Tidak ada cinta yang berujung dengan
kepedihan. Kata-kata itu selalu mengganggu dalam pikiranku, sebab pada
kenyataanya aku mendapatkan kepedihan. Aku belum bisa melupakan mantan
kekasihku sendiri, padahal sudah hampir satu tahun aku putus dengannya. Aku
mulai berpacaran dengannya ketika kelas XI SMA, dan sekarang aku sudah kelas
XII SMA. Tentu bukan waktu yang sebentar untuk dapat melupakan dirinya,
entahlah. Apakah cinta ini bisa membunuhku?
Mata ini masih memandang ke luar
jendela kelas. Anak-anak tengah asyik bermain bola, ada juga yang tengah
ngobrol di tepi lapangan sekolah, sambil membuat lelucon, dan ada juga yang
sedang godain cewek. Pura-pura menawarkan sneakers wanita banyak pilihan, trik menggoda ala-ala sales yang ujungnya minta nomor Whatsapp. Sementara, aku di sini di dalam kelas ini merasakan
sepi yang tak berunjung.
Mungkin benar, bahwa cinta bisa
membuat diri ini merasakan pedih yang teramat sangat, walaupun banyak orang
mengatakan bahwa cinta selalu bahagia. Bagiku itu semua adalah bullshit!
Cinta itu senangnya selingkuh, berdusta atau syahwat. Aku sekarang tidak ingin
peduli lagi dengan cinta.
“Apa boleh aku temani?”
Aku menoleh ke belakang. Raka
tersenyum, seorang siswa kelas sebelah yang selama ini perhatian padaku.
Badannya tidak terlalu pendek, wajahnya melayu dengan rambut hitam terbelah
menyamping, dia memang selalu rapi. Bahkan sempat kukira dia model boyfriend jeans tersedia di Tokopedia, sebab selalu kekinian dan modis.
“Aku sedang tak ingin ditemani,”
jawabku.
“Tapi aku ingin menemani.” Raka
masih berdiri di belakangku walau aku sudah memalingkan muka ke luar jendela
lagi.
“Aku sedang tak butuh teman!”
Tak ada suara, aku pikir Raka sudah
pergi. Pasti dia akan pergi, sebab aku sudah mengusirnya secara halus. Aku
sedang tak ingin ditemani, sedang merasakan kesedihan yang teramat dalam, wajah
mantanku masih terus membayangi dalam hari-hariku, seolah dia adalah hantu
cinta yang tak pernah mati.
Beberapa menit berlalu, suara Raka
tak muncul lagi. Dia sudah pergi, aku menarik napas panjang. Kemudian menengok
ke belakangku, untuk memastikan apakah dia sudah benar-benar pergi. Dan… aku
terkejut, dia tersenyum padaku ketika aku menengok ke belakang, wajahnya sangat
manis.
“Loh, kok masih di sini?” tanyaku.
“Memangnya nggak boleh?” tanyanya.
“Ya… nggak boleh, mengganggu tahu!”
aku ketus.
“Kamu di sana, aku di sini. Nggak
mengganggu kok!”
“Lagian kamu bukan kelas ini, jadi
ngapain berdiri di situ?” aku kesal.
Raka malah tersenyum. “Boleh aku
menemanimu?” tanyanya, tetap berdiri.
Aku memandang wajahnya—sebuah
senyuman selalu saja muncul jika aku menatap dia. Seolah dia memang cowok yang
paling manis di sekolah ini, padahal banyak sekali cowok yang manis di sekolah
ini, bahkan yang ganteng juga banyak. Tapi kenapa dia yang selalu muncul. Aku
nggak suka dia selalu mengikutiku, sangat tidak suka. Sebab… ah, aku belum bisa
menceritakan alasannya.
Aku berdiri, bermaksud untuk
meninggalkan Raka. Namun dia malah mencegahku, dengan menahan pundakku ketika
mencoba berdiri dari bangku yang aku duduki.
“Aku hanya ingin menemanimu, nggak
lebih!” katanya.
Tatapan mata yang mengisyaratkan
memohon. Kalau sudah begini, aku tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa melihat
seorang cowok memelas di hadapanku. Aku sangat lemah untuk urusan itu, sebab
aku bukanlah tipe cewek yang suka menindas laki-laki.
Aku duduk kembali. Hanya posisiku
yang tidak menghadap jendela, aku duduk seperti biasa, duduk di bangku kelas
menghadap ke depan kelas. Raka kemudian duduk di sampingku, dia
memainkan-mainkan HP dari tadi, sambil sesekali tersenyum ke arahku. Wajahnya
seperti sedang menyimpan sesuatu.
“Ada apa sih?” tanyaku kesal.
“Nggak ada apa-apa kok,” jawab Raka.
Kemudian kami terdiam lagi. Persis
seperti orang linglung, kami hanya saling pandang kemudian bingung mau
membicarakan apa. Kalau aku hanya tidak ingin memulai pembicaraan, dari tadi
aku hanya ingin menikmati suasana sekolah yang ramai di luar sana menunggu bel
istirahat berbunyi. Aku juga malas untuk keluar kelas, aku lebih senang
menyendiri begini, sepertinya dengan menyendiri pikiranku cerah, tidak suntuk
dan ruwet.
“Aku…,” Raka menghentikan ucapannya.
Aku menoleh ke arahnya. Ini anak
dari tadi aneh deh, ada apa sebenarnya dengan dia? Tidak seperti biasanya dia
kikuk seperti ini, biasanya jika dia datang menghampiriku dengan wajah gembira
sambil membawakanku cokelat. Walaupun aku suka banget dengan cokelat, tapi
pemberian Raka biasanya aku berikan kepada teman-teman di kelas.
“Ada apa?” aku jadi penasaran.
“Nggak kenapa-kenapa deh!”
“Loh? Jangan bikin orang penasaran
deh…”
“Kamu penasaran?”
Ekspresi wajah Raka tiba-tiba saja
berubah, dia terlihat sangat gembira. Sedangkan aku bingung, dengan perubahan
itu.
“Kamu nggak gila ‘kan?” tanyaku
sewot.
“Bisa jadi aku gila, hehe. Tapi…
nggak sih!” Raka segera mengatakan ‘nggak’ setelah aku melotot.
Beberapa teman-teman satu kelasku
masuk. Mereka tertawa cekikikan ketika masuk, entah apa yang baru saja mereka
obrolkan di luar. Mata mereka melihat ke arah kami, kemudian dia berbalik arah
lagi dan keluar kelas. Aneh deh? Mengapa mereka segera keluar kelas?
“Aku
nggak mau mengganggu kamu. Tapi akhir-akhir ini kamu selalu terlihat
menyendiri, bukannya…”
“Aku memang sedang ingin sendiri
saja Raka…,” kataku memotong ucapnnya.
“Tapi aku mengkhawatirkanmu!” Raka
memandangku.
Suara dan pandangan itu membuatku
bergetar. Tatapan yang tidak biasa dilakukan oleh Raka. Aku seperti merasakan
tatapan yang dulu pernah aku rasakan, mantan kekasihku, sering menatapku
seperti itu. Tatapan yang penuh kasih dan sayang, tapi di hadapanku adalah
Raka, tak mungkin aku memeluknya, seperti mantanku ketika menatapku seperti
itu.
Aku menunduk. Tak kuasa memandangnya
lagi. Hati ini tiba-tiba saja merasa redup, ingin menangis dan teriak
sekencang-kencangnya. Cinta masa lalu telah membuatku menjadi pribadi yang
lemah, sebab cinta itu benar-benar berkesan bagiku, sangat berkesan, hingga aku
merasakan sangat kehilangan.
Bersambung ...
Sumber Gambar : PxHere
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert