|
Nana Sastrawan : Skizopherenilove |
“Aku tidak punya
rencana khusus untukmu, Chua, sebab untuk diriku sendiri aku tidak memiliki
rencana,” kataku.
Aku bangkit dari tempat tidur,
kemudian menyalakan rokok. Mataku menatap seluruh tubuh telanjangku di depan
cermin. Tubuhku berotot, dan tato naga yang melingkar di lengan, kubiarkan
terkena sinar lampu. Naga itu seperti hidup dalam kilatan cahaya, tato kenangan
dari seorang kekasih lama.
“Tapi jika aku memintamu untuk
menjadi suamiku, kamu bersedia bukan?” tanya Chua.
Dia lalu memelukku dari belakang.
Tubuhnya hangat, membuat tubuhku bergairah, punggungku merasakan dua buah benda
empuk, dan semakin hangat. Chua tersenyum—memandang tubuh kami yang terpantul
di cermin, wajahnya sangat anggun. Rambut ikal dan panjang, serta mata yang
bening.
Aku tidak menjawab, kuhisap rokok.
Asap mengepul memenuhi ruangan ini, semua wajah wanita seperti muncul dari asap-asap
rokok. Wajah-wajah yang dulu pernah aku kencani, dan Chua bukan satu-satunya
kekasihku.
“Mas Ari… kok diam?”
“Kamu terlalu sempurna untukku.”
“Memangnya kenapa kalau sempurna?
Bukankah semua orang mencari yang sempurna?”
“Tapi… aku hanya memiliki
kelaki-lakianku, dan itu sudah kamu miliki. Bagiku, itu sudah cukup.”
“Mas Ari tidak ingin membina masa
depan dengan berkeluarga?”
“Bukan tidak ingin, tapi belum
merasa perlu.”
“Loh kok gitu?”
Chua mengecup leherku, dia manja
sekali mendekap tubuhku dari belakang. Ruangan AC ini seperti tak ada artinya,
udara dingin terhisap oleh panas tubuh kami.
“Bukankah dari awal kita sudah
sepakat untuk tidak berkomitmen?”
Chua diam—gadis manja dan periang
ini adalah seorang teman kerjaku di kantor. Kami satu ruangan, namun beda meja.
Awalnya hanya tatapan mata, dan mengobrol disaat makan siang. Kami memiliki
kecocokan, dan memutuskan untuk berpacaran. Akan tetapi, semuanya kandas begitu
saja, aku harus ke luar kota, dimutasi untuk beberapa tahun. Sampai aku bertemu
lagi di kota yang sama setelah tugasku selesai, kami sudah berubah.
“Aku masih ingat kenangan kita dulu
Mas…”
“Yang mana?”
“Saat kamu berjanji akan menikahiku
sebelum pindah kota.”
Aku menarik napas panjang—udara
seperti ikut masuk ke dalam hidungku, dan membuka lembaran-lembaran masa lalu
dengan Chua.
“Tapi.. itukan dulu! Sekarang, aku
belum bisa menyatakan bahwa aku memang mencintaimu lagi atau tidak? Kita
jalanin saja seperti ini, menjalin hubungan tanpa status!”
“Andai saja… aku tidak tergoda
dengan mantan pacarku!”
Chua melepaskan dekapannya. Dia
kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang, aku membalikan tubuh kupandang
seluruh tubuh Chua yang mulus dan padat. Tubuh yang sangat cantik bermain di
atas panggung cinta yang aku ciptakan. Mungkin begitulah Chua, tipe gadis yang
mudah menyerahkan seluruh tubuhnya jika sudah mencintai seseorang. Dulu, ketika
aku berpacaran, kami sering melakukan hubungan, dan kami merasakan lebih dekat
lagi, seolah hubungan ranjang adalah candu bagi cinta kita.
Namun, tidak dengan sekarang. Aku
belum bisa menumpahkan seluruh cintaku pada Chua, aku tergoda dengan Noura,
mantan kekasihku yang jauh lebih cantik dari Chua. Aku tidak ingin menyakiti
Chua, tapi aku ingin memiliki tubuhnya.
“Mencintai mantan memang sangat
menyakitkan bukan?”
“Mas Ari sudah tahu segalanya.
Bagaimana aku sangat mencintai Dodo, dia adalah kekasih terbaikku, sangat aku
sayangi.”
“Aku tahu cerita itu, tapi… aku
belum tahu wajahnya?”
“Mungkin lain kali, Mas!”
“Mmm… bagiku juga tidak penting!”
“Apa Mas juga mencintai Noura?”
Aku terkejut—seingatku aku belum
pernah menceritakan tentang Noura kepada Chua, tahu darimana kabar itu?
“Noura?”
“Iya… kekasih Mas Ari ketika sekolah
dulu… bukankah Mas sering menceritakan Noura sebagai gadis yang sangat tidak
masuk kriteria untuk dicintai?”
Aku mencoba mengingat-ngingat.
Apakah aku memang pernah menceritakannya kepada Chua? Tetapi, aku memang
berpikir bahwa sebuah kesalahan bagiku mencintai Noura ketika sekolah. Aku sudah
memiliki ketampanan sejak di SMA, hampir semua gadis di sekolah ingin
berpacaran denganku. Tetapi aku memilih Noura saat itu? gadis yang pemurung.
“Aku tidak tahu Chua… aku sedang
kehilangan rasa cinta kepada para gadis. Entahlah…”
“Mengapa?”
Chua
menarik guling, lalu mendekapnya. Lekuk pinggul hingga ke pantat sangat
terlihat mengkilap oleh cahaya lampu. Chua memang memiliki tubuh yang
profosional, apalagi ketika memakai pakaian kantor. Rok pendek, dengan kemeja
dibalut blouse slim, rambutnya diikat, dan dia memakai kaca mata. Tinggi
badan yang ideal, membuat dia menjadi gadis idaman para karyawan kantor.
“Aku tidak tahu Chua. Sungguh aku
tak bisa menerangkan. Mungkin aku sayang padamu, kita tunggu sampai waktu yang
menentukan. Mungkin kita baru tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada
kita.”
“Kamu sepertinya sedang gelisah?
Ceritakan padaku Mas…”
Chua memainkan rambut ikalnya dengan
jari-jari, terlihat lehernya tanpa cela. Dadaku berdesir melihat lekuk
lehernya, kelaki-lakianku mulai bergema kembali. Darah mendidih, memainkan
segala birahi yang sudah tercipta sejak lahir, kodrat sebagai manusia.
“Aku gelisah melihat tubuhmu.”
Chua tersenyum genit, lalu
melemparkan guling yang didekapnya kepadaku. Aku menubruknya, akan tetapi, Chua
membalikan tubuhku. Dia menindihku, lalu mencium lenganku, seolah tak ingin
kehilangan lenganku ini, lalu pipi, rahangku, daguku, hidungku, kepalaku,
seolah dia juga takut kehilangan pikiran-pikiranku dalam otakku, mimpi-mimpiku,
dan segala cita-cita yang tebangun di dalamnya.
Inilah yang tak ingin aku lepaskan
dari gadis bernama Chua. Dia sungguh dapat memainkan imajinasi dalam bercinta.
Menciptakan hentakan-hentakan baru dalam hari-hariku, membuat rutinitasku tidak
menjemukan. Aku dapat merasa hidup dalam kekosonganku, hampa tanpa memiliki
sebuah keyakinan dalam menjalin hubungan.
Udara di dalam kamar hotel ini
semakin panas, tercampur napas kami. Napas dan rintih Chua yang sangat
bergelora, membangkitkan keperkasaanku sebagai laki-laki. Aku mengeluh, keringat
bercucuran. Mengapa Tuhan begitu pemurah kepadaku? Seolah aku adalah hambanya
yang paling taat dalam beribadah.
“Mas… Apakah kamu akan menikahiku,
jika aku sudah dapat melupakan mantanku?” bisik Chua, dibarengi dengan desahan
menggairahkan.
Suara itu sayup-sayup aku
dengar—yang terngiang dalam telingaku adalah rintihan Noura, wajah yang
tersenyum mendekapku, aku terhayut dalam kekuatan cinta yang dulu pernah aku
abaikan. Oh Tuhan, mengapa kamu begitu pemurah kepadaku? Semua yang dilimpahkan
kepadaku tidak mampu kuterima, kudekap, dan kupeluk sepenuhnya sama seperti
usahaku mendekap, memeluk dan mencintai Noura.
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert