Nana Sastrawan
“Namanya Khairil,” kata lelaki
tambun penjual rokok itu setelah menyerahkan secangkir kopi. Aku melihat beberapa
orang menatap tajam, sesekali meludah lalu menyeruput kopi dan membakar kretek.
Mereka tak begitu menghiraukan perkataan penjual rokok. Wajah mereka tampak
kusut berdebu—pakaian kumal dengan bekas oli menempel di ujung baju, sesekali
keringat disekanya dengan handuk kecil yang tersampir di pundak. Bau hangus
dari tubuh mereka menusuk lubang hidungku, bau yang menandakan petualangan. Aku
hanya menyimak mereka bergelak tawa di warung kopi ini, berbincang tentang
setoran dan anak istri di rumah, sesekali mengumpat kepada aparat atau
jagoan-jagoan terminal yang kerap kali mengganggu mereka mencari nafkah. Dari
oblorannya sudah barang tentu mereka adalah sekumpulan sopir-sopir mikrolet yang tengah beristirahat.
“Jangan ganggu dia!” bentak lelaki
tambun ketika salah satu dari mereka mengusir Khairil. Lelaki tambun itu
memiringkan telunjuk di tengah jidat memberi isyarat pada mereka. Aku melihat
mata mereka sangat hitam tanpa rasa, ketika mengerti arti telunjuk itu,
kemudian menggeser tempat duduknya, sementara aku melempar pandang ke mana
saja, asal jauh dari wajah-wajah mereka. Aku memandangi lalu lintas yang padat.
Anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki dari satu bis ke bis yang lain sambil
membawa gitar kecil atau botol plastik berisikan kerikil-kerikil. Jumlah mereka
sangat banyak, lelaki dan perempuan. Semuanya kumal seperti sopir-sopir yang
tengah beristirahat di warung ini. Sungguh, jika aku menjadi orang tua mereka
pastinya tak akan kubiarkan mereka berlarian di jalanan.
“Dia itu bekas penyair,” ucap lelaki
tambun menjelaskan tentang Khairil kepada sopir-sopir yang berwajah bengis. Aku
sebenarnya tidak setuju kepada lelaki tambun itu. Buat apa menceritakan seorang
penyair kepada sopir, lalu apa pula perlunya seorang penyair bagi sopir-sopir mikrolet? Aku hanya tertawa, terasa
lucu. Di persimpangan ramai seperti ini tak akan dijumpai dari mereka yang
mengenal penyair. Mereka tak memiliki waktu untuk membaca atau mencari
judul-judul buku di toko buku. Mereka lebih mementingkan mencari selembar uang dan
sesuap nasi, atau mencari berita di koran-koran tentang siapa lagi yang korupsi
hari ini. Tetapi, jika artis mungkin mereka akan mengenalnya karena sering
terpajang di papan iklan yang berdiri di tepi persimpangan.
Keadaan sungguh tak nyaman. Apalagi ketika
kanak-kanak itu berlarian menuju ke arah Khairil, dan menyorakinya, “Orang
Gila! Orang Gila.” Mereka tertawa-tawa kemudian berebut menaiki bis setelah
lelaki tambun mengusirnya, lalu mengumpat. Digiringnya Khairil ke bawah pohon
samping warung miliknya. Setelah memberi sebungkus nasi dan sebatang rokok
lelaki tambun itu meninggalkannya untuk kembali melayani pembeli yang semakin
banyak berdatangan. Aku melihat semua mata yang berkerumun di warung itu
semakin bengis, memandang jijik dan kotor. Mereka menganggap orang gila
penyakitan dan berbahaya. Bisa saja ketika mereka tengah santai di warung kopi
tiba-tiba orang gila itu menyerang. Namanya juga orang gila, mana punya
pikiran.
Aku jadi teringat ayah ketika
menatap wajah mereka. Caranya memandang seperti wajah ayah ketika memukul
punggungku dengan gesper, dan
berulang kali ayah mengatakan untuk apa kau sekolah, sekolah hanya membuat kita
jadi miskin. Lalu ayah membakar semua buku-buku filsafat, aljabar dan bahasa
milik perpustakaan kampus. Sebenarnya ayah tak sejahat itu sebelum ibu
meninggalkan kami dan sebelum pemerintah menaikan harga minyak yang berimbas
pada biaya kuliahku di salah satu universitas swasta.
Sejak kejadian itu aku menjadi
pendiam dan lebih senang mengurung diri di kamar. Memikirkan bagaimana caranya
menciptakan demo besar-besaran agar presiden mundur dari jabatannya, atau
merancang bom untuk menghancurkan kampusku. Aku semakin menjauh dari teman,
kekasih, dan masyarakat sampai kemudian ayah menggedor pintu kamar ketika
mabuk. Menyeret aku ke kamar mandi setelah mengetahui aku tak bekerja. Sungguh
dendam semakin memuncak. Kerap kali ayah mabuk bersama teman-temannya di
terminal. Ia menjadi pemabuk semenjak kepergian ibu. Alkohol membunuh hatinya
dengan perlahan, hingga ia dikubur di hari berikutnya.
Seorang pengamen melintas di
depanku, wajahnya lesu. Jalannya gontai menuju warung dengan tatap kosong ke
depan, ia seperti tak memiliki masa depan. Wajah pengangguran dengan segudang
mimpi dalam pikirannya. Aku masih diam melihatnya, tak ingin sedikitpun
mengganggu gelisah yang ada di dirinya sebab air mata dan hati sangat berat
untuk diperbincangkan. Pengamen itu duduk di sampingku dan memainkan lagu, aku
menangis. Teringat kekasihku ketika kuliah, sikap kekasihku yang manja ketika
aku menyanyikan lagu dari beberapa syairku. Ia selalu berkata tak ingin
meninggalkan walau dalam keadaan seperti apapun, memang ia keturunan darah biru
(sebutan bagi orang-orang kaya di negeri ini) akan tetapi cintanya terasa
begitu murni. Beberapa tahun setelah aku putus kuliah dan menjadi tukang parkir
di terminal ia diam-diam berpacaran dengan lelaki lain dan meninggalkanku.
Hatiku koyak-moyak.
Kesunyian itu ternyata nikmat, aku
merasakan dalam hari-hari setelah semuanya pergi meninggalkanku. Aku semakin
senang menulis syair dan sesekali aku membacakannya sendiri di terminal,
stasiun, trotoar atau dimana saja sekadar untuk menghibur diri. Semua hanya
tertawa menyaksikan aku menjadi penyair.
“Apa bedanya Penyair dengan Orang
Gila?” tanya salah satu sopir mikrolet.
Lelaki tambun mengernyitkan dahi, pikirannya jauh melayang memikirkan kata
Orang Gila, lalu ia menggelengkan kepala. Para sopir tertawa kemudian
menyeruput kopi sebelum pergi meninggalkan warung kopi. Suasana lengang di
warung kopi tetapi jalanan semakin padat dan panas, debu-debu berhamburan dari
ban-ban kendaraan, menempel di mana saja.
Tiba-tiba kucing hitam menghampiri Khairil,
mengendus-ngendus kaki dan bagian tubuh lainnya kemudian nungging tepat di
tubuhnya. Lelaki tambun itu melempar botol plastik ke arah kucing hitam yang
tengah mengencingi Khairil. Kucing
berlari ke tengah jalan ketakutan, sepeda motor melintas dan menabraknya.
Kucing hitam terlempar, menggelepar.
Jalanan macet akibat kucing hitam mati di tengah jalan. Orang-orang melihat
dengan iba, bahkan ada juga yang dengan gampang mengobral imannya, “Astagfirullah...” Aku hanya berpikir
kenapa mereka dengan mudah berbelas kasihan pada kucing hitam yang mengencingi
Orang Gila, sedangkan mereka berjalan menjauh ketika melintas di depan Orang
Gila. Akan tetapi, lelaki tambun itu mengangkat mayat kucing hitam, wajahnya
penuh penyesalan. Menyesal karena melempar botol plastik sehingga kucing hitam
tertabrak. Tanpa basa-basi ia menguburkan kucing itu tepat di belakang pohon.
Aku diam menyaksikan kematian.
“Mengapa
tidak kau makan?” tanya lelaki tambun, usai menguburkan kucing hitam.
Aku tertawa menyaksikan tingkah
polah lelaki tambun, ia sungguh repot dan terlihat payah. Melayani pembeli,
mengurusi Orang Gila dan menguburkan kucing hitam. Lelaki bertanggung jawab,
itu mungkin sebutan baginya? Atau lelaki yang sok peduli pada lingkungan sekitarnya? Entahlah. Aku tak peduli. Tetapi, perlahan bungkusan
nasi dimakan dengan lahap.
Lelaki tambun itu menyalakan rokok
lalu diberikan kepada Khairil ketika ia melihat Orang Gila itu menyelesaikan
makannya. Aku menikmati setiap asap yang terhisap dari sebatang rokok bagaikan
imajinasi berhamburan. Sesekali aku mengucapkan kata-kata yang tak bisa
dimengerti oleh lelaki tambun. Namun, aku senang mengatakannya. Kata-kata dari
masa lalu dan mimpi, berulang kali aku mengoceh. Semakin berambisi, aku
bersyair ketika orang-orang di persimpangan melihatku sambil tertawa, bahkan
ada juga yang bertepuk tangan. Tanganku mulai kugerakan seirama syair yang aku
deklamasikan, ke kiri, kanan, bawah, atas atau memutar lalu berteriak-teriak ke
arah mobil, gedung, pedagang kaki lima dan juga kepada sopir-sopir mikrolet yang tengah memarkirkan
kendaraannya di persimpangan. Hari semakin ramai, matahari tenggelam ke arah
barat, langit menjadi jingga. Aku melihat matahari di atas trotoar seperti
telur mata sapi. Tenggorokanku terasa
gatal dan panas, lelah. Aku berjalan menuju warung rokok meminta air untuk
sekadar menurunkan derajat panas dalam leherku, usai meminumnya aku berlalu
tanpa lupa mengucapkan: “Terima kasih, perkenalkan namaku Khairil.”
2011
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert