Cerita ini telah dimuat dalam buku Hampir Sebuah Metafora
Di atas batang pohon tumbang di samping jalanan ibu kota, berpayung
kertas koran seakan tak menghiraukan hujan meskipun gerah keringat dengan
sambaran-sambaran kilat, seorang bocah perempuan duduk menghitung uang recehan
dan sesekali melirik ke arah persimpangan. Di saat lampu merah menyala,
berlarilah ia menuju kendaraan yang terhenti. Dengan tangan berpegang gitar
kecil, kemudian suara serak bocah perempuan pun tergelar.
“Tak bisakah kau menungguku…
Hingga nanti tetap menunggu…
Tak bisakah kau menuntunku…
Menemani dalam tidurku… “
Berulang–ulang lirik lagu Peterpan itu didendangkan sambil berjalan
menuju mobil yang satu ke yang lainnya kemudian menengadahkan tangan.
Hujan terdiam. Sambaran kilat tertidur pulas setelah haturan cekam kepada
insan. Jalanan Ibukota yang becek dan padat kendaraan semakin terlihat diiringi gelak tawa gadis belia—berpasangan dan bergandengan tangan, bocah perempuan itu berjalan menuju
batang pohon tumbang dan terduduk menggigil sementara segerombolan remaja gundul bercelana Jeans ketat
robek–robek serta kaos hitam—bahkan ada yang telanjang dada—menghampiri lalu
mengerumuni bocah perempuan itu.
“Mana jatah lu hari ini?” Tanya remaja paling tinggi. Ia
pun membuka kantong plastik
yang ada di tangan kanannya.
“Ah… lama.” Remaja itu langsung merebut kantong plastik
dari tangan bocah itu lalu mengajak temannya pergi.
Ia hanya terdiam dan tak bisa berbuat
apa-apa. Dengan pandangan sayu
ia menatap kepergian segerombolan remaja berandalan itu.
Hari mulai menepi ke barat dengan matahari redup
setelah hujan mengguyur siang. Dengan sisa tenaga juga gigil tubuh—bukan derita, ia terus mengamen
dengan bait Peterpan tanpa peduli berapa
yang diterima dari para pengemudi, bernyanyi dan terus bernyanyi hingga hari benar–benar
menepi menjelma gelap diiringi kumandang azan dari Masjid di
sebelah batang pohon yang tumbang di dekat perkantoran
tata kota di depan Gereja Bapa di lingkungan persimpangan.
Ia pun melangkah
menuju Mesjid, sesampainya di depan dia melongok tong sampah kemudian memasukan
sepotong roti ke saku depan bajunya dan berlalu. Ia menuju tempat wudu, dibasuhnya segala bagian tubuh
hingga kaki yang berlumuran tanah tanpa alas, setelah bersih ia pun memasuki Masjid dan duduk bersimpuh
menanti iqomah dari Sang Muazin. Imam tersenyum kepada jamaah yang berjumlah
belasan dan mengarahkan matanya ke tempat makmum wanita hanya bocah perempuan
yang duduk menanti, kemudian Sang Muazin iqomah diiringi rembulan perlahan
bangun dari tidurnya dan lampu kota menyambut malam.
Di keheningan Masjid sehabis jemaah
berpamitan kepada Tuhan dan meneruskan kegiatan malam juga beristirahat santai, hanya tinggal Sang Muazin
membereskan karpet juga tumpukan Al-quran yang telah dibaca, Bocah Perempuan masih
terduduk, mata polosnya memancarkan kebingungan dan tangan menengadah hebat
mengharap Tuhan dengan hati berdoa khidmat. Sang Muazin melirik ke arah Bocah Perempuan kemudian
menghampiri dan berkata.
“Ade belum pulang?”
Bocah Perempuan menggelengkan kepalanya. Sang Muazin memandang wajah Bocah Perempuan dengan seksama lalu mengalihkan
pandangannya ke gitar kecil di samping bocah itu. Dia tersenyum dan merogoh saku kokonya, memberikan uang
sepuluh ribu. Ia senang bukan main kemudian berlari keluar dan terus berlari melewati
batang pohon tumbang kemudian menyeberang jalan. Belum sampai tujuan larinya terhenti. Wajahnya memancarkan ketakutan
seakan berhadapan dengan setan. Ia pun menyudutkan badan ke pohon jalan dengan mata
tajam memperhatikan lelaki tua kurus di depan apotek yang berpegangkan botol. Lelaki itu mondar–mandir dengan
mata yang sesekali menatap batang pohon tumbang di seberang jalan. Dia berjalan menuju batang pohon tumbang dan
melintas tepat di samping pohon, tempat bocah itu bersembunyi. Lelaki Tua kurus terhenti di pohon itu, mata tuanya
menyipit memandang ke arah pohon seolah menangkap sesuatu—ujung gitar kecil di balik pohon.
“Nah… lu
sembunyi dari gue Bocah dungu,” ucap Lelaki Tua kurus dan
menangkap tangan Bocah Perempuan yang akan berlari.
“Duit, mana duit!” bentaknya. Ia menggelengkan kepala dengan
tangan kanan mengepal kuat. Lelaki itu pun memeriksa sekujur tubuhnya, kemudian memaksa
membuka tangan kanan Si bocah. Alhasil lepas sudah uang pemberian Sang Muazin. Lelaki Tua kurus melenggang senang meninggalkan
Bocah Perempuan yang
menangis tersedu.
Setelah itu, Bocah Perempuan melangkah menuju batang pohon
tumbang kemudian terduduk dengan tangis tak henti. Dipeluknya erat gitar kecil dengan tubuh yang menyisakan
dingin dari jejak–jejak hujan yang bertapak dalam tubuh malam. Dipandanginya persimpangan
dengan kendaraan ramai mengintai lampu hujan persimpangan, ketika hijau
menyala, ban kendaraan berlomba dengan aspal melaju seakan pemburu. Bocah Perempuan bangkit
menuju tepi persimpangan dan siap berpesta dengan gitar kecil untuk melahap
recehan dari pengemudi kendaraan. Lampu merah unjuk gigi, memotivasi Si Bocah yang berdendang tak berhenti.
Tiga jam sudah bergelut dengan kendaraan
di persimpangan jalan kota, menepilah Si Bocah, lalu melangkah ke batang pohon tumbang. Sesampainya di sana, Bocah Perempuan menghitung
recehan dari hasil serak suaranya, raut wajahnya pun bercahaya ketika sepuluh ribu terkumpulkan. Ia melangkah
meninggalkan jalanan menuju gang berjarak dua ratus meter dari batang pohon
tumbang. Ia susuri gang dan belok ke kiri sampai di sebuah sungai kemudian menyisir hingga di
perkampungan kumuh dalam gunungan sampah dan rumah-rumah berdinding triplek.
Ada juga yang terbuat dari kayu-kayu bekas serta kardus–kardus. Ia pun terhenti di
sebuah rumah kecil reyot berdinding triplek dan menuju pintu. Namun ketika akan membuka
pintu, terdengar suara memanggil dari arah rumah kardus tepat di depan
rumahnya. Seorang Lelaki Muda gondrong asyik menghisap lintingan rokok menghampiri.
“Mana hasil lu ngamen?” Bocah Perempuan menggeleng sambil melipatkan tangan
yang memegang kantong plastik ke punggungnya.
“Ibu lu
punya hutang sama gue, dari tadi
kerjaannya cuma molor di dalam,
cepetan kasih ke gue Atau mau
dicincang”
Bocah Perempuan merapatkan
badannya ke pintu rumah lalu membuka pintu dan masuk kemudian menutup cepat
sambil menahan pintu dengan badannya. Pintu triplek rubuh.
Ia juga terjatuh. Sementara itu, seorang wanita tua yang terbaring beralaskan koran menatap kaget. Ia mencoba bangkit. Namun sia adanya, linu
menyergap sekujur tubuhnya dan kembali terbaring.
“Ba… ba… bu… ba,” ucapnya terbata
sambil mencoba meraih tubuh bocah di sampingnya
“Berisik,
dasar gagu,” bentak laki-laki itu. Kemudian dia mendekati bocah Perempuan, ditarik rambutnya, kemudian
tamparan mendarat di wajah polosnya dan berlalu setelah puas dengan tangan
berpegang kantong plastik
Bocah Perempuan memeluk wanita
tua yang terbaring lemas. Tangis tak terbendung
mendobrak pintu retina lalu membanjiri wajah mereka ditatapi dinding-dinding
triplek bertempelkan kalender presiden.
Malam mencekam. Tubuhnya kini renta di
pertengahan rembulan di telapak langit dengan
aroma napas pohon jalan mewangi sepi. Bocah perempuan terduduk di batang pohon tumbang
setelah menidurkan wanita tua dengan dendang Peterpan dan sepotong roti dari tong sampah Masjid untuk mengganjal
perut. Tak hirau pada malam sepi, ia setia menanti kendaraan yang berhenti di persimpangan mencari pengganti
uang sepuluh ribu. Matanya menatap lampu persimpangan. Ketika merah menyala,
ia segera berlari menuju
kendaraan. Tak
ayal
penolakan sering diterima, maklum di tengah malam jarang sekali pengemudi
membuka kaca jendela, kalaupun ada hanya numpang muntah karena kebanyakan minum
alkohol di diskotik. Ia pun kembali terduduk di batang pohon tumbang. Ia terus berharap
banyak kendaraan dan ramah pengemudi memberi berkah di malam berselimut dingin.
Pintu harapan memang tinggi dan terbuat
dari baja tergembok tembaga sebesar gajah dan terlingkar kawat–kawat berduri,
namun ia begitu keras, kaki terus memanjat untuk lolos dari penjara harapan. Dengan
kesabaran tercapailah usahanya. Pengemudi sedan hitam tersenyum di longokan
jendela dengan seorang wanita memangku bayi di sampingnya. Tanpa ragu pengemudi itu menyodorkan uang
sepuluh ribu dan berlalu meninggalkan bocah perempuan yang kegirangan. Kemudian ia menyeberang jalan, tetapi
terhenti dan kembali duduk di batang pohon tumbang dengan pikiran menyergap
takut ketika ingin pulang, teringat kejadian tadi. Namun hatinya cemas kepada wanita tua itu. Ia
melangkah dan kembali lagi terduduk di batang pohon tumbang. Letih terus berotasi
di sekujur
tubuhnya tercampur cemas dan bimbang. Ia meluruskan tubuhnya untuk tiduran sejenak di
atas batang pohon tumbang dan berniat pulang pagi–pagi di saat semua masih terlelap.
Jam alam bergeser dengan menit rembulan
dan detik bintang terganti jarum matahari dari angka hari, jam bertalu ke
cahaya matahari lalu terdengar bumi menguap ketika para manusia berpijak, di
pagi yang sudah tak pagi karena matahari sudah berjalan selama empat jam dari
fajar, bocah perempuan masih terlelap dengan memeluk batang pohon tumbang dan
air liur menetes perlahan terjaga gitar kecil di tanah tergeletak. Jalanan
semakin ramai kendaraan padat merayap dengan debu–debu berkelahi bersama
asapnya, terus berputar tertiup angin membahana ke langit merusak atsmosfir.
Sang Muazin yang akan menuju masjid menatap iba Si Bocah yang masih
pulas di atas batang pohon tumbang lalu membangunkannya. Perlahan mata bocah
perempuan terbuka dan bangkit sambil mengucek–ngucek mata. Diambilnya gitar
kecil yang tergeletak, Sang Muazin tersenyum dan mengajak bocah perempuan ke masjid
untuk mandi sekalian. Ia membereskan masjid untuk jamaah duhur, namun
bocah itu menggelengkan kepala. Ia
meninggalkan Sang Muazin menuju gang berjarak dua ratus meter dari batang pohon tumbang,
sesampainya di tepi sungai larinya terhenti dan membalikkan badannya menuju batang pohon tumbang kemudian
menyeberang
lalu terhenti di pohon jalan samping apotek yang bersebelahan dengan Gereja
Bapa, matanya menatap ke arah apotek memperhatikan sekelilingnya. Bocah Perempuan berjalan
mengendap masuk dan langsung menuju pelayan wanita apotek.
“Eh… Ade, ibunya sudah sembuh?” tanya Wanita iu
Bocah Perempuan
menggelengkan kepala.
“Panas, kepala pusing dan badan linu masih
terasa?“ ucapnya sambil mencari obat di rak obat, Bocah Perempuan mengangguk lalu menyodorkan uang
sepuluh ribu.
“Hari ini uangnya disimpan saja… buat
makan Ibu
sebelum minum obat nanti!” Pelayan Wanita pun menyodorkan kantong plastik berisi obat.
Bocah Perempuan tersenyum senang lalu menerima
kantong plastik dan berlari menuju pintu, setelah itu ia keluar dari apotek dengan mata melirik ke sekeliling parkiran apotek,
merasa aman Bocah Perempuan berjalan untuk menyebrang. Tiba–tiba Lelaki Tua kurus menariknya dari samping.
“Mau lari kemana lu? Duit!” dengan memeriksa sekujur tubuh Bocah Perempuan kemudian menyeringai setelah
menemukan uang sepuluh ribu di kantong depan baju.
Bocah Perempuan pasrah kemudian melangkah, tetapi
terhenti ketika Lelaki Tua itu menyuruh berhenti dan menghampiri
“Apa ini?” tanyanya sambil merebut kantong
plastik
“Obat Pak, buat Ibu” ucap Bocah Perempuan dan mencoba
merebut
“Alah… biar mampus tuh Ibu lu, istri nggak tahu diuntung, bilang sama Ibu lu
dimana ditaro surat tanah, gue mau jual buat modal judi. Lagian
pemerintah juga mau gusur tuh tempat”
Bocah Perempuan terus berusaha merebut kantong
plastik, namun Lelaki Tua kurus melemparnya ke tengah jalan raya dan pergi, Bocah Perempuan berlari mengambil obat yang
tergeletak, lalu mobil sedan putih melaju kencang menghantam tubuhnya kemudian
ia terhempas sejauh lima meter, terguling–guling dan terselip di got depan Gereja Bapa,
pengemudi sedan melongok dan tancap gas.
Orang-orang berkerumun menatap tubuh Bocah Perempuan terselip
dan saling berbisik siapa keluarganya? Dari seberang jalan, Sang Muazin setengah berlari menghampiri setelah melihat kejadian itu ketika
menyapu halaman masjid. Dia langsung mengangkat tubuh berlumuran darah dan
berteriak ke setiap orang agar mau mengantarkannya ke rumah sakit. Pendeta Gereja Bapa keluar
saat mendengar riuh di depan gereja dan terkejut melihat tubuh berlumuran darah
di pangkuan
Sang Muazin yang berteriak–teriak mencari kendaraan. Pendeta, dengan tergesa, menghampiri dan meminta Sang Muazin mengikutinya ke parkiran gereja. Pendeta itu pun langsung
menghidupkan mesin mobil disusul Sang Muazin masuk ke dalamnya. Mobil pun melaju ke arah
rumah sakit kota.
2009
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert