh tubuhku terasa lemas.
“Apa aku tidak salah
dengar?”
“Tidak… sungguh aku minta
maaf, kami sudah menikah siri tujuh bulan yang lalu.”
Saat perempuan itu
menangis tersedu-sedu dan aku yang sudah tak karuan mendengar segala ceritanya,
Yadi datang. Dia tercengang melihat ada dua wanita yang dikenalnya, matanya
mengisyaratkan bahwa dia bersalah. Aku segera membrondongnya dengan berbagai
macam pertanyaan, sampai akhirnya dia mengakui bahwa perempuan itu memang
istrinya. Aku sangat marah, merasa dibohongi oleh orang yang sangat kupercayai,
perasaan benci ketika awal bertemu muncul kembali, bahkan sekarang sangat
membencinya sebab hatiku benar-benar hancur.
“Pilih dia atau aku!” bentakku.
Yadi diam saja, dia tampak
kebingungan. Sementara, perempuan itu hanya menangis, rupanya dia sudah pasrah.
Melihatnya hatiku tiba-tiba luluh, ada rasa kasihan terhadap dirinya. Apalagi
perutnya sudah jelas terlihat membesar.
“Baiklah… kalau tak kamu
jawab, biarkan aku yang mundur.”
Yadi dan perempuan itu terkejut. “Aku akan
memilihmu,” kata Yadi.
“Tidak, aku sudah sangat
sakit hati. Aku yang tidak memilihmu.”
Hatiku sudah terlanjur
kecewa, seorang lelaki yang sudah sekali berbohong, bagiku akan tetap berbohong
selamanya. Aku memilih untuk hidup sendiri, untuk tidak ingin lagi mengenal
laki-laki, aku sudah sangat benci terhadap laki-laki. Mungkin bayi yang
kukandung ini juga laki-laki, aku tidak ingin bayi ini lahir tanpa seorang
ayah.
Hari-hari kulalui seorang diri, aku memendam benci, kalut
dan penuh dengan kekecewaan, buah dari perantauanku dan kecintaanku terhadap
laki-laki. Namun, usahaku untuk menggugurkan kandungan tidak berhasil, perutku
semakin membesar. Orang tuaku selalu menyalahkan aku karena tindakanku yang
terlalu ceroboh memilih seorang suami. Aku melahirkan dalam keadaan stress,
kacau dan dendam. Dan orang-orang terdekatku tidak pernah ada, tidak pernah
ada.
Sekarang, aku merasa
bersalah terhadap anakku, perbuatan seorang ibu yang ingin menggugurkan
kandungannya sendiri. Sungguh, perbuatan yang tidak harus ditiru oleh siapapun.
Aku memandang wajah anakku, tersenyum bahagia memakai toga. Seolah memberikan
berita bahwa hidup harus terus berjalan, harus selalu diperjuangankan untuk
mewujudkan impian. Anakku telah menjadi seorang sarjana. Sungguh, aku sangat
merasa berdosa, bagaimana mungkin dulu aku akan menyia-nyiakan anak yang kini
menjadi kebanggaanku. Air mataku keluar semakin deras di depan foto yang masih
tersenyum menatapku. Berharap air mata ini menetes untuk terakhir kali.
Agustus, 2013.
Nana Sastrawan
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert