Cerpen ini telah dimuat di buku Kumcer Se-Indonesia Sastrio Welang.
Aku
dan kekasih. Kami tinggal berdua saja di sebuah apartemen. Tak ada siapa-siapa
(Kami memang tidak menginginkan siapa-siapa), tapi apartemen kami sangat indah
dan damai. Kami mengatur segalanya, sesuai selera dan tentu saja tak ada yang
dapat mengganggu kami, sebab bagi kami hidup seperti ini adalah seni.
Hidup di apartemen di kota ini
sangat nyaman, tidak harus repot dengan tetangga yang biasa bergunjing seperti
di perumahan atau perkampungan. Kami hampir tak punya masalah, walaupun
terkadang berbeda pendapat, bertengkar atau cemburu. Selalu saja seks menjadi
jalan keluar terbaik. Tentu saja, bagi perempuan muda sepertiku, seks adalah
hal yang paling aku sukai. Bahkan mungkin bagi mereka-mereka yang berada di
luar apartemenku, tak terkecuali kamu yang membaca tulisan ini. Jika mengatakan
tidak suka, bisa jadi memang tidak normal. Kasihan sekali!
Kehidupan di kota modern memang
tidak mengharuskan kami saling mengenal dengan penghuni lainnya. Mereka juga
memiliki kesibukan yang lebih penting daripada harus saling berkenalan dengan
penghuni di apartemen ini, buang-buang waktu saja. Tetapi, tetangga yang satu
ini amat menarik. Mereka baru saja pindah, sepasang suami-istri.
Kami bertemu mereka di poolside.
Keduanya berbadan atletis, sepertinya mereka mengedepankan keindahan tubuh.
Mereka memakai pakaian renang, tampak bahagia, bercanda di dalam kolam renang,
bahkan ketika si suami akan naik dari kolam renang, si istri menarik-narik
celana renangnya. Hal yang sangat tidak pantas dilakukan di depan umum. Aku dan
kekasihku saling pandang, dan menggelengkan kepala.
Si istri menghampiri si suami yang
sudah tiduran di kursi malas, ia berjalan bagaikan peragawati, payudara kecil
dan padat, jenjang pinggul yang seksi dan belahan pantat yang kencang, pasti
akan membuat daya tarik yang kuat kepada laki-laki hidung belang. Si istri
langsung duduk di atas tubuh si suami, mereka berciuman.
Tetapi, kami perhatikan si suami
sedang tidak bergairah. Dia menolak ketika si istri terus menyerang, menciumi
lehernya. Apakah dia malu ditonton oleh kami? Hal yang bersifat pribadi seperti
ini memang sangat tidak pantas dipertontonkan di depan umum. Namun, kami hidup
di apartemen, semua tidak peduli bukan?
Si istri sangat sedang bernafsu, ia
terus memaksa, semakin atraktif di atas tubuh si suami. Tangannya mulai
menjalar menarik-narik celana si suami. Bahkan dia mulai merogoh ke dalamnya.
Si suami marah, dia segera menahan aksi itu, dan bangkit dari kursi malas,
melangkah meninggalkan si istri.
Kami melihat—si istri berang, dia
menarik tangan si suami dan mencoba membujuknya agar tidak meninggalkan kolam
renang. Tapi, si suami terus melangkah. Si istri semakin tidak terima,
penolakan dalam melakukan seks memang akan menimbulkan kekacauan. Si istri
memukul punggung si suami. Pertengkaran tak terelakan, si suami mengomel sambil
menunjuk-nunjuk hidung si istri.
Plak!
Tamparan mendarat di pipi si istri.
Kami terkejut—mata kami tidak ingin lepas dari mereka, selalu mengawasi untuk
tahu apalagi selanjutnya. Si istri semakin marah, dia memaki-maki si suami,
bahkan mungkin lebih garang, kemudian dia melepaskan cincin dari jari manisnya.
Plung!
Cincin itu jatuh ke dalam kolam
renang. Kami menarik napas panjang, urusan seks ternyata berakibat fatal dalam
sebuah hubungan. Untunglah, bagi kami seks adalah jalan terindah menuju
kebahagiaan, sehingga tak pernah ada pertengkaran. Mata kami tidak lepas, terus
memandang hingga mereka melintas di depan kami, si suami masih mengomel-ngomel,
sementara si istri malah memaki-maki. Lalu, si suami berkata: Cerai!
***
Diana duduk di sofa, pagi ini
terlihat sangat terlihat seksi dengan hotpant dan singlet.
Belahan dada yang gempal, bibir sensual, sementara asap rokok mengepul dari
mulutnya, aku memandang wajahnya yang ceria.
“Hari ini aku mau karoke,” katanya.
Aku melempar sekaleng softdirnk,
dia menangkapnya.
“Mau ikut nggak?” tanyanya.
“Nggak ah! Aku mau nge-laundry
baju, udah numpuk. Bisa-bisa setiap hari telanjang akibat pakaian kotor semua,”
jawabku.
“Haha… sayang… bukankah kita senang
tanpa busana?”
Diana menghampiriku, kemudian kedua
tangannya merangkul leher dan mencium bibirku. Sementara itu, cahaya matahari
pagi menembus kaca jendela apartemen, dan menyirami tubuh kami yang dalam
hitungan detik sudah tanpa busana. Mendesah, menggeliat, kami bercumbu begitu
lembut seperti kabut yang turun.
Diana adalah pasangan yang sangat
menawan bagiku, lebih sempurna dari siapapun, dia tidak pernah ingin melewatkan
hari-hari tanpa bercinta, sentuhan-sentuhan jemarinya membuatku semakin
menggelincang. Sepertinya ada kekuatan yang menarik seluruh birahi yang
tertanam di dalam tubuhku. Ini yang membuatku bertahan untuk tetap tinggal
bersamanya, walaupun terkadang Diana sering menjadi pribadi yang menyebalkan.
Beberapa menit kemudian, aku
terkulai di atas sofa. Diana menyambar tas, lalu membuka pintu, derap langkah
kakinya semakin menghilang. Selepas itu, pikiranku melayang, berputar-putar
seperti kipas angin. Hidup yang sempurna, atau hidup yang menyakitkan? Ya,
menjalani kehidupan sepertiku, pasti akan sangat dilema. Tetapi, aku tidak bisa
lari, aku menyukainya.
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
Tubuhku, masih terasa lelah, namun aku penasaran dengan ingatanku ini. Kakiku
melangkah masuk ke dalam kamar, membuka lemari, tanganku meraih sebuah kotak
kecil berwarna merah, kubuka dan kilauan berlian menyilaukan mata, dari sebuah
cincin.
Ting tong!
Aku terkejut.
Ting tong!
Siapa
yang bertamu ke apartemenku? Sudah setahun sejak tinggal bersama Diana, tak
pernah ada yang membunyikan bel. Aku merapikan cincin itu, kemudian melangkah
menuju pintu.
Seorang wanita berdiri hanya memakai
pakaian tidur, belahan dadanya terbuka. Dan kedua payudaranya menyembul, dia
menghisap rokok.
“Sorry… Aku cuma butuh teman
ngobrol,” katanya tanpa basa-basi.
“Silakan masuk!” ajakku.
Wanita itu meneliti dinding-dinding
apartemenku, aku memang suka lukisan, sebagian dinding apartemen terisi lukisan,
dan yang paling kusukai adalah lukisan wanita telanjang. Sangat menggairahkan
bukan?
“Kamu hanya berdua ya?” tanyanya.
Sebuah pertanyaan yang
mengejutkanku—wanita ini telah memata-mataiku, bahkan dia juga tidak begitu
peduli dengan lukisan-lukisan yang terpajang. Dia seorang wanita yang senang
dengan kalimat langsung, cukup membuatku tertarik.
“Begitulah… tak perlu aku jelaskan lagi
bukan?” aku tersenyum.
Wanita itu duduk di sofa, dimana
masih ada celana dalamku yang terlepas ketika bercinta dengan Diana.
“Ups! Sorry…,” aku mengambil
celana dalam itu. “Mau minum apa?” tawarku.
Aku melempar celana dalam itu ke
dalam keranjang pakaian kotor, sudah sangat menumpuk, tapi tak mungkin aku
mencuci disaat ada tamu. Kuambilkan sekaleng bir ketika wanita itu tak
menjawab, lalu kusodorkan. Dia tertegun—dan mengambilnya.
“Oh ya, namaku Melda,” ucapnya.
Kemudian membuka kaleng bir, dan segera meminumnya.
Melda duduk di sofa, ya wanita itu
belum menunjukan reaksi tujuan tertentu bertamu ke apartemenku.
“Apa kamu tidak merasa bosan hidup
berdua?” tanyanya.
“Mmm… belum,” jawabku.
“Ah… Menyenangkan sekali, berbeda
dengan Bram!”
“Bram?”
Melda memandangku. “Lelaki yang kamu
lihat menamparku di poolside,” katanya dengan suara berat, seperti
menahan amarah.
“Oh?” aku tidak bisa mengatakan
apa-apa lagi, tamparan itu memang sangat menyakitkan.
“Apakah kamu pernah ditampar
laki-laki?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala, walau aku
sendiri tidak yakin apakah ada laki-laki yang aku sukai, atau paling tidak yang
dekat denganku.
“Huh! Menyebalkan bukan?”
“Maksudmu?”
“Menyebalkan jika kamu ditampar
laki-laki.”
“Lebih baik aku menamparnya.”
Melda diam sejenak—lalu tersenyum,
seperti telah menemukan kegelisahan yang selama ini ada dalam dirinya. Mungkin,
aku adalah seseorang yang dapat dipercaya, atau seorang teman yang bisa
menyimpan segala sampah-sampah dari ceritanya. Ya, bagiku laki-laki itu sampah,
walaupun dia sangat bersemangat bercerita tentang semua kekasihnya, dan gaya
yang paling menarik dalam bercinta. Aku ingin muntah mendengarnya!
***
Kotak cincin berlian ada di
genggaman tanganku, dan hatiku resah. Aku mondar-mandir di dalam apartemen,
terkadang duduk di sofa, bahkan sesekali mengintip poolside dari jendela
apartemen. Pertemuan yang menggiurkan, tak akan pernah dapat dilupakan oleh
siapapun, dan cinta itu membosankan.
Sudah beberapa hari ini Diana tidak
perhatian kepadaku, ia sepertinya memiliki kesibukan lain. Apa cinta jika harus
menyibukan diri? Dia jarang pulang, sekali pulang dalam keadaan mabuk. Aku
tahu, Diana memiliki kesukaan baru, yaitu karoke. Tetapi, apakah hanya menyanyi
kegiatannya, atau ada wanita lain yang dia sukai?
Maka, jangan salahkan aku jika Melda
selalu ada dalam benak kepalaku. Dia seorang wanita kesepian, dan aku juga
seorang wanita kesepian (secara fisik wanita, tapi hatiku bukanlah wanita).
Bukankah awal mula tumbuh cinta berasal dari rasa sepi? Kotak cincin masih
dalam gengaman tanganku.
Bel berbunyi. Ini kesekian kalinya
bel berbunyi sejak kepindahan Melda dan suaminya, dan sejak peristiwa
penamparan di poolside. Dia sering berkunjung disaat Diana tak ada, dan
kami juga sering berpapasan di poolside di hari libur ketika kami
berenang. Aku melangkah membuka pintu.
“Hai! Aku bawakan kamu cake,”
katanya.
Melda masuk, meletakan cake
coklat lalu duduk di sofa. Dia memakai hotpants strawberry,
dipadukan dengan you can see berwarna putih, pahanya bertato kepala
naga. Sejak kapan? Aku baru melihat tato itu, jujur saja, hasratku semakin
bergelora.
“Ada yang salah?” tanyanya ketika
aku duduk di depannya dan memandang paha bertato.
“Tidak,” aku mengambil rokok dan
menyalakannya. “Sejak kapan kamu ditato?” tanyaku.
“Haha… sudah kuduga, kamu pasti
tertarik dengan tatoku,” Melda tertawa. Dia menyalakan rokok, mengembuskannya
ke udara. Asap mengepul, menandakan kepenatan hatinya mulai bebas.
“Sejak aku mengenalmu,” Melda
langsung loncat dan menindihku.
Napasku turun-naik, aroma parfum
yang selalu dipakai merangsang birahi, merk apa? Apakah parfum dari Paris? Tak
penting bagiku, yang aku ingin tahu, mengapa Melda berubah 180 derajat, dari
wanita berkelas menjadi genit seperti ini.
“Aku ingin tahu rasanya bercinta
denganmu,” bisiknya.
Melda merapatkan payudaranya ke
dadaku, payudara kami beradu, dan getaran dalam dadaku semakin berguncang.
“Bukankah kamu sering melakukannya?”
tanyanya.
“Bagaimana dengan suamimu?” aku
bertanya balik.
“Seperti Diana, dia sudah memiliki
dunia baru,” jawab Melda.
Kami langsung berciuman, ini adalah
sesuatu yang sangat aku nantikan, melakukan dengan wanita yang belum pernah
sama sekali adalah sebuah kekuatan bagiku untuk menjadi seorang yang lebih
bergairah. Apalagi, Melda seorang wanita yang hangat, tanpa basa-basi. Tubuh
kami saling bergesekan, mengerang, mendesah, hingga mencapai puncak.
Ternyata, Melda berbeda dari yang
aku pikirkan. Dia seorang pecinta seks yang menawan, penuh dengan daya
imajinasi dalam bercinta. Dia dapat membawaku masuk ke dalam percintaan yang
sebenarnya, tak pernah aku mendapatkan hal seperti ini dari Diana. Cake melumuri
seluruh tubuh kami, aku dan Melda saling jilat, semakin bergelora.
Tangan kami terkulai lemas, jatuh
dari sofa. Aku memeluknya, keringat bercucuran, klimak telah menjadi hal yang
paling luar biasa saat ini. Ada perasaan takut kehilangan, seperti pertama kali
aku bercinta dengan Diana, tak ingin jauh, dan ingin terus mengulanginya.
“Fantastik!” desahnya.
Suara-suara desahan Melda masih
terngiang-ngiang di telingaku, kudekap erat. Dia juga semakin mendekapku.
Tiba-tiba, “Kurang ajar!” Diana
berteriak, berdiri di depan kami.
Kami terperanjat—mataku memandang
mata Diana yang telah terisi amarah. Melda duduk, dia tampak tenang.
“Jadi ini yang kamu lakukan selama
aku tidak ada di rumah? Dasar pengkhianat!” Diana semakin marah.
“Pengkhianat? Hey… sangat tidak
masuk akal jika kamu menyebutku begitu,” aku membela diri.
“Lalu apa yang pantas aku sebutkan
untukmu! Kita sudah berjanji untuk selalu bersama, tak akan mengkhianati cinta
kita,”
“Kamu yang memberi ruang kepadaku,
kamu yang telah menjauh dariku. Aku butuh ini setiap saat!” kataku.
“Pergi! Pergi kamu dari apartemenku! Aku tidak
sudi ada orang yang tidak pernah menghargai sebuah ikatan cinta,” bentak Diana.
Aku diam—perjalanan cintaku dengan
Diana terbayang dalam kepala, teringat masa-masa ketika aku memutuskan kabur
dari rumah hanya untuk dapat hidup bersama dengan Diana. Aku telah
memperjuangkan cintaku kepada Diana, cinta yang sebagian orang katakan adalah
terlarang, karena aku menyukai sesama jenis.
“Semudah itu?” tanyaku.
“Iya! Mudah, seperti kamu juga
dengan mudah melepaskan semua pakaian demi wanita lain. Keluar!”
Melda tersenyum kepadaku—senyum yang
mengandung arti kemenangan. Apakah ini yang diinginkan olehnya? Kemudian, dia
pergi keluar, meninggalkan kami yang tengah memendam kemarahan. Kami yang
terbakar api cemburu.
***
Poolside ini sangat ramai.
Orang-orang berenang, tiduran di kursi malas, berjemur, mengobrol sambil
meminum sofdrink. Aku dan Kekasihku menikmati suasana ini, sangat terasa
nyaman, lebih nyaman dari apartemen yang dulu. Di sini, orang-orang lebih tidak
peduli kepada tetangganya.
“Cincin ini aku ambil dari kolam
renang,” kataku sambil mengeluarkan cincin berlian.
“Haha, kamu memang pencuri,” Melda
tersenyum genit.
Aku meraih tangannya, memasukan
cincin itu ke jari manisnya. Cincin yang dulu pernah dipakai oleh suaminya
untuk mengikat cinta dan berjanji saling setia. Kini, cinta dan janji itu kami
rebut. Cinta memang tidak pernah dapat ditentukan, sebab cinta akan memilih
siapa yang harus memilikinya. Lalu, kami berciuman.
“Ya, aku adalah pencuri hatimu,
sayang….”
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert