MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Film Pendek - Elegi Penyair



Puisi yang baik kerap lahir dari penyair sejati. Ya, penyair sejati. Ia tidak akan terburu-buru menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam puisi. Setiap objek yang dilihat, dirasa, dijalani, diketahui masuk ke ruang pikir yang dalam, lalu, diramu hingga mencapai titik maksimal. Jadilah puisi yang sebenar-benarnya puisi: menggugah dan inspiratif. Kesejatian yang mengalir dalam tubuh penyair pun tidak bisa dikatakan mudah didapat. Sebut saja Chairil Anwar dan Rendra, sekadar merujuk dua nama. Bagaimana perjalanan kepenyairannya membentuk sikap yang sejati, sehingga karya-karyanya berkualitas dan fenomenal.
Baru-baru ini, dunia sastra digegerkan oleh orang-orang yang menyebut diri sebagai penyair atau mengatasnamakan diri penyair. Berbeda dengan Chairil dan Rendra yang lahir dari kedalaman wawasan dan kesadaran kemanusiaan, menggelandang ikut merasakan derita dan kesengsaraan hidup orang-orang marjinal, maka capaiannya melalui proses yang panjang. Mereka yang menyebut penyair atau ingin disebut penyair, datang dari kalangan birokrat, pengusaha sukses, tukang survei, politikus, pejabat atau hartawan. Mereka juga membuat gerakan sastra yang bersifat nasional hingga internasional. Dengan kesadaran yang mereka sebut sebagai ilmuwan sastra, mereka merasa menemukan jenis puisi baru. Entah. Secara pribadi ini membingungkan. Hanya lantaran ingin dibaptis penyair, mereka rela menghabiskan uang ratusan juta, bahkan miliaran. Padahal, penyair besar pun, di negeri ini, masih sulit hidup layak dari puisinya sendiri.
Film ini dibuat dilatari dari isu-isu yang berkembang dimasyarakat dalam dunia sastra. Kehidupan penyair yang dianggap marjinal, jauh dari kemewahan tetapi memiliki segudang prestasi, karya-karya yang berkualitas tenggelam oleh kekuasaan dan uang. Begitu mudahnya seseorang membuat puisi, seolah puisi hanyalah barang dagangan, bukan sesuatu yang lahir dari permenungan dan proses kreatif yang panjang. Celakanya, baru-baru ini banyak bermunculan penerbit-penerbit, ahli akademisi bahasa yang rela menjual harga dirinya demi uang, sehingga karya-karya yang baik dari para penyair yang tak memiliki kekuasaan uang dan jabatan, terpinggirkan, dan tak diperjuangkan.
Nana sastrawan, mencoba mengkritik itu semua melalui suatu karya, yaitu film pendek. Tentu saja, semangat untuk melawan karya dengan karya adalah sesuatu metode kritik yang paling elegan, tanpa harus merendahkan karya orang lain atau semangat orang lain dalam berkarya dengan ocehan, omongan yang tak berkualitas. Selamat menonton ya… klik di sini filmnya!



Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893