Ilmu pengetahuan
adalah hal paling penting dalam peradaban sejarah umat manusia, dengan ilmu
pengetahuan manusia dapat membangun gedung-gedung tinggi, pesawat, motor, mobil
dan lain-lain. Ilmu pengetahuan pula mengatur tatanan sosial, hukum di dalam
lingkungan manusia. Maka dengan kesadaran itu, setiap manusia diwajibkan untuk
mempelajari ilmu pengetahuan serta mengembangkannya. Setiap orang memberikan ilmu
pengetahuan yang dimiliki kepada orang lain secara terus-menerus, maka dalam
perkembangan, dibentuklah tempat-tempat untuk mempelajari ilmu pengetahuan,
disediakan fasilitas, guru dan sebagainya.
Negara Indonesia telah menyatakan
kemerdekaan pada tahun 1945 dan tidak ingin ketinggalan dalam memajukan negara,
dengan mengelola sumber daya alam dibutuhkan orang-orang berkualitas di
berbagai bidang. Maka, tempat untuk mencetak orang-orang yang berkualitas itu
disediakan, dibangun sekolah-sekolah, universitas, lembaga-lembaga riset dan tentu
banyak lagi agar negara ini dapat dengan segera menjadi negara maju dari
berbagai sektor. Kurikulum-kurikulum pembelajaran dirumuskan, disosialisasikan
dan diterapkan untuk memudahkan ilmu pengetahuan tersampaikan kemudian diterima
dengan baik.
Seiring waktu, sarjana-sarjana
bermunculan, sekolah-sekolah dan universitas pun semakin banyak, dan kurikulum
pembelajaran pun mengalami banyak perubahan mengikuti perkembangan zaman.
Semestinya ini menjadi kabar baik untuk suatu perubahan, perkembangan dan
kemajuan. Akan tetapi, banyak-banyak orang-orang cerdas dan sekolah,
universitas, lembaga pendidikan telah menimbulkan permasalahan yang tidak
kecil, seperti tidak didukung dengan banyaknya penghasilan para pendidik itu
sendiri. Pemerintah dan lembaga swasta
tidak memerhatikan penghasilan yang layak bagi para pendidik, mereka cenderung
mementingkan bisnis, memperkaya diri sendiri, mengincar jabatan dan lain-lain
sehingga semangat para pendidik pun menurun dalam memberikan ilmu pengetahuan.
Kurikulum hanya dijadikan tempelan bahan laporan pelaksanaan pembelajaran, para
pendidik juga tidak fokus memberikan ilmu pengetahuan dikarenakan harus bekerja
di beberapa tempat agar urusan ‘dapur’ bisa selalu ‘ngebul’.
Hasilnya, peserta didik tidak dapat
menyerap ilmu pengetahuan, dan memiliki pola pikir yang sempit, tingkat
kesadaran yang rendah. Kreatifitas-kreatifitas yang segar dari pikiran-pikiran
orang-orang muda melemah, peserta didik menjadi robot di sekolahnya sendiri,
hanya datang, duduk, diam mendengarkan para pendidik berceramah, atau terkadang
curhat akan masalah pribadi mereka. Ini pun diperparah dengan sekolah atau
lembaga yang tidak respon terhadap perkembangan kreatifitas peserta didik. Bagi
sekolah, yang terpenting mereka ada di kelas, membayar uang bulanan, disiplin
itu sudah beres, urusan mereka maju, kreatif, cerdas atau tidak itu soal nanti.
Dana-dana bantuan dari pemerintah untuk perkembangannya terkadang diselewengkan
untuk kepentingan pribadi. Para pejabat sekolah dan pejabat pemerintah, seperti
dewa yang seenaknya berbuat, bahkan baru-baru ini, seorang Plt Kepala Dinas di
satu daerah membuat pernyataan sepihak bahwa para pendidik atau guru honorer
dinyatakan ilegal, ada juga seorang Bupati yang tidak ingin menandatangani
surat keputusan bagi guru-guru honorer yang memang sudah diatur dari
undang-undang. Ini sungguh sangat mengerikan! Semestinya, mereka yang memiliki
pemantik kebijakan dalam kemajuan pendidikan memperhatikan para pendidik yang
terjun langsung di lapangan untuk menciptakan manusia-manusia yang berkualitas
agar negara ini menjadi negara maju dari berbagai bidang.
Lalu, apakah saya berada dalam
lingkungan seperti itu? Sebagai guru yang mengajar bahasa Inggris di suatu
sekolah swasta di Indonesia, saya ikut merasakan ‘kungkungan’ pikiran-pikiran
sempit para pemangku kebijakan pendidikan di lingkungan pemerintah, pemilik
sekolah atau yayasan dan juga pengelola sekolah atau sering dikenal para
pejabat sekolah. Terkadang, metode pembelajaran dikembangkan di sekolah
mendapatkan hambatan dalam pelaksanaannya, dimana kebiasaan peserta didik yang
selalu belajar di dalam kelas dan dengan menggunakan metode ceramah menjadi
suatu aneh ketika saya menggunakan metode Project
Based Learning, yaitu pembelajaran berbasis proyek. Metode ini sebenarnya mengembangkan
kreatifitas peserta didik dalam pelaksanaanya. Sudah saya jelaskan apa itu Project Based Learning beserta
langkah-langkahnya di dalam tulisan terdahulu (silakan baca dikiriman
sebelumnya). Namun, masih saja para pejabat sekolah memberikan tanggapan yang
negatif, padahal jelas tercantum dalam kurikulum yang berlaku. Ini membuat saya
berpikir ulang, benarkah sistem pendidikan kita yang salah, atau memang
sebenarnya adalah orang-orang yang melaksanakan sistem itu yang salah jalan
atau tidak memiliki pandangan luas? Silakan tanya pada diri sendiri.
Meskipun demikian, saya bersama
peserta didik tetap konsisten melaksanakan pembelajaran yang aktif, kreatif dan
inovatif sehingga kami sendiri dapat menemukan kesalahan-kesalahan dalam
pembelajarannya dan dapat segera memperbaikinya. Ini satu contoh kreatifitas
saya dan peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran. Dalam film pendek yang
mereka hasilkan, saya dapat menemukan kesalahan pengucapan, penulisan dan tentu
penerjemahan sehingga saya dan mereka dapat mengevaluasi dan mendiskusikan
ketika pertemuan di dalam kelas. Selamat menyaksikan.
Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.
comment 0 komentar
more_vert