Dalam
belajar bahasa asing, bahasa ibu adalah satu di antara hal yang paling penting
harus dikuasai oleh pembelajar. Mengapa demikian? Bahasa ibu atau mother tongue (dalam bahasa Inggris)
adalah bahasa pertama yang dipelajari oleh seseorang, dan orangnya disebut penutur
asli. Biasanya, seorang anak belajar dasar-dasar bahasa pertama dari keluarga
mereka. Bahasa ibu memiliki pola dan struktur dalam pengucapan dan penulisan,
dan setiap struktur kalimatnya tidak berbeda jauh bahkan serupa dengan
bahasa-bahasa lain di seluruh dunia.
Negara
Indonesia yang memiliki berbagai macam suku, tentu akan beragam macam bahasa
tersebar dan digunakan oleh masyarakatnya. Namun, pada tahun 1928 terjadi
peristiwa besar di Indonesia, di mana bahasa Indonesia dijadikan bahasa
persatuan, sehingga masyarakat yang menggunakan bahasa daerah masing-masing
mempelajarai bahasa tersebut hingga saat ini. Di masa setelah kemerdekaan,
bahasa Indonesia menjadi bahasa ibu untuk generasi yang sekarang, mereka sejak
kecil sudah dikenalkan dan diajarkan berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
Akan tetapi, bahasa daerah yang masih lekat di kalangan masyarakat sekitar pun
memengaruhi bahasa Indonesia dalam pengucapannya, terjadi berbagai macam
dialek, dan pola kalimat dalam pengucapan. Bahasa Indonesia yang berkembang di
masyarakat Indonesia menjadi bahasa lisan atau bahasa percakapan sehari-hari
yang tentu saja akan berdampak pada pembelajaran bahasa asing.
Permasalahan
itu tentu tidak terjadi di Negara Indonesia, di seluruh dunia pun memiliki permasalahan
yang sama, oleh karena itu setiap negara mewajibkan rakyatnya untuk mempelajari
bahasanya sendiri dijalur pendidikan formal. Fungsinya, agar bahasa ibu yang
berkembang di masyarakat menjadi lebih baik setelah memahami bahasa dalam
pembelajaran. Namun, pada kenyataannya di Indonesia ini menjadi masalah, para
pembelajar bukannya lebih memahami fungsi bahasa ibu, melainkan belajar bahasa
Indonesia hanya dijadikan target mencapai nilai tinggi di Ijazah untuk
melanjutkan belajar jenjang yang lebih tingggi, atau mereka sendiri pun tidak
memahami cara penggunaannya di khalayak umum ketika lulus.
Di
saat para pembelajar masih dibuat bingung dengan bahasa ibunya sendiri,
hadirlah bahasa Inggris sebagai bahasa persatuan dunia Internasional, mau tidak
mau, suka tidak suka mereka pun mesti menguasai bahasa asing agar tidak
tertinggal dalam perkembangan dunia, baik secara hubungan ekonomi, sosial,
budaya, hukum, teknologi dan lain-lain. Alhasil, pelajaran bahasa Inggris
diberikan sejak anak masuk Taman Kanak-Kanak, bahkan ada juga orang tuanya
membawa anak-anak mereka untuk les tambahan di tempat kursus.
Sebagai
guru bahasa Inggris, saya memiliki pengalaman dalam mengajarkan bahasa dan
mendidik karakter mereka untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah,
dewasa dan mau bersaing. Kebanyakan dari mereka adalah pembelajar pasif, bahkan
sudah kelas XII SMK pun mereka tidak bisa membedakan mana itu kata benda, kata
kerja atau kata sifat dalam membuat kalimat. Sejatinya, ketika peserta didik
mampu membuat kalimat dengan baik, maka perlahan mereka akan mengucapkan bahasa
dengan baik, tentu saja akan berpengaruh kepada pembelajaran bahasa asing,
sebab dalam menerjemahkan bahasa asing, seorang peserta didik harus menguasai
bahasa ibunya, yaitu bahasa Indonesia baik secara struktur kalimat maupun
secara bentuk waktu.
Sekadar
contoh, Bener nggak sih itu? Apakah itu
benar? Beneran itu?. Dalam tiga kalimat tanya itu yang berbeda
penulisannya, tetapi memiliki makna yang sama saya sering menemukan peserta
didik yang masih kesulitan untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris,
sehingga terjadi pengucapan yang salah. Bener
nggak sih? dan Beneran itu? adalah
bahasa percakapan sehari-hari yang sering digunakan oleh mereka. Berbeda dengan
Apakah itu benar? adalah kalimat
tanya yang memiliki unsur akademis artinya secara pola kalimat benar, dan jarang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari
tiga kalimat tanya itu, peserta didik cenderung menerjemahkan langsung setiap
kata, tidak merujuk pada teori-teori penerjemahan yang menggunakan pola
kalimat, seperti adanya subyek, predikat, obyek dan lainnya. Sekadar contoh, bener nggak sih itu? Menjadi true not? atau beneran itu? Menjadi true
that? Nah, melihat kasus tersebut, maka peserta didik penting memahami
bahasa ibunya, baik secara pola kalimat yang merujuk kepada kalimat-kalimat
baku maupun kalimat-kalimat yang digunakan dalam bahasa sehari-hari, sebab
keduanya memiliki makna sama, akan sama pula diterjemahkan dan diucapkan kepada
bahasa asing. Apakah itu benar? dalam
bahasa Inggris Is that true? Akan
sama dengan bener nggak sih? beneran?
Peristiwa
serupa mungkin akan terjadi di seluruh sekolah di Negeri Indonesia ini, namun
kita jangan membuat ini adalah hal yang wajar sebab bahasa Inggris bukanlah
bahasa kita sendiri. Ini harus dijadikan hal yang tidak wajar agar kita semua
dapat dengan segera mengubahnya, dan peserta didik kita yang sudah belajar
bahasa Inggris dari usia lima tahun hingga delapan belas tahun dapat
menggunakannya dengan baik. Mereka akan menjadi pionir perubahan bangsa ini di
dunia Internasional dan bagaimanapun, bahasa adalah kunci dari ilmu pengetahuan,
tanpa bahasa maka tidak akan pernah terjadi alam semesta ini.
Inilah
hasil belajar peserta didik yang saya ajar berupa film pendek yang mereka
ciptakan sendiri, bahasa yang mereka gunakan pun mereka terjemahkan sendiri.
Dari hasil mereka ada beberapa yang saya temukan dalam penerjemahannya yang
masih salah. Namun, saya tetap mengapresiasikannya, sebab dalam belajar, masih
diperbolehkan salah untuk menemukan hal yang benar.
Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.
comment 0 komentar
more_vert