Cerpen ini yang membawa Nana Sastrawan ke Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara tahun 2013
CERITA ini aku baca di sebuah perpustakaan sekolah, mulanya
aku temukan sebentuk lembar kertas yang sudah lapuk, kusut dan tintanya mulai
luntur sehingga aku harus menerka-nerka ketika ada sebuah kata yang tak jelas.
Kertas itu terselip di sebuah buku yang tipis, buku tersebut berjudul…(Lebih
baik tak kusebut). Ada hal yang menarik dalam tampilan depan buku tersebut
sehingga hatiku tergerak untuk mengambilnya dari deretan rak buku, tiba-tiba
kertas itu terjatuh.
Kukuk,
itulah judul yang tertulis. Aku sejenak berpikir ketika membaca judul tersebut,
apa arti dari Kukuk? Nama orangkah? Nama sebuah tempat? Atau… nama si
penulisnya? Rasa penasaran semakin menjalar di dalam kepala, lalu aku bergerak
untuk mencari kursi agar dapat membaca dengan tenang. Sebelum aku membaca
isinya, aku sempatkan mengamati perpustakaan ini. Tak ada siapa-siapa, maka aku
memulai membaca, begini ceritanya:
*
Suatu
hari ada seekor burung, ukurannya tak besar dan tak kecil, warnanya kecoklatan
dengan bintik menyerupai mata di belakang kepala. Burung itu terbang rendah
mengintai sarang-sarang yang memiliki banyak telur. Bukan sarang dari spesies
miliknya, tetapi milik burung-burung lain. Ia mengembangkan sayap, sehingga
terkesan besar dan angkuh. Matanya menatap tajam dan hitam. Mengitari
pohon-pohon yang biasa dihuni oleh burung-burung dari berbagai jenis, kemudian
hinggap di sebuah batang pohon. Angin yang ditimbulkan oleh kepakan sayap
mengibas daun-daun, sebagian yang kering terjatuh ke tanah, ulat-ulat pemakan
daun menyingkir, melarikan diri untuk bersembunyi.
Burung
itu lompat dari dahan satu ke dahan lain, meneliti setiap ranting-ranting
pohon, mencari sarang. Lompatannya sangat sunyi, tak menimbulkan suara atau
getaran, seperti seorang maling yang tengah menyusup ke dalam rumah—sangat
hati-hati. Namun, ia tak menemukan sarang. Pohon rindang dan teduh itu tak ada
penghuni, padahal sangat cocok untuk beranak-pinak bangsa burung, tiba-tiba
seekor ular menyergap. Ular berwarna hijau menyerupai daun, burung itu terkejut
dan terbang menghindar meninggalkan ular yang kelaparan. Kini, ia tahu mengapa
pohon itu sepi penghuni, seekor predator bersarang di sana menunggu mangsa dan
menyergap dengan hitungan detik tanpa terdeteksi. Untung saja, ia sudah
terlatih dalam mengatasi bahaya yang datang tiba-tiba.
Kejadian
itu membuat jantungnya berdegup kencang, sayapnya menggigil sehingga terbang
tak stabil. Ia memutuskan untuk hinggap di sebuah pohon cemara, tinggi menjulang
ke langit. Lalu mengistirahatkan kegelisahan. Sesekali ia lompat ke dahan lain
untuk menghilangkan rasa jenuh, kemudian bertengger di ranting yang terbuka,
pandangan menyimak pohon-pohon yang terjajar di perbukitan. Ia tengah dirundung
kegalauan, dalam hitungan hari, telur-telur di dalam tubuhnya harus segera
dikeluarkan dan dierami, agar tak menyiksa dan menjadi penyakit, namun sampai
detik ini belum ada sarang yang cocok sebagai rumah telur-telur tersebut.
Ia
semakin gelisah, berhari-hari terbang menuju berbagai macam bukit, melewati
lautan, kota bahkan lahan pertanian, tak satupun sarang yang dijumpai dan layak
untuk menyimpan telur-telur. Sejak lahir, ia sudah diwarisi ilmu bertahan hidup
sebagai burung peniru, dan mempertahankan spesiesnya agar tidak punah dengan
bertelur di sarang-sarang burung lain. Ia tak diwarisi ilmu membuat sarang, dan
ia bukan seorang pelajar yang baik untuk belajar membuat sarang. Akibat bakat
itu, spesiesnya tergolong binatang punah, hanya beberapa saja yang dapat bertahan
dan beranak-pinak, yakni yang memiliki naluri membunuh.
Sering
kali ia bertarung dengan burung-burung lain untuk memperebutkan sarang, seperti
komunitas manusia yang saling mempertahankan batas kekuasaanya, atau lahan
penghidupannya. Namun, secara hukum burung, Kukuk bersalah, karena merebut
sarang yang bukan miliknya, walaupun sah secara hukum alam. Karena memang ia
terlahir untuk bertahan seperti itu. Matanya masih mengawasi tajam, paruh
menganga sebagai alat peraba arah angin, tiba-tiba dari ujung dahan seekor
burung Emprit terbang, kepakan sayap terdengar kasar, rupanya ia ketakutan
ketika menyadari ada Kukuk didekat sarangnya.
Kukuk
menoleh, wajahnya sinis—menyaksikan burung Emprit hingga di pohon lain. Kukuk
berjalan dengan santai, menapaki ranting-ranting cemara menuju sarang burung Emprit.
Hatinya gembira, sekian lama mencari akhirnya ada sebuah sarang yang cocok
untuk telur-telurnya. Sementara burung Emprit menatap dengan jantung
berdebar-debar, ia khawatir akan nasib benih anak-anak di dalam sarang
tersebut. Kukuk semakin mendekati, burung Emprit berkicau ribut meminta
bantuan. Namun, tempat ini terlalu sunyi. Kukuk bertengger di tepi sarang,
matanya melihat dua telur berwarna putih susu, masih hangat bekas dierami induk
Emprit.
Induk
burung Emprit itu terus meracau dari kejauhan, suaranya nyaring diembuskan
udara. Kukuk semakin kesetanan, seolah kicauan Emprit adalah musik kemenangan
atas dirinya. Kepala Kukuk dirundukan, kemudian menggeser telur-telur tersebut
oleh sisi-sisi kepala. Perlahan, semakin digeser ke tepi sarang, dan dengan
kekuatan penuh telur itu dilontarkan keluar dari sarang. Induk burung Emprit
meringis, hatinya tersayat ketika menatap satu telur, darah dagingnya sendiri
melayang-layang diudara, kemudian jatuh ke tanah dan pecah. Beberapa detik
kemudian, telur terakhir menyusul jatuh, Induk burung Emprit menjerit.
Kukuk,
mengibaskan sayap di sarang burung Emprit, hatinya merasa puas. Kini, hasrat
untuk menyelamatkan sanak-keluarganya akan terwujud, walau harus menghancurkan
keluarga dari kelompok lain. Mulutnya menganga dengan kepala menengadah, pongah
seperti penguasa. Perbuatan yang sungguh tidak berpri-keburungan dan sudah
melanggar HAB (Hak Asasi Burung). Sementara itu, burung Emprit menunduk,
terpuruk akan nasib sebagai burung kecil, tak berdaya melawan, hanya pasrah
terhadap takdir alam. Ia terbang mengitari pohon cemara, melihat Kukuk yang
dengan nyaman beristirah di sarang yang ia buat berminggu-minggu, tanpa merasa
berdosa. Induk burung Emprit terbang menjauh, entah akan kemana membawa
nasibnya yang malang.
*
Aku
berhenti membaca, kemudian menyandarkan punggung. Mataku terasa gatal dan
lelah, kupejamkan lalu kupijat jidat dengan dua jari. Kepalaku terasa berat,
dan hati berdebar-debar. Bukan karena cerita ini, cerita yang mengisahkan
burung, namun kata yang terkadang menghilang akibat kertas sudah kusut dan
lapuk, tulisan sambung sukar aku baca. Sepertinya penulis cerita ini adalah
orang yang sangat tua, nuansa huruf sambung yang tertulis—kuno, berbeda dengan
huruf-huruf sambung yang biasa diajarkan oleh guru-guru sekolah dasar kepada anaku.
Pastilah cerita yang aku temukan ini sudah berpuluh-puluh tahun terselip di
buku ini, buku yang berjudul…(Ah, lebih baik tidak kusebutkan). Kemudian aku
meneruskan membaca, cerita selanjutnya diawali dengan dialog, simaklah!
*
“Dia
sungguh biadab!” ucap burung Emprit, geram.
Seluruh
yang hadir menyimak dengan seksama, suasana di pohon dadap ramai oleh
burung-burung. Para burung yang hadir menatap wajah burung Emprit; tegang,
ambisius dan marah. Ia loncat ke dahan satu dan yang lainnya sambil berorasi,
memuntahkan rasa sakit hati. Sementara yang hadir masih manggut-manggut, entah
mengerti atau tidak.
“Dia
berulah seperti manusia, seenaknya saja membuang telur-telurku. Darah dagingku
sendiri yang berminggu-minggu aku jaga dan rawat dengan sepenuh hati. Apa
kalian tidak tersinggung perasaan akibat perbuatan itu?” lantang burung Emprit
berucap.
Anggota
sidang paripurna burung di pohon dadap masih diam, mereka belum mengucapkan
komentar atau pertanyaan. Diantara yang hadir, burung Jalak yang menyimak
dengan seksama, burung itu memiliki kepala hitam, dengan bulatan putih di
sekeliling mata, seperti kaca mata, burung itu memang juluki profesor di
kalangan bangsa burung, selain penampilan yang nyentrik, juga wawasan luas.
Tipe burung yang keras kepala dan petualangan handal.
“Yang
saya tahu burung itu bukan warga lokal. Dia biasanya hidup di daratan Eropa,
Amerika dan Afrika, habitatnya di Asia hanya sedikit. Oleh sebab itu mereka
digolongkan burung langka. Tetapi, apakah memang dia berbuat seperti itu?
ketika aku berjumpa dengannya, tak menununjukan sifat-sifat buruk, ia ramah
walau sedikit pendiam,” ucap burung Jalak.
“Tentu saja. Dia melakukannya di depan
mata kepala saya sendiri!” burung Emprit semakin berang.
“Sabarlah
sedikit, Emprit!” burung Jalak menatap tajam.
“Profesor
tidak mengalami hal seperti saya, bagaimana rasanya kehilangan keluarga.
Sungguh menyakitkan, apalagi itu benih anak saya sendiri.”
“Mengapa
kau tidak melawan!” burung Gereja ikut bicara, sambil menyisir bulu-bulu oleh
paruh yang kecil, paruh yang biasa ia gunakan untuk menggasak padi para petani
kampung.
“Saya
rakyat kecil, tak sanggup melawan…,” Emprit menundukkan kepala.
“Lalu,
kau kemari untuk minta bantuan?” burung Gagak berucap serak, ia mengibaskan
sayapnya, duduk dideretan dahan paling tinggi.
Burung
itu hitam dan mengerikan, burung pemakan bangkai dan pembawa berita kematian,
ia sendiri tampak tenang-tenang saja seolah julukan dan mitos tentang dirinya
tak berarti apa-apa. Ia kemudian berkaok-kaok, suaranya menggelegar membuat
bulu kuduk para burung berdiri.
“Saya
meminta hak sebagai bangsa burung, dan kalian teman-teman satu bangsa harus
memberikan simpatik terhadap apa yang terjadi pada saya,” ucap emprit.
“Aku
tidak ingin ikut campur dengan burung yang bukan warga lokal,” burung Dara
menyahut, kemudian duduk santai.
“Ya,
lagipula ia hanya satu ekor. Tak akan dapat berbuat lebih banyak lagi!” sahut burung Belibis.
“Bagaimana
bisa kalian tidak tersentuh perasaannya? Mungkin sekarang baru saya yang
menjadi korban, lambat-laun kalianlah yang akan hancur, keluarga kalian dibunuh
satu-persatu, dia pasti akan mencemari kehidupan bangsa burung,” Emprit semakin
berapi-api.
“Cukup, Emprit!
Kau terlalu bersedih akibat kehilangan anak-anakmu,” ucap burung Pelatuk.
“Hey…
ada apa dengan kalian? Mengapa kepedulian kalian tak ada sama sekali, kita ini
satu Bangsa, satu Bahasa, satu Negara. Mengapa tak ada sikap yang lebih mulia terhadap
rakyat kecil yang teraniaya seperti saya?”
Semua
yang hadir diam. Seolah burung-burung tersebut tengah mendengarkan suara alam
untuk mengetahui perubahan iklim, atau memang mereka bangsa burung yang biasa
diam? Sebab kerjaan burung tidak lain dan tidak bukan hanya diam saja ketika
habitatnya dikacaukan oleh bangsa manusia, mereka bermigrasi jika berbahaya,
mementingkan komunitasnya masing-masing.
“Lalu,
apa kau punya rencana Emprit?” tanya professor Jalak.
“Saya
ingin bangsa burung yang terhormat, yang selalu menikmati hidup tanpa gangguan
di pohon dadap ini membuat sebuah tim,” Emprit menjawab dengan penuh keyakinan.
“Tim?
Sudah gila kau ini? Kami tak sudi mengurusi hal-hal yang kecil seperti itu,
masih banyak yang harus kami perbuat untuk komunitas burung-burung di
lingkungan sini,” burung Gelatik tampak ketus menjawab.
“Loh…
bukankah saya juga bangsa kalian?”
“Baiklah,
seperti apa usulmu?” Jalak bertanya kembali.
“Membuat
sebuah lembaga yang bernama KPK, Komisi Pemberantasan Kukuk.”
Bangsa
burung yang hadir riuh dan saling pandang, bahkan ada juga yang saling bisik
antar komunitasnya. Burung-burung itu dari berbagai elemen masyarakat burung,
partai dan juga aparat pemerintahan burung.
“Undang-undang
burung belum ada yang merujuk ke bidang itu. Lagipula Kukuk adalah bangsa
burung, harus dilindungi hak-haknya, tidak semena-semana dihancurkan oleh
lembaga yang kau usulkan,” Jalak menyipitkan matanya, ia merasa diajari oleh Emprit,
burung dari kalangan bawah.
“Mengapa?
Kukuk merugikan bangsa burung, ia menghancurkan spesies bangsa burung.”
“Belum
tentu spesies yang lain, mungkin saja kau memang punya masa lalu yang kelam dengan
Kukuk, sehingga ia dendam terhadapmu?” burung hantu menyahut, burung yang sejak
tadi hanya manggut-manggut, mengantuk.
“Usul
professor, alangkah baiknya kita bicarakan dengan penjaga angkasa, komandan
Elang!” sahut pelatuk.
“Setujuuuu…!!!”
seluruh burung berseru.
Terdengar
suara menggelegar di angkasa, seluruh burung menatap ke arah suara—Elang
berputar-putar, sayapnya mengembang—gagah, sehingga tampak menutupi matahari.
Matanya terlihat siaga ke segala arah, burung yang selalu waspada. Ia kemudian
turun, meluncur ke arah pohon dadap yang disadari olehnya sedang berlangsung
perkumpulan segala burung. Beberapa meter tiba di pohon dadap, kedua kakinya
terbuka seperti roda pesawat yang akan landing. Kepakan sayap dikibaskan
kebelakang untuk mengimbangi cakar-cakar mendarat di dahan yang besar. Angin
berhembus kencang, berasal dari kepakan sayap membuat para burung menguatkan
pijakan kaki.
“Ada apa ini?” Elang bertanya, suaranya berat
dan pandangan mata menatap dingin.
“Kukuk,
burung itu diduga telah mengusik kedamaian Emprit,” jawab Jalak, sedangkan yang
lain diam, tak berani untuk berucap.
“Bukan
diduga, tetapi saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ia membunuh dan mengambil
sarang, harta benda saya!” lantang Emprit berucap.
“Kukuk?”
Elang berpikir.
“Iya,
dia bangsa burung peniru, kelakuan bangsa manusia, menjarah!” Emprit
berapi-api.
“Ahh…
pernah ada kabar burung tentangnya, tetapi… dia tidak berbahaya. Bahkan baik
kepadaku,” ucap elang.
“Menurut
kami yang hadir juga demikian, sepertinya Emprit terlalu bersedih sehingga
mungkin berhalusinasi,” Jalak menyahut.
“Sudahlah
Emprit, tiada guna kita membahas Kukuk yang tak bermasalah, komunitas dia tak
terlalu banyak dan dia berteman baik denganku, mungkin dengan yang lain.
Pulanglah, hidup seperti biasa, jangan terlalu sering kau bepergian ke
tempat-tempat manusia agar pikiranmu tidak abnormal
seperti ini,” kata Elang, dengan wibawa dan tampak bijaksana.
“Tapi…”
“Sudahlah
Emprit, pergi saja!”
“Ya,
pergi…!!!”
Seluruh
burung ribut dan menyuruh Emprit meninggalkan pohon dadap, pohon yang selalu
ramai dikunjungi oleh bangsa-bangsa burung, pohon yang rindang, harum dan
sangat nyaman. Emprit menundukan kepala, tak sanggup berbuat apa-apa, dan tak sanggup
menyela ocehan burung-burung yang kian ramai dan menyudutkan dirinya. Dalam
hati ia semakin menjerit, mengapa bangsa burung sepertinya yang tengah dilanda
bencana, ditinggalkan oleh bangsanya sendiri.
Emprit terbang meninggalkan pohon dadap, angin berhembus
sepoi-sepoi, daun-daun bergerak lembut, saling bergesakan. Hamparan bukit yang
sunyi, seolah mereka tengah bersemedi memanjatkan doa untuk meminta hujan. Ilalang-ilalang
liar berdiri kekeringan, tak kuasa beranjak dan menghindar, bumi seperti
penjara bagi mereka, mengunci akar-akar. Emprit mengendap diantara ilalang,
lompat ke sana-kemari, seperti seorang penembak jitu matanya mengawasi
sekeliling bukit, kemudian berpindah lagi dengan sangat hati-hati.
Hatinya
gundah, rasa sakit hati selalu menghantui hari-harinya, dan hati adalah alat
yang paling mudah rapuh. Ia berpikir—jika tak ada kebijaksanaan dalam hidup,
perlawanan adalah jalan keluar yang paling baik. Maka, Emprit memutuskan untuk
melawan, memerangi ketidakadilan yang sudah memporak-porandakan kehidupannya.
Kukuk harus merasakan apa yang ia rasakan. Hukum burung tak lebih tegas dengan
hukum rimba, dan hukum rimba tak berarti bersanding dengan hukum Tuhan. Emprit
bukanlah Tuhan, tetapi ia dapat menjadi Tuhan dengan keberanian dan kebijakan
dalam dirinya sendiri.
Pohon
cemara menjulang tinggi. Diam seribu bahasa, tanpa angin menggeserkan
ranting-ranting. Emprit memandang haru, pikirannya teringat benih-benih yang
tengah dierami berjatuhan dibuang oleh Kukuk. Kemudian Emprit terbang dengan
hati-hati dan mendarat di dahan paling rendah, ia meloncat perlahan dari
ranting satu ke ranting lainnya menuju ke bagian paling atas, dimana sarangnya
berada. Hatinya berdebar-debar, rasa takut masih menyelimuti sebagian diri,
seekor burung kecil harus melawan Kukuk yang berukuran lebih besar daripada
dirinya. Namun, dendam adalah kekuatan.
Ia
mengintai, kemudian melangkah perlahan mendekati sarang. Lalu ia bersembunyi di
balik daun, ketika melihat Kukuk tengah santai di sarangnya. Setelah itu, ia
mendekat, menyerang dengan tiba-tiba, mematuki Kukuk yang terkejut, serangan
bertubi-tubi, kebagian tubuh mana saja yang dapat dijangkau oleh Emprit. Kukuk
berang, ia balik menyerang—pertarungan sengit tak dapat dihindari, mereka
saling patuk dan cakar. Merasa terdesak, Kukuk mengibaskan sayap, terbang. Kemudian
mereka bertarung di udara, Kukuk balas menyerang bertubi-tubi.
Emprit terdesak, tubuh yang kecil dan sayap
yang pendek tak kuasa bertahan lama di udara, staminanya menurun. Luka semakin
banyak, disebabkan serangan Kukuk yang tiada ampun. Namun, Emprit tak ingin
menyerah, ia terus saja berusaha menghalang serangan Kukuk yang tengah
melancarkan patukannya ke arah leher, ia mengelak. Kukuk menyerang kembali
dengan cepat membuat Emprit tak sempat menghindar, paruh Kukuk mendarat di mata
kirinya, mengoyak-ngoyak bola mata. Ia menjerit, kemudian berputar-putar di udara,
Kukuk menyerang sayap kanannya lalu mencabik-cabik. Emprit tak bisa bertahan,
ia melayang jatuh, kepalanya membentur batu.
*
Teng,
teng, teng… Bel sekolah berbunyi.
2013
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert