Puisi adalah upaya kita untuk menziarahi
huruf; menisani setiap kata dan memakukannya ke dalam tanah makna. Pada kata
kita letakkan perasaan, pada kalimat kita susun ratap, harap, kerjap, dentum,
deru, kelu, pilu, sembilu. Kalimat membentuk sekuel; mencipta mozaik, membangun
bab, meninggikan pasal, mengokohkan kitab. Puisi merupakan kenyataan yang
tumpang tindih. Ia menjadi. Dan puisi yang menjadi adalah sebuah dunia, begitu
Chairil Anwar bertutur. Puisi yang menjadi memiliki syarat dan ciri-ciri yang
tidak mudah. Seperti syarat dan ciri dunia yang selalu bersifat kompleks dan
atau majemuk.
Puisi yang menjadi dunia itu saya temukan
di antara beberapa tumpukan kitab. Kitab Hujan. Puisi yang lahir dari tangan
dingin Nana Sastrawan ini telah membuktikan betapa puisi bisa menjadi suatu
dunia; yang benar ada, nyata, konkrit, terbaca dan bukan rekayasa. Puisi itu
mulanya mengusik kepekaan saya. Kemudian menjadi sangat mengganggu hari-hari
saya. Alhasil, saya tertarik untuk mengupasnya. Sebab, puisi Kitab Hujan itu,
jika saya lihat secara selintas, banyak yang tidak bisa dipahami hanya dengan
satu kali duduk. Ia membutuhkan perenungan yang panjang. Agaknya, satu tahun,
sejak saya kenal Nana, adalah waktu yang cukup untuk menguak rahasia di balik
belantara Kitab Hujan yang rimbun itu.
Dilihat dari struktur kata yang dibangun
dalam Kitab Hujan, diksi dan metafora yang terkandung di dalamnya sangatlah
kaya. Alegori yang mencuat dengan indah sangat tak biasa dipakai oleh
kebanyakan penyair. Di sanalah letak keunikan Kitab Hujan. Kita akan disuguhi
dengan berbagai kemungkinan; multi-tafsir, pengembangan dari satu kata ke kata
yang lain, kata-kata yang kemungkinan mengandung anak makna. Kesemuanya membaur
bersama renjana kalimat yang bukan klise.
Titik mengagumkan dari Kitab Hujan tidak
hanya terdapat pada struktur. Pola pengungkapan dan pola penjabaran juga sangat
memesona. Kita akan menemukan makna yang selalu melahirkan persepsi yang
berbeda di tiap pembacaan. Satu kali pembacaan meninggalkan kesan. Dua kali
pembacaan menghadirkan ironi. Tiga kali pembacaan dan seterusnya menyuguhkan
keunikan makna dan ritme gagasan yang mendayu-dayu, berliku-liku. Saya akan
mengajak anda menziarahi Kitab Hujan itu. Akan kita temui bersama-sama, apa
yang barangkali pernah musykil di benak kita, tentang berbagai hal yang kerap
ajaib namun tak tersedari.
Kitab Hujan dibuka dengan ungkapan puitik
yang prosais. Dengan sedikit berkerut dahi kita akan memulai menanyakan
beberapa hal:
Setiap pagi, aku terbangun dengan buku
yang baru saja dipinjam dari toko sepatu, tapi bukan di deretan sepatu. aku
menemukannya di meja kasir yang penjaganya seorang wanita. kita berbincang
tentang apa saja, tapi bukan sepatu. kita berbincang tentang canda dan diam.
setelah itu kau mulai nakal dengan meminjam tubuhku dan memungut hidup dalam
kepalaku lalu kita pun sepakat menukar buku.
Buku, toko sepatu, dan wanita. Tiga kata
kunci ini perlu kita pegang. Kita gambarkan bahwa aku-penutur adalah ia yang
punya cerita. Cerita yang penting ia rekam untuk kemudian ia ungkapkan kepada
orang lain. Aku-penutur terbangun dengan buku. Terbangun, bisa jadi
adalah terlahir dan lantas tumbuh menjadi dewasa. Penyair ini mengibaratkan
terlahir dengan begitu apik. Terbangun dari tidur tidak semata mencirikan
kelahiran seseorang. Lebih dari itu, kenangan telah mewadahi dirinya dalam satu
bejana yang ia namakan hidup. Hidup itu membawanya ke suatu kisah saat ia
meminjam buku di toko sepatu yang dijaga oleh seorang wanita. Buku. Kata ini
mencapai maknanya yang paling tak dinyana. Buku memberikan kita pengertian
mengenai begitu banyak catatan tentang hidup; kesedihan tercatat, kepedihan
tertulis, kepiluan tergambar. Buku pada puisi itu, bisa kita bawa kepada makna:
bahwa buku adalah potret diri aku-penutur yang sebenarnya adalah rahasia.Toko
sepatu barangkali tidak begitu saja bisa kita maknai secara denotatif. Tersebab
nanti, di akhir puisi ini, akan ada loncatan-loncatan yang tak terduga mengenai
toko sepatu. Kita akan melihatnya nanti.
Pada lanjutan puisi: … kita berbincang
tentang apa saja, tapi bukan sepatu/ kita berbincang tentang canda dan diam/
setelah itu kau mulai nakal dengan meminjam tubuhku dan memungut hidup dalam
kepalaku lalu kita pun sepakat menukar buku. Kita menemukan adanya
peralihan dari yang semula aku-penutur bercerita ke aku-penutur bercakap dan
bermaksud berkata-kata hanya pada ia, sang wanita. Maka, kata yang aku-penutur
gunakan beralih menjadi kita. Begitulah, di sinilah letak kepiawaian
penyair ini. Ia sangat jeli meletakkan kapan subjek menjadi objek dan kapan
objek berubah subjek.
Selain bahwa peralihan itu menunjukkan
adanya kedekatan asmara antara aku-penutur dengan wanita penjaga toko sepatu,
sebenarnya masih ada alternatif lain untuk membangun makna dari penggalan puisi
itu. Aku-penutur bisa jadi memaksudkan bahwa yang ia gumami dari awal memanglah
orang yang satu. Jadi, tidak pernah terjadi peralihan orang kedua. Tapi, kita
akan membawanya kepada makna pertama. Meskipun bisa dipastikan bahwa pembaca
memiliki berbagai tafsir mengenai hal tersebut. Anggaplah apa yang saya
utarakan di sini adalah sebagian dari tafsir yang sebenarnya belum tuntas dan
tidak bersifat konklusif.
Kita melihat adanya kenangan yang mulai
ditorehkan di dalam buku (baca: potret diri). Aku-penutur menyusun
kejadian-kejadian dalam dirinya untuk kemudian, pada pungkasnya, ia dan si
wanita bersedia saling menukar buku; saling menukar diri dan pinjam-meminjam
kebahagiaan, lalu kesedihan yang bakal terlukis pada lanjutan puisi itu.
Puisi itu dilanjutkan dengan muatan
mengenai tiga bab:
cerita tentang wajah yang muram
dari wajah itu sering terdengar gaung dan
penuh orangorang hitam mencangkulcangkul wajah, namun tetap saja hitam,
meskipun sudah sampai dasar mereka terus saja mencangkul
Bab pertama ini mencakup dunia riil. Dunia
yang dihadapi oleh manusia. Ada alasan kenapa manusia bisa saja memiliki cerita
tentang wajah yang muram. Bahkan untuk ukuran orang awam, sampai kalangan
intelektual, tak mampu menampik kemungkinan terburuk dari hidup ini; berupa
kepedihan dan kesedihan. Hidup, meski dalam suasana bahagia, tak berhasil
menyumbat keresahan manusia akan hilangnya nyawa. Lantas, manusia bagai orang
yang terus mencangkul meskipun sudah sampai dasar. Artinya, ia terus melakukan
kesia-siaan dalam hidupnya. Ia akan berpisah dan meninggalkan apa yang musti
ditinggalkan. Juga, ia akan ditinggalkan oleh siapa yang harus meninggalkan. Di
sinilah letak keresahan manusia.
Wajah yang muram yang sering terdengar
gaung adalah perumpamaan yang purna tentang kematian. Yang mati menyisakan guratan
luka mendendam entah pada siapa. Sebab, tiada yang musti didendami kecuali
kehidupan yang pantas mati. Kehidupan akan niscaya menemui mati. Tiada hidup
jika tanpa mati. Tiada mati jika tiada hidup. Orang-orang hitam yang mencangkul-cangkul
wajah ialah perumpamaan tentang siksa yang tak terkatakan, yang senantiasa
memberet hati setiap yang menemui kematian. Atau yang ditinggal mati. Wajah
adalah lambang diri manusia, ia bisa dikatakan ada tersebab diketahui dengan
dan oleh wajah.
Hidup tiada lain adalah untuk menuju kematian.
Dan bab kedua melanjutkan ziarah kita:
dan air mata itu bersuara
air mata itu menjadi gelombang pasang
menggulunggulung, semakin riuh
memporakporandakan sepasang mata
dan gelombang itu saling menyerang
Bab kedua: berkisah tentang orang yang
ditinggalkan oleh yang ia cintai. Dan kesedihan tergurat jelas di kedua
matanya. Hanya mata yang sanggup berbicara tentang rasa sedih yang tiada
hingga: hanya ada sepasang mata/ meneteskan air mata/ tak terhingga. Ketika
mulut tak berhasil menemukan kata yang tepat untuk melukiskan kesedihan, maka
matalah yang akhirnya bisa menyuarakannya. Mata yang membasah bagai curuk yang
deras kian basah dan kian deras.
Kita melihat adanya perasaan yang pecah,
moyak dan hancur. Kita dibawa menyusuri goa dengan dinding-dindingnya yang
selalu menampakkan kegelapan hingga nun jauh ke dalam. Kita dibuatnya
ketakutan, akan gelap, akan tiadanya lentera, akan absennya cahaya. Kematian
telah membawa yang mati dan yang ditinggalkan kepada titik hitam yang selalu
menakutkan dan meresahkan. Hingga ada yang bersuara dari dalam diri kita; dan
air mata itu bersuara/ menjerit bahkan tertawa. Airmata menjerit, bahkan
tertawa? Paradoks! Kita menemukan paradoks di sini. Tapi justru di situlah
menariknya puisi ini. Bahwa paradoks kadang bisa memunculkan pengertian baru.
Airmata, sebagai simbol kesedihan paling akhir. Dan tertawa, sebagi simbol
kebahagiaan paling sempurna.
Jika disalah-pahami, maka akan terjadi
pertentangan diski. Namun, kita layak menduga, bahwa kadangkala, kesedihan
adalah parodi. Kesedihan yang berkelanjutan menjadi semacam kelucuan yang tanpa
disengaja. Larut dalam duka yang dalam akhirnya mencapai puncaknya pada arti
terdalam dari tawa. Tawa adalah ekspresi tingkat akhir ketika airmata tercurah
habis.
Dalam duka, airmata menggulung dengan
ganasnya. Puncaknya, airmata menyerang mata dan mata menjadi gelombang, lagi
dan lagi. Gelombang dalam gelombang. Tiada akhir, selalu berkutat dan perputar
seperti rantai. Yang mata dan yang airmata membahasakan tiap-tiap kepedihan dan
kematian. Yang mati menyelam jauh ke dasar airmata itu. Hingga tenggelam dan
mati lagi, kesekian kali.
Bab ketiga: di sinilah puncak dari puisi
ini.
Hening! Hanya ada kata ‘hening’ di bab
pamungkas. Kata ini amat padat. Ia menyimpan segala yang terekam dalam bab
sebelumnya, yang kemudian menjadi semacam klimaks dari puisi ini. Satu kata itu
mampu mewakili apa saja tentang kematian, kehilangan, dan airmata. Segala
bentuk kepedihan tertampung di dalam kata itu. Sampai pada akhirnya, hanya
hening yang adalah mati. Mati adalah keheningan paling hening!
Begitulah, tiga bab dalam buku yang
aku-penutur tukar dengan buku wanita penjaga toko sepatu itu, terselesaikan.
Narasi mengalir lagi, membikin kelindan dan hentakan kepada kita, pembaca.
Penyair ini kembali bercerita:
setiap sore, aku selalu berkunjung ke toko
sepatu itu untuk mengembalikan buku. toko itu selalu tutup dan becek. hanya ada
sepatu bot tergeletak, lalu ku tatap tajam dan aku menemukan buku yang sama
penuh lumpur.
Kita telah menemukan makna toko sepatu
pada bait puisi ini. Toko sepatu tidak lain adalah tanah pusara. Dibuktikan
dengan selalu tutup dan becek. Pusara adalah ia yang tertutup dan
becek akibat airmata. Toko buku yang pernah aku-penutur temui dulu, barangkali
sama dengan toko buku yang kini tutup dan becek. Hanya saja, jika mungkin, toko
sepatu seharusnya menjual banyak sepatu, di toko sepatu pusara itu, kita hanya
mendapati sepatu bot tergeletak. Penyair ini membawa kita kepada makna
yang sungguh mengesankan. Sepatu bot yang tergeletak, tidak lain adalah batu
yang menisani pusara. Batu yang tak sanggup membenturkan kesedihan dan
keresahan. Batu yang tak mampu menampung airmata. Batu yang kian kikis ditimpa
hujan tiada henti.
Saat aku-penutur menatap sepatu bot itu,
ia mendapati buku yang sama penuh lumpur. Buku yang adalah kenangan.
Kenangan itu ikut ternodai, dipenuhi lumpur pusara. Kenangan itu pun, bakal
mati dan kejadian serupa akan terulang, terus dan sampai setiap yang pernah
buku menjadi toko yang selalu tutup dan becek.
Kita telah menziarahi Kitab Hujan. Kita
pun dibuat basah airmata oleh penyair ini. Kurang ajar!
~Dimuat di facebook M.S. Arifin
Catatan Edisi 06/VI/28 April 2014~
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert