Oleh Nana Sastrawan
“Aku sangat
peduli sama kamu, Bunga. Sangat peduli, aku tak ingin melihat kamu terdiam
sendiri, seolah kamu tak memiliki teman,” ucap Raka.
“Tapi… aku memang ingin sendiri,”
kataku.
Derai air mata perlahan membahasi
pipi. Aku tak sanggup menahan tangis ini, luka masa lalu kembali terangkat, dan
aku sepertinya akan menangis lebih kencang di hadapan Raka. Aku tak peduli.
“Kesendirian itu tak ada gunanya,
kamu harus move on!”
“Aku belum bisa Raka, masih sangat
sulit,” isak tangisku mulai terdengar.
“Tapi kamu harus! Apa selamanya kamu
akan memendam kesedihan? Kamu tidak harus memikirkan Rian, si Brengsek itu!”
Aku langsung memandang wajah Raka.
Nggak rela jika Rian dikatakan brengsek, walaupun dia sudah melukaiku, tapi aku
tak ingin mantan kekasihku itu dijelek-jelekkan di depanku.
“Kenapa? Kamu marah?” tanya Raka.
“Jelas aku marah, kamu sudah
keterlaluan Raka!”
“Tapi kenyataannya begitu!”
“Kamu tidak tahu apa-apa soal Rian,
jadi jangan membuatku tambah kesal sama kamu!”
Aku benar-benar marah kepada Raka.
Bagiku, dia sudah kelewat batas. Ikut campur dalam masalahku, sedangkan dia
bukan siapa-siapa aku. Dia tidak berhak mengurusi aku, sebab aku juga bisa
mengurus diri sendiri.
“Oke-oke… aku sadar aku salah,” kata
Raka.
Kemudian kami terdiam lagi. Emosi
ini masih belum juga turun, masih ingin rasanya aku mendamprat Raka. Tapi, tak
ada gunanya, sebab akan menimbulkan permasalahan baru. Biarlah ini berakhir
sampai di sini, aku sadar Raka juga bermaksud baik, untuk mengajakku keluar
dari masa lalu yang pedih.
Namun mungkin caranya yang menurutku
salah. Bagiku, bukan sebuah kepantasan jika seorang cowok menjelek-jelekkan
cowok lain untuk mengambil hati seorang cewek. Sebab setiap orang tidak ada
yang sempurna, memiliki kekurangan dan kesalahan, jadi janganlah membuat sebuah
penistaan kepada orang lain, yang sebenarnya akan melukai diri sendiri.
“Aku…,” Raka menghentikan ucapannya
lagi.
Sedangkan aku berusaha untuk
menghapus air mata oleh tisu, aku tak ingin menangis lagi, emosiku perlahan
stabil. Raka memandangku, lalu dia mengotak-atik HPnya ketika aku beusaha
membersihkan air mata.
“Aku tak ingin kamu menangis lagi…,”
kata Raka.
“Tapi… sekarang kamu membuat aku
menangis,” jawabku.
“Maafkan aku…”
Raka tersenyum padaku. Aku
memandangnya, tatapan kami beradu, kali ini ada senyum tulus yang aku lihat
dari wajah Raka, senyum yang sangat mempesona. Hatiku semakin nyaman.
“Aku maafkan kok…,” kataku. Kemudian
membalas senyumnya.
“Mmm… aku ingin kamu melihat ke luar
jendela sekarang,” kata Raka.
Aku heran, mengapa tiba-tiba
memintaku melihat ke luar jendela. Namun wajah Raka cerah sekali, seolah dia
telah melepaskan sebuah beban yang paling berat yang ditanggung oleh dirinya
selama ini. Perlahan, aku menengok ke luar jendela. Dan… aku sungguh terkejut
melihat semuanya.
Para siswa yang sedang asyik main
bola, dan duduk-duduk di tepi lapangan berada di tengah lapangan dan menghadap
ke arahku. Mereka membawa bunga dan balon, serta membentangkan sebuah tulisan: I
Love You, Bunga. Wajah mereka juga tidak kalah cerah seperti Raka. Aku
menengok ke arah Raka?
“Ada apa dengan semua ini?” tanyaku
nggak percaya.
“Itulah yang aku rasakan saat ini padamu,”
jawabnya.
“Tapi…”
Kata-kataku terhenti, aku memandang
wajah Raka yang ceria. Hati ini tak tega jika harus menghancurkan keceriaannya.
Kemudian mataku kembali melirik ke luar jendela. Tulisan itu diikat di
balon-balon, dan bunga-bunga mawar diikat di tali-tali balon itu, kemudian
dilepaskan terbang ke angkasa. Apa yang harus aku lakukan? Apakah memang benar
tidak ada cinta yang berujung dengan kepedihan? Sementara itu, bayang-bayang
cinta masa lalu muncul kembali, ketika aku melepaskannya dengan pelukan.
“Aku… aku…”
Aku mencoba lagi untuk berkata,
namun tak kuasa hati ini meneruskan kata-kata. Tenggorokan sepertinya kering
hingga sangat sulit untuk berkata lebih banyak lagi.
“Aku tidak butuh jawaban,” kata
Raka.
Aku tersentak—kuangkatkan wajah yang
baru saja tertunduk. Aku tidak mengerti dengan pikiran Raka. Mengapa dia
melakukan itu semua jika tak membutuhkan jawaban? Untuk apa Raka?
“Sebab cinta tidak harus membutuhkan
jawaban bukan?” kata Raka.
“Tapi…”
“Cinta itu biarlah tumbuh dalam
hati, dan akan menemukan persinggahannya sendiri. Tak harus dipaksakan.”
Raka tersenyum, senyum, tersenyum
lagi. Dia seolah tidak pernah ingin memberikanku wajah kemarahan, dia hanya
ingin memberikanku senyuman. Sungguh Raka adalah cowok yang paling bijaksana yang
aku kenal untuk saat ini. Dia tidak menuntutku untuk menjawab dari semua yang
telah dia rencanakan, tentu dengan susah payah dia merencanakan ini agar
berjalan lancar.
“Istirahatkanlah dulu hatimu, Bunga.
Semoga apa yang kamu lihat dan rasakan denganku hari ini membawamu perubahan.”
Raka bangkit dari tempat duduknya. Dia melangkah keluar
dari kelasku, dan terhenti di depan pintu, lalu berbalik dan tersenyum. Ah…
semuanya sangat menggangguku. Tentang rasa ini yang belum bisa melupakan sang
mantan, dan tentang Raka yang sungguh sangat baik dan menawan.
Bersambung ...
Sumber foto dari google.com
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert