Oleh Nana Sastrawan
Seperti batu di tengah tanah lapang, kesendirian adalah luka yang tak dapat diobati meski oleh waktu. Aku bagaikan jarum jam yang bergerak perlahan,bergesekan dengan angka-angka yang diam. Dan suaranya berdebar-debar bagaikan detak jantung.
Bim salabim!
Aku berubah menjadi monyet.
Di dalam kamar; tembok penuh coretan. Seperti coretan dinding kota, diwarnai napas pemberontak. Kasur lapuk, buku-buku dan gitar yang menimbulkan suara musik. Televisi masih menyala, pintu berdenyit tertiup angin, tetapi tak ada angin. Mungkin napas pemberontak yang menggerakannya, dalam hati. Tiba-tiba, histeris dan berhamburan, sesak di dalam kamar.
Abra kadabra!
Aku berubah menjadi buaya.
Terjerat. Segala yang terpikirkan menjadi tali-tali, mengikat. Langkah tak menghasilkan jejak, bayangan tak terlihat. Hitam, segala gelap dalam kepala.Mengaburkan pandangan, tak ada jawaban. Jendela terkunci rapat, pintu tertutup. Dimana kunci? Mungkin jalan keluar bagaikan tubuh yang hancur, tertimpa bom. Bum! Bum! Bum!
Correlus! Correlus!
Aku berubah menjadi Ambulan.
Ngiung! Ngiung! Ngiung!
Penderitaan adalah hati yang tak memiliki tujuan hidup, mati. Mengakibatkan ruang menghimpit diri sendiri. Masa lalu adalah sejarah, bukan takdir dan sejarah memiliki kalender dan peristiwa, mengapa harus ada sesal. Bodoh!
Ngiung! Ngiung! Ngiung!
Kebutaan mengakibatkan niat menjelma setan, meracuni akal pikiran dan menghadirkan dendam. Hidup itu pilihan bukan? Jika tak dapat memaafkan, maka pahamilah apa yang terjadi, itu hal paling sederhana dalam menciptakan kesadaran. Dan kesadaran adalah masa depan, sebuah cahaya yang akan menuntun awal menjadi akhir.
Ngiung! Ngiung! Ngiung!
Aku berubah angin.
Bebas, mengangkasa di cakrawala. Langit biru sebiru lautan, segalanya terlihat jika memandang dari pucuk. Semakin tinggi, semakin nyata. Harapan adalah puncak kesuksesan, menampilkan langkah-langkah; bayangan perlahan mewujud,jejak-jejak mengikutinya. Baiklah, aku menjadi doa.
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert