Cinta itu
sulit dimengerti. Terkadang, terasa menyenangkan, namun lebih banyak juga yang
menyakitkan. Apakah cinta dilahirkan hanya untuk ditangisi? Aku tidak pernah
tahu apakah itu benar atau tidak. Aku masih mencari cinta yang dapat membuat
aku merasakan kebahagiaan selamanya.
Mungkin, karena itu banyak sekali
puisi-puisi cinta terciptakan oleh para pujangga. Dan para penulis senang
menulis cerita-cerita cinta karena itu yang paling banyak diminati oleh banyak
orang. Sementara aku belum menemukan makna cinta yang sesungguhnya. Cinta yang
tulus.
“Hey, kok melamun?”
Raka mengejutkan aku. Matanya begitu
teduh, ada pandangan yang indah yang kurasakan ketika dia menatapku.
“Mmm…”
“Kangen ya?”
“Kangen?”
“Iya… kangen akan masa-masa pertama
masuk sekolah, masa-masa belajar. Seolah semuanya sangat begitu cepat berlalu.
Beberapa bulan lagi, kita harus berjuang untuk hidup masing-masing,” kata Raka.
Kini aku yang menatap wajah Raka.
Pandangan mata kita beradu, cowok ini memang keras kepala, sudah berulang kali
aku menghindar dari segala urusan hati, namun dia tidak pernah menyerah, selalu
hadir ketika aku sendiri.
“Memangnya kamu akan bekerja setelah
keluar dari sekolah?” tanyaku.
“Itu yang aku bisa. Tidak banyak
yang bisa aku lakukan untuk seorang anak dari keluarga perantau. Kamu?”
“Aku akan kuliah. Mengambil sastra,
aku senang musik dan menulis,” jawabku.
“Wah… bakal ada pujangga baru dong!”
ledek Raka.
“Ah, kamu bisa saja!”
Sesaat kami terdiam.
“Kamu tahu, mengapa aku sangat
mencintaimu?” tanya Raka.
Ucapannya membuat jantungku berdebar
kencang. Selalu itu yang dibahas oleh Raka, dia tidak pernah merasa bosan untuk
mengatakan bahwa dia jatuh cinta padaku.
“Memangnya cinta butuh alasan?”
tanyaku.
“Entahlah… yang aku tahu, kamu
adalah wanita yang tidak pernah menyerah, lembut dan cerdas, itu mengapa aku
jatuh cinta kepadamu.”
Aku menunduk. Sungguh kata-kata yang
membuat aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, aku tak tahu apakah dia sedang
menggombal atau menyatakan kebenaran. Tak ada yang bisa menduga itu, sebab Raka
memang mengungkapkannya setiap bertemu denganku. Perlahan tangan Raka menyentuh
jemariku.
Hati ini semakin berdetak kencang.
Aku tak tahu harus berbuat apa? Meskikah aku menggenggam jemari tangannya, atau
aku melepaskannya? Aku butuh seseorang untuk mengiringi langkah-langkahku.
Namun, aku tidak tahu harus memilih siapa? Aku bingung dengan perasaanku
sendiri.
Tiba-tiba, Raka ada yang menarik
dari belakang. Aku terkejut, menoleh ke arah datangnya orang itu. Rian sudah
melayangkan tinju ke wajah Raka. Hantaman tinju Rian membuat Raka
terhuyung-huyung. Namun, Raka tidak jatuh begitu saja, dia berusaha menjaga
keseimbangan ketika Rian mulai menyerang lagi.
Kini, Raka sadar bahwa dirinya dalam
ancaman, jika tak melawan maka akan tertindas. Dia mengelak dari serangan Rian,
dan balas meninju. Perkelahian tak bisa dihindari, mereka saling tinju, saling
tendang, saling banting. Bergulat di tanah, hingga mereka babak-belur.
“Hentikan!” teriakku.
Aku berusaha memisahkan mereka.
Sementara para siswa yang sejak tadi menikmati kesibukan masing-masing di waktu
istirahat. Menyerbu kami, membuat lingkaran, seperti sedang melihat dua ayam
jantan yang bertarung, mereka bersorak.
“Cukup! Hentikan!”
Aku berusaha menarik Raka yang
sedang menindih Rian, dan memukul wajah Rian. Aku terus berusaha menarik Raka
hingga akhirnya Raka bisa aku hentikan. Namun, Rian segera bangkit dan
melayangkan tinju, Raka menghindar. Tinju itu tepat mengenai pipiku, kepalaku
pusing, aku tersungkur.
Mendadak suasana hening. Raka dan
Rian menghampiriku, dan mengangkat tubuhku. Aku sudah muak dengan mereka, aku
sudah muak dengan sikap kekanak-kanakan mereka. Aku bangkit, kukuatkan hati
untuk menatap wajah mereka.
“Jika kalian masih ingin bertengkar,
silakan! Tapi, aku tidak pernah memilih dari kalian. Bagiku, kalian semua
brengsek!”
Aku pergi meninggalkan Raka dan
Rian. Mereka hanya saling pandang, dengan napas terengah-engah. Sementara
beberapa guru menerebos kerumunan.
“Kalian semua ikut ke kantor!”
Dan Raka juga Rian ditarik menuju
kantor kepala sekolah, tentu mereka akan mendapatkan hukuman, karena membuat
onar di sekolah. Sedangkan aku terus berlari ke belakang sekolah, tangisku
pecah. Air mata tak bisa aku tahan. Aku tak bisa mengerti, apakah ini wujud
dari rasa cinta?
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert