MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Asmara : Bagian Kelima

Setiap permasalah tentu ada jalan keluar. Kegelapan adalah pintu untuk menuju cahaya yang terang. Siapapun orangnya, mereka akan menemukan jalan jika mau berusaha dan berdoa. Ini permasalah umum, setiap remaja pasti memiliki permasalahan cinta, tapi, tidak semua remaja bersikap dewasa.
            Aku belajar menyikapi ini semua dengan kedewasaanku. Sebab, cinta membutuhkan kedewasaan, cinta bukan hanya kasih dan sayang, tapi cinta adalah wujud dari pertumbuhan manusia.
            Suara musik mengalun di kamar ini, suara piano yang menenangkan isi hatiku. Walaupun dalam keadaan yang berantakan, tapi musik menyatukan kembali. Mataku masih memandang layar komputer, beberapa cerita pendek yang aku tulis tengah aku baca lagi. Aku senang menulis cerita, sebab dengan menulis, pikiranku terasa tenang.
            Pintu diketuk.
            “Apa Mamah mengganggu?” tanya mamah, setelah pintu terbuka.
            Aku membalikkan badan. Mamah melangkah menghampiriku, dia tersenyum. Senyuman seorang ibu yang bijaksana. Kemudian, mamah duduk di atas kasur, matanya menatap ke sekililing tembok kamar yang ditempeli poster-poster Linkin Park, Iwan Fals, W.S Rendra dan Nana Sastrawan.
            “Ada apa Mah?” tanyaku.
            “Kamu ini aneh, masa anak perempuan suka memasang poster-poster begituan?”
            Aku hanya tersenyum. Bagiku tidak aneh, sebab hatiku memang menginginkan hal-hal yang jantan. Aku bukan tipe perempuan yang suka boneka, warna pink atau musik-musik pop.
            “Jadi Mamah mau ngebahas tentang ini?”
            “Nggak juga…”
            “Terus?”
            Mamah diam sejenak, dia menarik napas dalam-dalam.
            “Mmm… Apa kamu siap berpisah dengan Mamah?” tanyanya.
            Aku tersentak—apa maksudnya dengan semua ini? Mengapa tiba-tiba mamah berkata begitu?
            “Aku belum mengerti, maksud Mamah apa?”
            “Hhh… kamu udah besar, udah mau kuliah. Pasti akan jauh dari Mamah.”
            “Ooh… tenang saja Mah… Bunga akan selalu ada di samping Mamah,” aku langsung duduk di samping mamah dan memeluknya.
            Pelukan yang sangat hangat. Aku merasa sangat nyaman jika memeluk mamah, seolah hidupku sepenuhnya milik mamah.
            “Tapi, Papahmu berpikiran lain.”
            Aku melepaskan pelukan mamah. “Papah?” kataku.
            Mamah mengangguk.
            “Ada apa sebenarnya Mah?”
            “Sebaiknya kita ke ruang keluarga.”
            Mamah bangkit, lalu melangkah keluar kamar, diikuti olehku dengan hati yang bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan nasibku selanjutnya? Dan apa yang direncanakan oleh papah?
            Sesampainya di ruang keluarga, aku melihat papah sedang duduk sambil membaca buku. Mungkin buku tentang bisnis, atau buku-buku motivasi bagaimana bisnis yang baik. Entahlah, yang aku tahu papah memang senang membaca buku tentang wiraswasta dan sejenisnya.
            Mamah duduk di samping papah, dan aku duduk di depan mereka. Sebagai anak satu-satunya, aku memang sangat disayangi oleh mereka, hampir semua kebutuhanku tidak pernah kurang, aku beruntung dilahirkan dari keluarga yang berpendidikan dan berpenghasilan. Sementara, di luar sana banyak sekali yang lebih kekurangan daripada aku.
            “Bagaimana persiapan ujianmu?” tanya papah.
                “Mudah-mudahan lancar Pah…”
            “Loh? Kok mudah-mudahan?”
            “Ya… kalau belajar sih setiap hari Pah!”
            Papah tersenyum. Sepertinya dia menangkap rasa gugup dalam diriku, aku memang sedang bertanya-tanya dalam hati, apakah kemungkinan buruk yang akan terjadi pada diriku.
            “Papah percaya sama kamu kok. Kamu memang anak Papah yang cerdas dan berkepribadian.”
            “Terima kasih Pah, aku juga nggak mau mengecewakan Papah.”
            “Papah senang dengan sikap sederhana kamu itu, udah diberi motor masih senang dengan memakai sepeda ke sekolah, sementara teman-temanmu banyak yang mengendarai motor dan mobil.”
            “Ya… aku memang senang olahraga juga. Naik sepeda itu sehat Pah. Coba deh, Papah ke kantor mengendarai sepeda!”
            “Kamu itu bisa saja, bisa-bisa Papah terlambat terus dong!” Papah tertawa gembira mendengar saranku.
            Tidak ada mimik muka yang tersembunyi dari papah, semua sepertinya biasanya. Tidak ada tanda-tanda hal penting yang akan dibicarakan.
            “Mmm… Sebenarnya ada apa Papah memintaku berkumpul di sini?” tanyaku.
            Papah memandang wajah mamah. Dia memastikan pada mamah apakah sudah diberitahu atau belum, namun mamah hanya diam seribu bahasa.
            “Papah ingin kamu kuliah ke Selandia Baru. Pendidikan di sana sudah mulai bagus dan berkembang pesat.”

            Sepertinya tubuh ini beku. Mungkin aliran darahku yang tidak lancar akibat terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin papah memiliki pemikiran seperti itu? aku tidak bisa meninggalkan keluarga ini, mamah akan sangat merindukanku, dan tentu saja aku tak akan pernah bisa lepas dari mamah.
Sumber foto dari www.google.com
Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893