Cerita ini dimuat di buku Tifa Nusantara 1
Matahari bersinar dari timur, bulat dan merah. Kabut
merendah mengendap di daun-daun, menjadi embun, lalu menetes ke tanah.
Burung-burung berkicau merdu dari berbagai jenis menemani kaki para penduduk
Negeri menuju ke bukit, ladang, sawah, pasar dan tempat-tempat mencari nafkah. Di
sini, segalanya subur dan makmur, tak ada peperangan, peselisihan dan perbuatan
dosa. Semua mengikuti anjuran Sang Hyang Tunggal, untuk selalu hidup rukun di
bumi.
Tetapi, kehidupan rukun itu terjadi
tidak hanya ketaatan para pendudukan akan ajaran agama, melainkan Negeri
tersebut dipimpin oleh seorang raja yang sangat arif, bijaksana serta adil.
Raja Prabu Permana Di Kusumah, seorang raja sakti, memiliki ilmu tata Negara
yang luhur, berbudi mulia. Sang raja dikenal oleh masyarakat selalu mencintai
penduduk di Negerinya, terutama kepada orang-orang miskin, dia lebih
mementingkan rakyatnya daripada urusan pribadi. Itulah mengapa Negeri yang
sudah subur, semakin makmur, aman sentosa, gemah ripah loh jinawi.
Negeri yang terletak di bumi Parahyangan, menganut ajaran Sunda.
Prabu Permana Di Kusumah memiliki
dua orang istri; Dewi Pangreyep dan Dewi Naganingrum. Keduanya adalah wanita
yang cantik dan cerdas, namun memiliki perbedaan sifat. Dewi Pangreyep memiliki
sifat pemarah dan mudah cemburu, serta angkuh sedangkan Dewi Naganingrum adalah
seorang istri yang penyabar, rendah hati dan baik. Namun, Raja memerlakukan
mereka secara adil, sehingga tidak pernah terjadi perselisihan di dalam istana.
Suatu hati Raja Prabu Permana Di
Kusumah memanggil penasihat kerajaan, Uwa Batara Lengser. Ia ingin mengutarakan
kegelisahan dalam dirinya, suatu hal yang selalu mengganggu hari-harinya.
“Uwa Batara…, wilujeung tepang, kumaha
damang?”
sapa Prabu Permana Di Kusumah.
“Pengestu
Gusti Prabu,” jawab Uwa Batara Lengser.
Seorang penasihat kerajaan yang
sudah sangat tua, namun daya pikirnya sangat tajam. Dia juga sederhana, tidak
pernah memanfaatkan kedekatannya dengan Raja, wejangan yang diberikan selalu
diprioritaskan untuk rakyatnya.
“Syukurlah kalau begitu, tetapi… Aku
tidak pernah bisa tenang, hidup di dunia ini seperti sangat menyiksa batinku.
Mata ini selalu saja melihat keburukan-keburukan yang dilakukan oleh manusia.
Padahal, aku sudah mencoba memerintah Negeri ini dengan sebaik-baiknya ilmu
yang kumiliki.”
“Ampun Gusti Prabu. Uwa Batara bukan
ingin menggurui, tetapi begitulah manusia, memang sudah diciptakan dekat dengan
nafsu, hanya orang-orang yang menyepi yang sanggup melawan hawa nafsu.”
“Itu yang aku maksud. Aku
memanggilmu kemari, agar aku diberikan pencerahan dalam langkahku nanti. Sebab,
aku memutuskan untuk menjadi pertapa, mengasingkan diri ke hutan, bersemedi di
gunung, mendekatkan diri kepada Sang Hyang Tunggal.”
Betapa kaget Uwa Batara Lengser
mendengar perkataan Prabu Permana Di Kusumah. Itu tujuan yang sangat mulia,
tidak semua raja yang berani memutuskan menjadi seorang pertapa, mengasingkan
diri dari gemerlap duniawi yang sudah setiap hari dimiliki, ini akan menjadi
hal yang paling berat. Tetapi, ada yang lebih penting bagi Uwa Batara Lengser,
Negeri makmur ini, harus dibawa kemana tanpa seorang raja?
“Duh Gusti Prabu, ampun, seribu
hamba mohon ampun! Kerajaan Galuh yang sudah sangat sentosa ini, akan berantakan
jika ditinggalkan oleh Prabu. Bukan hanya itu, musuh-musuh kerajaan pasti akan
menyerang kerajaan, dan langit gelap akan menaungi bumi kerajaan Galuh jika
Prabu memutuskan untuk bertapa,” Uwa Batara Lengser sujud dihadapan Prabu
Permana Di Kusumah.
Prabu Permana Di Kusumah berdiri
dari singgasananya, dia melangkah mendekati Uwa Batara Lengser, kemudian
mengangkat tubuh Uwa Batara untuk bangkit dari sujudnya. Prabu Permana sangat
menghormati kepada yang tua, seperti Uwa Batara Lengser, baginya Uwa Batara
adalah guru dari segala guru.
“Sudah aku pikirkan semuanya Uwa
Batara,” kata Prabu Permana. Dia tersenyum kepada Uwa Batara Lengser.
“Hamba masih belum mengerti Prabu?”
“Jika nanti ada keanehan di
kerajaan, jangan kaget, dan yakinlah bahwa aku telah pergi dari kerajaan.
Namun, aku berpesan untuk selalu waspada, sebab musuh yang paling nyata adanya
dalam diri sendiri. Bimbinglah yang patut dibimbing, dan jagalah yang lemah,
jangan bengkok teukteukan.”
Uwa Batara menunduk, dia tak sanggup
menatap wajah raja yang dikaguminya. Seorang Raja yang tak pernah berhenti
untuk belajar, bekerja dan berdoa untuk keselamatan rakyat negeri Galuh yang
membentang dari Hujung Kulon (Ujung Barat Jawa) sampai ke Hujung Galuh
(Sekarang muara Sungai Brantas). Angin semilir menerpa daun-daun, menggoyangkan
air embun, jatuh ke sungai, mencampur menjadi satu.
***
Seluruh kerajaan terkejut. Prabu
Permana Di Kusumah berubah menjadi seorang pria tampan, gagah dan muda, seperti
masa muda dulu. Tidak ada yang tahu mengapa itu semua terjadi, sehingga rakyat
kerajaan Galuh memercayai bahwa rajanya adalah titisan Dewata. Namun, keanehan
ini juga terjadi pada menteri Aria Kebonan, dia dikabarkan menghilang, tidak
ada yang tahu kemana ia pergi.
Semua pejabat kerajaan berkumpul di Bale Riung, termasuk Uwa Batara Lengser. Dia menyimak
pengumuman dari juru warta, tetapi hatinya menolak atas apa yang diumumkan, dia
tidak percaya sama sekali bahwa pria tampan, gagah dan muda dihadapannya adalah
rajanya sendiri.
“Mulai sekarang
panggil aku, Prabu Barma Wijaya!” suara raja berwajah tampan itu menggelegar di
dalam ruangan.
Sangat terlihat
perbedaan sikap dan sifat dari Prabu Barma Wijaya, ini yang membuat Uwa Batara
Lengser semakin tidak percaya. Yang dia yakini, sifat dasar dari manusia tak
akan pernah hilang walau berganti wujud sekalipun.
“Baik yang Paduka Raja,”
seluruh yang hadir tunduk hormat.
Prabu Barma Wijaya
tertawa terbahak-bahak. Dia sangat senang melihat seluruh pejabat kerajaan
tunduk dan patuh kepadanya, kecuali Uwa Batara Lengser, dia masih diam tak
bergeming dari tempat duduknya.
“Ada apa Uwa Batara?”
tanya Prabu Barma Wijaya.
“Ampun Baginda, hamba tidak
bisa berbohong, sebab bohong adalah awal kehancuran dari seseorang. Hati kecil
hamba mengatakan bahwa Baginda bukanlah Prabu Permana Di Kusumah. Sekali lagi
mohon ampun Baginda….”
“Mmmm… jadi Uwa Batara
tidak percaya atas kehendak Sang Hyang Tunggal?”
“Ini masalah waktu
Baginda, Waktu masa lalu tak mungkin dapat diambil kembali. Yang hidup di masa
lalu hanya tinggal ingatan, menjadi sejarah, sedangkan yang akan datang adalah
harapan, masa yang penuh impian.”
“Uwa Batara Lengser!”
Prabu Barma Wijaya berdiri, wajah tampannya memerah, sementara yang hadir
tertunduk cemas.
“Apakah Uwa Batara
sangsi kepada kekuasaan Sang Hyang Tunggal? Atau… Uwa Berniat jahat atas
kerajaan ini?” Prabu Barma Wijaya geram.
“Beribu ampun Baginda,
hamba tidak bermaksud demikian.”
“Jika begitu, Uwa
bukan orang yang bijaksana. Uwa tidak lebih baik dari buah yang busuk, Uwa
hanya monyet yang hidup di tengah ladang petani, berharap mendapat pisang,
namun terperangkap oleh kurungan.”
“Ampun Baginda…,”
“Sudahlah Uwa Batara, sudah
kukatakan bahwa Uwa Batara tak lebih dari seekor monyet, hanya seekor monyet..
hahahahaha.” Prabu Barma Wijaya tertawa terbahak-bahak, kemudian dia melotot ke
arah para menteri, dan para menteri juga ikut tertawa terbahak-bahak.
Uwa Batara tertunduk, dia bangkit
dari tempat duduknya, kemudian melangkah meninggalkan Bale Riung,
langkahnya melangkah gontai, hatinya terluka atas sikap seorang raja, dan ia
berjanji pada dirinya sendiri bahwa Prabu Barma Wijaya kelak akan terpenjara
seperti seekor monyet, tak bisa berbuat apa-apa hanya berkaok di dalam
kurungan.
***
Hari berganti hari, kerajaan semakin
tidak terkendali. Para pejabat senang mabuk-mabukan dan berjudi sabung ayam,
ini diakibatkan oleh Prabu Barma Wijaya yang senang main sabung ayam, rakyat
Galuh kehilangan pemimpin yang dulu bijaksana, mereka namun mereka tidak bisa
berbuat apa-apa, mungkin ini sudah kehendak Sang Hyang Tunggal.
Bukan hanya rakyat Galuh yang
merasakan. Dewi Pangreyep dan Dewi Naganingrum juga merasakan hal yang sama,
mereka sering dibentak dan diperlakukan kasar, dan mereka tidak pernah digauli
layaknya suami dan isteri. Ini mengakibatkan mereka kesepian dan hidupnya
tertekan di dalam istana. Namun, mereka hanyalah perempuan, tak bisa berbuat
banyak, hanya pasrah.
Suatu malam ketika mereka dirundung
kesedihan, mereka tertidur pulas di kamarnya masing-masing. Lalu mereka
bermimpi ada bulan jatuh kepangkuan mereka, awalnya mereka hanya menganggap itu
adalah bunga tidur. Tapi, mimpi itu selalu saja datang disaat mereka tertidur,
membuat mereka semakin gelisah. Dan kegelisahan itu tidak bisa disembunyikan,
mereka melaporkannya ke Prabu Barma Wijaya.
“Bagaimana mungkin mimpi itu datang
Dinda!” Prabu Barma Wijaya terkejut.
“Hamba berdua juga gelisah
memikirkan itu Raka Prabu,” jawab Dewi Pangreyep, sedangkan Dewi Naganingrum
hanya tertunduk.
“Lalu apa pendapatmu?” tanya Prabu
Barma Wijaya.
“Bagaimana jika kita minta pendapat
Uwa Batara?” Dewi Naganingrum angkat bicara.
Prabu Barma Wijaya terlihat enggan,
namun mau tidak mau dia harus memanggil Uwa Batara Lengser, sebab dialah
satu-satunya penasihat kerajaan yang dipercaya oleh kedua ratu ini. Uwa Batara
memasuki istana, dia bersimpuh dihadapan Raja dan mendengarkan seluruh cerita
kedua Dewi itu. Kepalanya manggut-manggut, ilmu batinya sangat tajam sehingga
dia mengetahui bahwa sebenarnya ada hal tersembunyi di kerajaan ini.
“Hamba hanya bisa mengusulkan untuk
meminta petunjuk dari pertapa Ajar Sukaresi, dia pertapa yang sangat sakti.”
“Pertapa Ajar Sukaresi?” Prabu Barma
terkejut, dia baru mendengar nama pertapa itu selama hidup di kerajaan Galuh.
“Dia seorang pertapa yang tengah
singgah di tanah Parahyangan Gusti, ilmu tafsirnya sangat tinggi, dan dia
memiliki sifat arif bijaksana.”
“Darimana Uwa Batara mengenalnya?”
“Panjang ceritanya Baginda Raja,
tapi… Hamba hanya bertemu ketika hamba menyepi ke hutan larangan.”
Prabu Barma Wijaya terdiam
sejenak—matanya seolah berpikir dan menimbang-nimbang usulan Uwa Batara. Hanya
saja, selama ini dia memang tidak pernah membutuhkan jasa seorang pertapa untuk
urusan kerajaan, baginya semuanya bisa ditangani dengan caranya sendiri.
“Baiklah, panggil dia!” seru Prabu
Barma Wijaya setelah lama berpikir.
Seluruh prajurit dikerahkan untuk
mencari keberadaan Ajar Sukaresi, namun tidak mudah untuk mencari pertapa sakti
itu. Raja sendiri sudah berhari-hari murung, dia memikirkan apa yang akan
terjadi pada dirinya dari tafsir mimpi. Bukankah mimpi itu menandakan bahwa
kedua Dewi akan hamil, namun mana mungkin? Dia tidak pernah tidur bersama
dengan kedua Dewi itu.
Ditengah kegelisahannya itu, seorang
parjurit melaporkan bahwa pencarian pertapa Ajar Sukaresi menemukan hasil.
Pertapa sakti tengah menuju ke istana kerajaan, Prabu Barma Wijaya memanggil
seluruh pejabat kerajaan, sekaligus Uwa Batara dan Dewi Pangreyep, Dewi
Naganingrum.
“Mimpi ini sudah biasa terjadi
kepada wanita yang akan mengandung,” ucap Ajar Sukaresi, dia tersenyum kepada
Prabu Barma Wijaya.
“Hamil? Kedua istriku akan hamil?
Bagaimana bisa?” Prabu Barma Wijaya bangkit dari singgasananya.
Semua yang hadir terdiam—memandang
aneh kepada raja yang terlihat sangat gelisah. Tentu saja Dewi Pangreyep dan
Dewi Naganingrum juga gelisah, mereka sadar bahwa Prabu Barma Wijaya tidak
pernah menyentuhnya. Prabu Barma Wijaya menyadari ekpresinya mengejutkan para
pejabat kerajaan, seharusnya dia bahagia mendengar kehamilan kedua isterinya.
“Baiklah… aku bahagia mendengarnya,
tapi apakah keduanya anak perempuan? Sebab ak.. aku mendambakan anak
perempuan,” kata Prabu Barma Wijaya. Sebenarnya dalam hatinya ia sangat marah,
sebab dia tidak ingin mendapatkan anak laki-laki yang dipastikan akan merebut
kekuasaannya.
“Keduanya anak laki-laki Baginda
Raja,” jawab Pertapa Ajar Sukaresi.
Mendengar jawaban pertapa Ajar
Sukaresi, Prabu Barma Wijaya murka, batinnya yang tidak ingin ada bayi
laki-laki yang memang sudah menjadi pertanda akan kehancuran dirinya. Dia
bangkit lalu mencabut keris saktinya. Lalu ditusukan ke dada Ajar Sukaresi,
namun keris itu bengkok, tidak mempan menghujam dada Ajar Sukaresi.
Semua yang hadir ternganga—mereka
tak percaya akan apa yang dilihatnya, tidak ada satupun yang mampu melawan
keris sakti sang raja. Uwa Batara manggut-manggut menyaksikan itu semua, kini
dia yakin bahwa Prabu Barma Wijaya bukankah Prabu Permana Di Kusumah, sebab
tidak setiap orang mampu menggunakan keris sakti kecuali raja itu sendiri.
Namun, teka-teki siapa sebenarnya Prabu Barma Wijaya belum terjawab, masih
terlalu jauh untuk diteropong dengan ilmu kebatinan.
“Apakah Baginda Raja menghendaki aku
mati? Bila begitu, maka Hamba akan mati.” Setelah berkata begitu, Ajar Sukaresi
jatuh tak bernyawa.
Prabu Barma Wijaya segera memusatkan
kesaktiannya di telapak kaki, lalu menendang mayat pertapa Ajar Sukaresi, mayat
itu terlempar jauh, lalu jatuh ke hutan larangan. Namun, perlahan mayat itu
berubah menjadi seekor naga. Lalu masuk ke dalam gua di hutan larangan untuk
bersemedi. Sementara di kerajaan, usai mayat itu terlempar jauh keadaan semakin
genting, Prabu Barma Wijaya murka dan semakin semena-mena.
Peristiwa keanehan di kerajaan
setelah berganti wujudnya Prabu Permana Di Kusumah semakin menjadi perbincangan
rakyat dan petinggi kerajaan, apalagi Dewi Pangreyep dan Dewi Naganingrum
tiba-tiba hamil dan tidak disukai oleh suaminya sendiri yaitu Raja Galuh.
Beberapa bulan kemudian Dewi Pangreyep melahirkan seorang anak laki-laki, bayi
yang putih dan mungil. Prabu Barma Wijaya melihat bayi tersebut, rasa benci dan
kekhawatirannya tiba-tiba sirna, lalu dia memberi nama Hariang Banga. Tentu
saja, Dewi Pangreyep senang bahwa Prabu Barma Wijaya tidak membunuh anak yang
dilahirkannya.
Berbeda dengan Dewi Naganingrum yang
masih hamil tua, ketika Prabu Barma Wijaya mengunjungi bilik pribadinya, secara
ajaib janin dalam kandungan Dewi Naganingrum berbicara lantang.
“Barma Wijaya, Engkau telah
melupakan banyak janjimu. Semakin banyak kau melakukan hal-hal kejam,
kekuasaanmu semakin pendek.”
Ucapan itu membuat Prabu Barma
Wijaya marah besar, namun dia tidak bisa membunuh janin tersebut, jika
membunuhnya maka harus membunuh Dewi Naganingrum. Dia mengatur siasat,
menghasut Dewi Pangreyep yang sudah memiliki dasar sifat angkuh dan cemburu.
Dirayunya Dewi Pangreyep untuk memusnahkan bayi Dewi Naganingrum ketika lahir,
dengan alasan bahwa Hariang Banga akan menjadi raja pengganti Prabu Barma Wijaya. Dewi Pangreyep terhasut, ketika Dewi
Naganingrum akan melahirkan, dia lalu memerintahkan Dewi Naganingrum menutup
matanya dengan cahaya lilin agar penglihatan Dewi Naganingrum kabur, untuk
memudahkan mengelabui. Dewi Pangreyep berpura-pura membantu persalinan Dewi
Naganingrum, setelah bayi itu lahir, yang ternyata adalah bayi laki-laki,
segera dimasukan ke keranjang dan dihayutkan di Sungat Citanduy. Sementara,
keranjang bayi itu diganti oleh anak anjing.
Setelah menyadari bahwa Dewi
Naganingrum melahirkan bayi anjing, dia sangat bersedih. Prabu Barma Wijaya
memerintahkan Uwa Batara untuk membunuh Dewi Naganingrum di hutan larangan,
Prabu Barma Wijaya menyebarkan fitnah bahwa Dewi Naganingrum dikutuk. Namun Uwa
Batara Lengser tidak membunuhnya. Dia malah membangunkan gubuk di hutan, dan
merobek baju Dewi Naganingrum, lalu melumuri pakaiannya dengan darah bayi
anjing.
***
Beberapa tahun kemudian Di desa
Geger Sunten, tepian sungai Citanduy. Hiduplah sepasang suami isteri yang sudah
tua. Hidupnya sehari-hari hanya memasang keramba perangkap ikan yang terbuat
dari bambu. Di sungai itulah sepasang suami isteri menemukan bayi putih, mungil
dan juga sangat segar terperangkap di keramba. Mereka menyakini, bahwa bayi itu
adalah keturunan raja, sebab sangat berbeda dengan bayi yang biasa lahir di
desanya.
Keyakinannya semakin kuat, semakin
lama, bayi itu besar dan tumbuh menjadi pemuda rupawan, gagah perkasa dan
memiliki kecerdasan. Pemuda itu sangat berbeda dengan pemuda di desanya, itu mengapa
dia sangat istimewa berada di desa itu. Saking merasa suami-isteri itu bukanlah
orang yang pantas untuk merawat bayi itu, hingga sekarang belum diberikan nama.
Bahkan pernah ketua desa juga ingin memberikan nama, hanya tetap saja dia juga
merasa tidak ada yang pantas untuk bayi tersebut. Hingga dia menjadi pemuda
tanpa nama.
Suatu hari, Pemuda rupawan mengajak
kepada orang tua yang telah mengasuhnya untuk berburu. Seumur hidup, dia memang
tidak pernah berburu, semasa hidupnya orang tua itu hanya menangkap ikan di
sungai. Pemuda rupawan itu sangat takjub ketika memasuki hutan, termasuk orang
tua yang telah merawatnya. Banyak sekali hewan-hewan yang dijumpainya, dan
hewan-hewan itu sangat indah, lincah.
“Aki, lihatlah! Ada seekor burung
yang indah di atas pohon itu!” seru Pemuda rupawan ketika melihat burung
berbulu warna-warni.
“Yang Aki tahu, burung seperti itu
disebut Ciung,” jawabnya.
“Ciung?”
Tiba-tiba ada seekor monyet loncat
dari pohon besar ke pohon besar lainnya, membuat burung itu terbang tinggi.
Monyet itu bertengger di atas pohon yang paling tinggi, seolah tak terganggu
akan kedatangan mereka.
“Monyet itu sangat lincah Aki…”
“Monyet?” Orang tua itu memicingkan
matanya. “Mmm… monyet yang seperti itu sering disebut Wanara,” katanya.
“Wanara?”
Pemuda itu lama berpikir, matanya
terus mengawasi monyet itu, hatinya sangat tergelitik menyaksikan tingkah laku
monyet yang sangat tidak peduli akan kedatangan mereka, seolah hidupnya telah
diliputi kebahagiaan.
“Aki, selama ini aku belum memiliki
nama. Bagaimana jika namaku Ciung Wanara?”
Sejenak mereka saling
pandang—rupanya pemuda ini memang cerdas, dia dapat berpikir dan menganalisa
apa yang ada disekitarnya. Padahal, dia tidak pernah berguru pada seorang
pertapa, sungguh dia memang anak yang berbakat. Orang tua itu akhirnya
menyetujui nama itu. Hingga sampai ke rumah setiap orang diberitahu bahwa
pemuda rupawan itu telah memiliki nama, yaitu Ciung Wanara.
Penduduk desa semakin menghormati
Ciung Wanara. Dia memang berbeda dengan yang lain, sehingga ini yang
mengakibatkan Ciung Wanara merasa bahwa dirinya bukan dari daerah ini. Dia
masih penasaran apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya. Lalu diapun bertanya
pada pada orang tua yang merawatnya.
“Rahasia apa sebenarnya yang ada
pada diriku Aki?”
Orang tua itu terdiam, mungkin sudah
saatnya dia mengatakan yang sebenarnya terjadi. Diceritakanlah semua peristiwa
penemuan bayi itu yang tersangkut di keramba, setelah mendengar itu Ciung
Wanara berpikir sejenak, lalu memutuskan untuk pergi ke Negeri asalnya.
“Orang tuamu pasti bangsawan dari
Galuh.”
“Apakah Aki tidak keberatan jika aku
pergi ke Galuh?”
“Pergilah! Temukan asal-usulmu, dan
jangan lupakan di sini, jadilah seorang yang berbudi luhur.”
Ciung Wanara berpamitan untuk pergi
ke Galuh, namun sebelum pergi dia dibekali sebutir telur ayam. Dan janganlah
dimakan telur itu, tapi carilah seekor unggas untuk mengeraminya, sebab
kehidupan lebih berharga dari kematian. Jika telur menetas dan menghasilkan
ayam, maka ayam itu akan menolong dalam kehidupan, sebaliknya jika telur itu
dimakan, maka akan merasa kelaparan sepanjang hidup, sebab makan adalah simbol
kerakusan.
Namun dalam perjalanan menuju Galuh,
Ciung Wanara tersesat di tengah hutan larangan. Semakin dia berjalan, semakin
dia masuk ke dalam hutan. Pohon-pohon tinggi menjulang, Batu-batu curam, dan
ilalang-ilalang terhampar. Ciung Wanara terus berjalan, sebelum matahari
terbenam, ia tidak ingin bermalam di hutan. Namun, takdir berkata lain, malam
telah tiba, dan dia memutuskan untuk mencari goa.
Di dalam goa, terdapatlah seekor
naga jelmaan pertapa Ajar Sukaresi, awalnya dia sangat takut melihat naga
melingkar di batu besar di tengah goa.
“Aku adalah Nagawiru, untuk apa kau
masuk ke dalam pertapaanku?” tanyanya dengan suara menggelegar.
“Aku tidak bermaksud mengganggu
pertapaanmu, aku hanya ingin beristirahat.”
“HHHrrrr!!! Hendak kemana kamu
pergi?”
“Ke tanah Galuh, mencari orang
tuaku,” jawab Ciung Wanara tegas.
Nagawiru tertarik dengan Ciung
Wanara, lalu dia meminta menceritakan kisah hidup Ciung Wanara. Diceritakanlah
seluruh kejadian yang menimpa dirinya, hingga dia diberikan sebutir telur ayam
untuk dierami. Namun, hingga kini, dia belum menemukan unggas untuk mengerami
telur itu. Anehnya, Nagawiru yang sangat menyeramkan itu menjadi baik setelah
mendengar perkataan Ciung Wanara, lalu dia juga bersedia mengerami telur ayam
tersebut, hingga menetas menjadi anak ayam jantan.
***
Perjalanan ke kerajaan Galuh
bukanlah hal yang mudah, Ciung Wanara harus naik gunung turun gunung, masuk
hutan keluar hutan. Untung saja, dia dibekali ilmu oleh Nagawiru hingga tak
pernah mundur jika ada bahaya mengancam. Anak ayam jantan yang dibawa juga
telah besar, gagah dan kuat, suara kokoknya nyaring menembus cakrawala.
Tibalah dia puser dayeuh
Galuh, dimana sedang diadakannya sabung ayam, sebuah pesta besar dalam adu ayam
jago. Raja dan rakyatnya menyukai acara seperti ini, sehingga terkadang para
petinggi kerajaan bergabung di sini. Ciung Wanara juga bergabung, melihat apa
yang terjadi, ternyata ayam jago Prabu Barma Wijaya yang ikut sabung ayam
selalu menang, tak ada yang mengalahkan sehingga tampaklah kesombongan raja itu
semakin tinggi.
“Aku akan memberikan apa saja bagi
ayam siapa saja yang dapat mengalahkan ayamku!” Raja Prabu Barma Wijaya susumbar.
Tidak ada yang berani melawan ayam
jago milik Prabu Barma Wijaya. Ayam yang gagah, memiliki taji yang kuat, sekuat
baja, mampu merobek wajah ayam jago lainnya dengan sekali hentak.
“Aku yang akan menantang Paduka
Raja!”
Semua orang memandang ke arah Ciung
Wanara. Uwa Batara Lengser yang tengah berada di situ memerhatikan Ciung
Wanara, kemudian dia mendekat, lalu berbisik.
“Siapa kisanak? Sepertinya batin ini
mengatakan bahwa kisanak bukan orang jauh,” tanya Uwa Batara Lengser.
“Aku Ciung Wanara, dari desa Geger
Sunten, datang ke Galuh mencari keluargaku yang telah menghanyutkan aku ke
sungai Citanduy,” jawab Ciung Wanara.
Uwa Batara Lengser terkejut
mendengar itu—dia menyadari bahwa Ciung Wanara adalah anak dari Dewi
Naganingrum yang kini sedang menyepi di hutan larangan.
“Mintalah setengah dari kerajaan
sebagai imbalan jika menang, pada saatnya kisanak akan mengetahui kebenaran.”
Ciung Wanara tertegun mendengar
bisikan Uwa Batara, namun dia akhirnya menyetujui, lalu mengutarakan kepada Prabu
Barma Wijaya. Tentu saja Prabu Barma Wijaya menyanggupinya karena yakin ayamnya
akan menang. Dia juga meminta Ciung Wanara dipenggal jika kalah. Setelah
sepakat, adu ayam jago dimulai, semua menyaksikan dengan hati berdebar-debar.
Ayam jantan Ciung Wanara yang
dierami oleh Nagawiru menyimpan kesaktian Nagawiru, dia beratrung dengan gagah
berani hingga ayam jantan Prabu Barma Wijaya kalah dan mati, sesuai janjinya
setengah dari kerajaan diberikan kepada Ciung Wanara. Tanpa menunggu lama,
Ciung Wanara menjadi raja, saat itulah Uwa Batara Lengser datang kehadapannya
lalu menceritakan segala kebusukan Prabu Barma Wijaya hingga rela menukar
dirinya dengan anak anjing.
Geram Ciung Wanara mendengar itu.
Dia kemudian membangun penjara besi, lalu mengatur siasat untuk menjebak Prabu
Barma Wijaya dan Dewi Pangreyep, mereka diundang untuk melihat-lihat penjara
besi tersebut. Hingga masuk ke dalamnya, saat itulah Ciung Wanara mengurung
keduanya.
Hariang Banga tidak terima
mendapatkan kabar bahwa Dewi Pangreyep, ibu kandungnya di penjarakan oleh Ciung
Wanara. Dengan pasukannya, mereka menyerang kerajaan Ciung Wanara, perkelahian
tidak bisa dihindari, kerajaan Galuh yang tenteram, kini berubah menjadi lautan
darah. Mayat bergelimpangan dari para prajurit yang sebenarnya mereka adalah
para prajurit yang dulunya bagian dari kerajaan Galuh, ini disebut perang
saudara.
Ciung Wanara dan Hariang Banga
berduel, ilmu pencak silat yang dimiliki oleh keduanya sangat tinggi, mereka
saling serang hingga ke tepian sungai Brebes. Pertempuran belum ada yang
menang. Saat itulah, Prabu Permana Di Kusumah muncul bersama Dewi Naganingrum
mengejutkan Uwa Batara. Dengan kesaktian Prabu Permana Di Kusumah melerai
perkelahian, lalu menggiring ke duanya ke penjara besi dimana Prabu Barma Wijaya
dan Dewi Pangreyep di kurung.
“Kalian saksikan kebesaran Sang
Hyang Tunggal menghukum orang yang sangat kejam!” ucap Prabu Permana Di
Kusumah.
Usai berkata demikian, Prabu Barma
Wijaya berubah menjadi Aria Kebonan, menteri yang dikabarkan menghilang.
“Aria Kebonan, janji adalah sumpah,
tak bisa dilanggar oleh siapa saja yang mengucapkannya. Kau telah berjanji
padaku akan membawa kerajaan Galuh kepada kemakmuran dan kebaikan, namun nafsu
telah menghancurkan dirimu sendiri. Inilah akibatnya orang yang mengikuti hawa
nafsu, tak ubahnya seperti monyet.”
Setelah berkata, Aria Kebonan yang
dulu dikabulkan keinginannya oleh Prabu Permana Di Kusumah untuk jadi raja
Galuh berubah menjadi monyet, sementara Dewi Pangreyep menjadi seekor burung
gagak, mereka dilepaskan di hutan larangan.
Setelah itu Prabu Permana Di Kusumah
memberikan wejangan kepada Ciung Wanara dan Hariang Banga.
“Kalian adalah bersaudara. Bagi
sesama saudara pamali
untuk berperang melawan saudara sendiri.”
Mereka akhirnya berdamai. Hariang
Banga diperintahkan melangkah ke timur, lalu dikenal dengan nama Jaka Susurah,
mendirikan kerajaan Jawa bersama pengikutinya, sementara Ciung Wanara
memerintah kerajaan Galuh bersama rakyatnya yang disebut orang Sunda. Kedua
kerajaan pun gemah ripah loh jinawi, saling menghargai dan membantu
dalam kesulitan.
“Baginda Raja Prabu Permana Di
Kusumah, hamba masih penasaran dengan pertapa Ajar Sukaresi, apakah itu adalah
jelmaan dari Baginda?” tanya Uwa Batara.
“Uwa Batara Lengser, yakini saja apa
yang sudah Uwa yakini, maka disitulah letak kebenaran akan terungkap.”
Setelah berkata, Prabu Permana Di
Kusumah hilang dari hadapan semuanya, menyatu bersama waktu, tak terlihat hanya
bisa dirasakan.
Pesan:
§ Menjadilah pemimpin yang adil dan bijaksana, gemar
membantu kepada rakyat yang miskin. Sebab, kekuasaan tidaklah kekal, bahkan
bisa mencelakai jika dibawa kepada keburukan.
§ Sesama Saudara tidak boleh bermusuhan, justru harus
saling bahu-membahu dalam kebaikan.
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert