Cerpen ini telah dimuat di majalah Kandaga, Edisi April 2017.
Oleh Nana Sastrawan
Dilarang Masuk Selain Penghuni
Entah
sejak kapan tulisan itu ada di gerbang rumah, tidak ada yang tahu, bahkan
keluarga yang memiliki tanah paling luas di pertigaan jalan masih
bertanya-tanya. Letak rumah itu sangat bagus untuk usaha, berada di lokasi yang
ramai, di sekitar rumah itu berdiri gedung-gedung perkantoran dan ruko-ruko
serba ada, di emperan jalan juga banyak pedagang-pedagang kaki lima ikut
menjajakan dagangan mereka, jalan itu adalah segitiga emas bagi para pedagang.
Mungkin disebabkan mitos tentang tusuk sate sehingga orang-orang memilih
tempat ini sebagai lokasi berbisnis, akan sangat menguntungkan.
“Bang, rokok Dji Sam Soe sebatang!”
Pedagang rokok itu mengambil
sebatang rokok, lalu menyodorkan kepadaku. Matanya mengawasi gerak-geriku sebab
aku ini orang asing, baru saja melintas di kawasan ini untuk duduk dan
bersembunyi dari terik matahari.
“Ini rokoknya!”
Aku menyalakan rokok, asap mengepul
dari mulut melukiskan kenikmatan seorang perokok yang sedang beristirahat di
siang bolong. Mataku menatap rumah itu, tembok-tembok di sekitar rumah
menjulang tinggi, tak bisa kulihat sesuatupun di dalam rumah yang megah itu.
Rumah tua dengan gaya bangunan Belanda.
Sementara keadaan semakin ramai,
debu berterbangan dari roda-roda kendaraan, menempel kemana saja, orang-orang
hilir mudik. Entah mau pulang atau pergi, entah sedang menunggu atau ditunggu,
entah sedang mencari atau dicari, entah apa yang terjadi pada mereka, tak
pernah ada yang tahu.
***
Di dalam kantor, terjadi kesibukan.
Seorang pemuda masuk mengikuti seorang wanita cantik memakai rok mini, mereka
tergesa-gesa melewati orang-orang yang tengah sibuk bekerja; mengetik,
menelpon, menghitung belanja kantor dan keuntungan, mengantarkan berkas dan
lain-lain. Di depan pintu mereka terhenti, perempuan itu mengetuk lalu membuka
pintu kemudian masuk setelah mendapat ijin, beberapa menit kemudian pemuda itu
telah duduk berhadapan dengan Bos besar.
“Jadi Anda ingin menjual tanah?”
tanya Bos besar.
“Iya Pak. Tanah ini cukup luas, dan
banyak yang mengincar. Tapi, Saya beranggapan di sini tempat yang paling cocok
untuk harga tanah kami,” jawab Pemuda itu.
Bos besar menatap wajah Si Pemuda,
sudah terlihat tampang tamak dari raut muka dihadapannya itu.
“Bisa saya lihat berkas-berkasnya?”
Pemuda itu menyodorkan sebuah map
berwarna biru, Bos besar membuka map tersebut lalu membaca dengan sangat
teliti. Setelah beberapa menit meneliti semua yang berada di dalam map biru
itu, Bos besar menyipitkan mata menatap Si Pemuda dengan tatapan picik.
“Perusahaan hanya bisa menghargai 50
ribu…,” kata Bos besar datar.
“Yang benar saja pak! Tanah ini
sangat luas dan strategis untuk berbisnis, kami hanya bisa melepas 200 ribu
setiap meternya. Itu sudah sangat murah!” Pemuda itu terlihat kesal.
“Tapi itu yang bisa kami berikan,
jika mau akan segera dibayar. Kalaupun tidak setuju, silakan meninggalkan
kantor, saya masih harus menghadiri rapat para Investor yang akan menanamkan
saham untuk hotel yang baru selesai dibangun.”
Pemuda itu terdiam—sepertinya ia
sedang berpikir, sudah beberapa perusahaan di datanginya untuk menawarkan tanah
milik keluarga, hanya perusahaan ini yang terakhir ditawarkan, jika perusahaan
ini tidak mau, apa boleh buat, dia tak akan pergi lagi menawarkan tanah itu dan
lalu membiarkan tanah itu membusuk di permukaan bumi.
“Tambah sedikit lagi Pak…,” Pemuda
itu masih berharap ada peruntungan.
Bos besar tersenyum, ia melihat lagi
berkas-berkas tanah itu. “Saya tak bisa membantu Anda lebih banyak lagi,
perusahaan sudah terlalu banyak membeli tanah,” katanya.
Pemuda itu geram, hatinya kesal. Ia
tahu bahwa Bos besar ini hanya mengada-ngada, akal licik untuk urusan
berbisnis, dia beli murah dan lapor ke perusahaan mahal. Tapi, apa yang bisa ia
lakukan? Tanah itu sudah sering ditawarkan juga oleh seluruh anggota
keluarganya, namun tak ada satupun yang mau membeli. Padahal, tanah itu adalah
warisan terbesar yang bisa mereka nikmati uangnya setelah dijual.
“Baiklah, saya lepas… tapi dibayar
kontan,” kata Pemuda itu pasrah.
Bos besar menyeringai, menandakan
kemenangan yang sangat mudah. Di dalam kepalanya sudah menghitung berapa
keuntungan yang akan didapat dari tanah yang akan dijual oleh pemuda itu.
“Oh ya, dimana letak tanah itu?”
tanya Bos besar.
“Di pertigaan kota,” jawab pemuda.
Seketika Bos besar diam—ia seperti
robot yang kehabisan baterai, tangannya masih memegang map biru, matanya
menatap kaget ke arah Pemuda itu, dan untuk beberapa detik Bos besar tidak
bergerak sama sekali, sampai akhirnya map biru lepas dari pegangan tangannya
lalu jatuh ke atas meja.
“Oh? Maaf… saya tidak jadi membeli,
rumah itu dikutuk!” seru Bos besar.
***
Rumah tua itu sangat terkenal.
Namun, tak pernah menguntungkan bagi anggota keluarganya, tak ada yang mau
membeli rumah itu. Tak pernah ada. Dulu, rumah itu dihuni oleh sepasang suami
istri yang memiliki tiga orang anak, dua perempuan dan satu anak laki-laki,
mereka hidup bahagia. Si Suami selalu bekerja dengan tekun untuk menafkahi
istrinya, begitu juga Si Istri sangat setia menjaga anak-anak dan rumah mereka.
Mereka selalu di rumah jika liburan
tiba, jarang sekali meninggalkan rumah. Di sore hari mereka sering berkumpul
bersama, Si Suami memainkan piano dan Si Istri bernyanyi lagu-lagu kenangan,
lagu yang dulu pernah mengingatkan masa-masa percintaan mereka. Tak ada
keributan, tak ada perselingkuhan dan tak ada tamu yang tak pernah senang
ketika berkunjung ke rumah itu.
Bagi para sahabat mereka, rumah itu
memberikan pencerahan, memberikan keberkahan. Rasa sedih akan hilang setelah berkunjung
ke rumah itu, semua yang merasa bahagia berada dalam rumah itu, sebab yang
punya rumah selalu ramah, tak pernah merasa keberatan siapa saja yang ingin
berkunjung, pagi, siang atau malam. Mereka menerima tamu-tamunya dengan baik
dan sopan.
Rupanya mereka mengerti fungsi rumah
dengan baik dan benar, rumah tidak hanya dijadikan untuk berteduh, tidak hanya
untuk berkembang biak, tidak hanya untuk menyimpan barang-barang mewah. Rumah
bagi mereka adalah sebuah tempat untuk bersemedi, bersosialisasi, dan untuk
menyimpan semua kenangan. Sebab rumah seperti jalan menuju kesuksesan di dunia
dan akhirat. Siapa yang dapat menjaga kehidupan di rumah, maka mereka akan
menemukan solusi bagaimana caranya hidup di luar rumah.
Namun, keharmonisan Si Suami dan Si Istri
tidak berjalan mulus. Semakin usia bertambah semakin renta mereka, semakin
tidak dapat bekerja lagi dengan tekun. Kini, ana-anak mereka beranjak dewasa,
bersekolah tinggi, dan hidup di jaman pembangunan. Orang-orang di kota
berlomba-lomba mencari uang atas nama kesejahteraan, sebab katanya jika hidup
sejahtera semua akan di dapat, semua akan mendapatkan keuntungan, semua akan
dihormati.
Anak-anak mereka juga terpengaruhi
akan perkembangan kota yang semakin pesat, mereka melupakan rumah, mereka lebih
senang hidup di luar rumah dengan para sahabatnya, melakukan apa saja yang
mereka inginkan, dan tentu mereka menikmati hidup dengan cara yang dianggap
sudah sangat benar.
Si Istri semakin lelah, dia sudah
merasa gagal mendidik anak-anaknya. Ternyata kasih sayang yang selalu tercurah
kepada anak-anaknya menghasilkan sebuah karakter yang berbeda, perkembangan
jaman lebih dulu menghancurkan kerakter mereka. Apalagi, kota sudah benar-benar
menjadi tempat tujuan semua orang, mau tidak mau uang menjadi Tuhan bagi
orang-orang yang hidup di kota agar tidak tersingkir dari pusat peradaban kota.
Si Istri meninggal dunia. Mati
karena memendam rasa bersalah, sakit yang tak kunjung sembuh, dan anak-anaknya
hanya lebih menyenangi dunia gemerlap kota, hanya ingin terlihat bagus di mata
kawan sejawatnya, hanya mementingkan keindahan semata. Rumah yang biasa ramai
dikunjungi oleh tamu, kini sepi. Tak ada generasi penerus untuk menyenangkan
orang-orang yang berkunjung ke rumah, tak ada orang yang mau bercerita di dalam
rumah itu, tak ada.
Sejak itu, Si Suami sering melamun,
sering bermain piano sendiri. Tak ada teman, tak ada tempat untuk
berkeluh-kesah di usia yang sudah sangat lanjut. Anak-anaknya sudah semakin
tumbuh besar, menikah dan satu-persatu meninggalkan rumah. Si Suami semakin
terpuruk, ia rindu Si Istri, merindukan akan kenyamanan di dalam rumah. Namun
sekarang rumah telah menjadi sebuah penjara, semakin sepi dan gelap.
Dalam kesedihan Si Suami meninggal
dunia, semua orang yang mengenal menghantarkan Si Suami ke liang kubur dengan
tetesan air mata, setelah itu mereka pergi dan tak pernah berkunjung ke rumah
itu lagi. Sementara, peradaban kota semakin pesat, orang-orang berdatangan dari
segala pulau untuk mencari peruntungan nasibnya. Di sekitar rumah dibangun kantor-kantor
dari berbagai perusahaan, ruko-ruko yang menyediakan berbagai kebutuhan, dan
pedagang-pedangan kaki lima yang menyediakan jajanan untuk para karyawan
kantor. Semakin padat dan ramai, sehingga anak-anaknya mempunyai ide untuk
menjual rumah itu, pasti akan sangat mahal dan menguntungkan bagi mereka.
Kematian itu menimbulkan
perselisihan diantara mereka, memperebutkan rumah itu. Setiap dari mereka
meminta hak paling besar dari rumah itu, dari anak pertama, kedua hingga
ketiga. Mereka tidak ingin mengalah satu sama lainnya. Mereka sudah lupa akan
segala kenangan dari rumah itu. Sampai pada akhirnya, mereka berlomba siapa
saja yang dapat menjual rumah itu terlebih dahulu, maka ia yang akan
mendapatkan bagian paling besar.
Sejak itu, hampir tiap malam orang-orang
mendengar suara piano dari rumah itu, sangat memilukan. Tak ada yang berani
masuk ke dalam rumah itu. Gelap dan sunyi, rumah yang telah menjadi rumah tua
yang paling menyeramkan di tengah kota. Bahkan sering terdengar cerita
menyeramkan dari orang-orang sekitar, siapa saja yang masuk ke rumah itu tak
pernah ada yang kembali.
Bahkan, suatu ketika ada beberapa
pekerja dari sebuah perusahaan besar akan bermaksud untuk merobohkan bangunan
itu dan akan dibangun gedung perkantoran, tetapi mereka di teror oleh hantu,
entah seperti apa wujudnya tak pernah ada definisi yang tepat, sebab terlalu
banyak rumor yang berkembang. Ada yang mengatakan sering dilihat kakek-kakek
tua, ada yang mengatakan sering muncul nenek-nenek tua, atau lainnya. Yang
jelas, para pekerja itu meminta pulang sebab tak sanggup dengan
gangguan-gangguan.
Perusahaan tak mau menyerah, mereka
membayar para ahli nujum untuk mengusir hantu, namun tak pernah terdengar kabar
lagi, hingga perusahaan mengembalikan rumah itu kepada pemiliknya. Rumor itu
semakin meluas, hingga sampai saat ini tak pernah ada yang mau membeli rumah
tua itu dengan harga murah sekalipun. Rumah yang sangat strategis di pertigaan
kota, tak dapat dirobohkan hanya karena sebuah rumor hantu.
***
Lama setelah mendengarkan cerita Si
Pedagang rokok itu, aku tercenung. Sungguh sangat tidak masuk di akal, di jaman
modern seperti ini, orang-orang masih percaya akan hantu. Peradaban boleh saja
semakin berkembang, teknologi semakin dapat dinikmati oleh semua orang, namun
tetap orang-orang di dunia ini tak akan lepas dari masa lalu, dari dunia gaib.
Dan kepercayaan itu dapat mengakibatkan sebuah tempat yang paling banyak
menyimpan kenangan tetap berdiri kokoh.
Mungkin
ini sebagai contoh, bahwa kebaikan seseorang tak pernah bisa dihapus hingga si
pembuat kebaikan itu mati. Si Pemilik rumah adalah orang yang baik, mereka
selalu hidup rukun dan menyenangkan bagi semua orang. Bahkan hingga mereka
mati, disekitar rumahnya banyak sekali pedagang kaki lima yang berjualan
nyaman, mengais rejeki untuk keluarganya.
“Siapa nama pemilik rumah itu Bang?”
tanyaku.
“Waah… nggak tahu, nggak pernah ada
yang tahu,” jawabnya.
Aku menatap rumah itu. dalam
pikiranku, kebaikan memang tak pernah harus disebutkan biarlah itu menjadi
sebuah sisi tersendiri bagi setiap orang. Segera aku beranjak dari pertigaan
kota ini, aku akan pulang ke kampung halaman. Mengabarkan kepada keluarga
tentang kehidupan kota yang sudah tidak cocok untuk orang-orang baik, dan
mungkin mengabarkan ke semua warga kampung untuk membuat tulisan: Dilarang
Masuk Selain penghuni, di tanah mereka agar aman dari incaran para
perusahaan-perusahaan pengembang untuk dijadikan perumahan, rumah toko,
apartemen, tempat berbelanja atau kafe.
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert