Nana Sastrawan
Membicarakan antologi puisi di buku
‘Hari Raya Puisi’ yang berisikan penyair-penyair dari berbagai daerah dan
buku-buku puisi mereka terpilih pada Anugerah Hari Puisi Indonesia tentu
tidaklah mudah. Selain mereka adalah
penyair yang telah malang melintang di dunia sastra Nasional dan Internasional.
Satu puisi, dari mereka begitu kompleks. Terbangun dari citraan melalui
permainan metafora, simbolisme, asosiasi dan lainnya. Maka tidak heran, jika
membaca buku itu, kita seolah sedang mengembara ke dunia antah berantah.
Menyaksikan berbagai peristiwa, menemukan ide dan gagasan, dan bisa jadi dapat
mencapai orgasme bahasa.
Dari sekian banyak penyair, saya
tertarik pada puisi-puisi Ulfatin Ch meskipun pada hakikatnya setiap penyair
punya gaya pengucapan dan kecenderungannya sendiri yang khas, baik secara
tematik, maupun stilistik. Puisi-puisi Ulfatin Ch begitu gamblang terbaca,
menyentuh dan menghayutkan. Coba kita simak satu puisi permulaan yang berjudul
‘Ziarah Rindu’
Di tanah, ibu. Aku pulang
membuka catatan lama
tentang rindu dan
harapan
Di tanahmu, ibu. Hujan
kupatahkan
agar derainya tak
berujung di mata
Kuyup jiwaku
berkalang rinai
mengasuh jarak
hingga sampai
Puisi pendek ini memberikan ruang
multitafsir. Pertama, dalam puisi ini seolah memberikan makna tentang kerinduan
seorang anak kepada ibunya yang telah lama pergi, atau merantau. Kerinduan pada
kampung halamannya membawa ingatan-ingatan pada si anak sehingga dia memilih
untuk pulang. Kedua, kata ‘ibu’ di sini bisa saja dimaknai sebagai tempat
peristirahatan terakhir, tanah atau bumi. Setiap manusia memang pada akhirnya
harus terbungkus dan terkubur di dalam tanah sebagai asal. Namun, kematian di
sini tidaklah sebagai akhir melainkan perjalanan yang panjang.
Kegamblangan puisi Ulfatin Ch juga
terbaca pada puisi berikutnya. Puisi yang masih memiliki keterikatan dengan
puisi di atas. Puisi ini berjudul ‘Tanda Ibu’. Simaklah pada larik pertama Ada benang melingkar di pelipis kiri mata
itu/ sebuah tanda ketajaman kuku ibu/ yang menoreh. Pada puisi ini Ulfatin
Ch seolah memberikan pesan tersembunyi kepada pembaca agar menyadari bahwa Ibu
adalah sosok yang paling luar biasa. Simak larik berikutnya sejak kau lahir dan ibulah yang
membesarkanmu/ Kini isyarat itu samar disaat kaulapar. Ya, sosok perempuan
yang kita kenal sebagai Ibu adalah sosok yang paling penting dalam kehidupan
kita. Mereka, para Ibu tidak pernah terlihat gusar, lelah atau bosan untuk
merawat anak-anaknya. Tidak hanya itu, dalam hidup Ibu seolah tak pernah berhenti
untuk terjaga, memberi segala kebutuhan orang-orang di dalam rumah.
Kerinduan Ulfatin Ch kepada sosok
Ibu sangat begitu terasa. Entah, apakah penyair ini memang seorang perantau
yang jauh dari Ibunya. Atau, karena dia sosok seorang perempuan yang tentu saja
merasakan menjadi seorang Ibu. Puisi-puisinya seperti surat wasiat untuk
anak-anaknya, dan mungkin untuk seluruh anak di dunia. Perhatikan puisi yang
lain berjudul ‘Jalan Pulang’.
Meninggalkan kotamu, ibu
bagai serpihan kain,
aku diterbangkan angin
Pada seperempat akhir
malam
di udara padat dan
dingin
tak ada api di sini
selain menjaga diri tak
terbakar api
Dan ketika suara
memanggil tiba-tiba
mungkin ibu yang tengah
memejamkan mata
memimpikan aku di
tengah padang
mengembara
tersekap kabut
sesungguhnya, aku ingin
pulang
melawati jalan lapang
yang dulu pernah engkau
lalui
berpayungkan rimbun
daun
menaiki gunung-gunung
dan tangga langit itu
Apakah ibu sudah
menunggu?
Sepertinya, Ulfatin Ch mempunyai hubungan sangat dekat
dengan Ibu. Hubungan yang lebih personal dalam lingkup keluarga. Bagaimanapun,
puisi lahir dari pengalaman penyairnya. Dia (puisi) hidup dalam kreativitas
penyairnya, menjelma bahasa yang dapat menimbulkan berbagai macam tafsir.
Ulfatin Ch seolah sedang menempatkan dirinya sebagai representasi aku lirik
pada puisi tersebut, sehingga terasa sekali nuansa kerinduan, kehampaan seorang
anak ketika jauh dari Ibunya.
Namun, pada puisi berikutnya Ulfatin
Ch berhasil menguasai kepedihan hidup seorang anak yang jauh dari Ibunya. Pada
puisi ‘Kepada Ibu’ dia seolah ingin mengabarkan pesan kepada Ibu bahwa anak
yang telah dibesarkan menjelma seorang anak yang dewasa, tidak manja dan
cengeng. Hidup jauh dari lingkungan rumah, tidak berarti harus meratap. Di
larik pertama, misalnya Dan seandainya
aku pun bulan/ akan kusuntingkan sinar paling terang di mata ibu/ kukalungkan
wangi kasturi di leher ibu. Puisi ini memiliki energi kekuatan seorang anak
yang bertekad untuk membahagiakan sosok Ibu yang telah membuat anak-anaknya
tumbuh besar. Di larik berikutnya, dia menancapkan kekuatan itu, Dan seandainya aku pun cahaya/ akan
kusematkan cahaya yang cahaya di hati ibu/ yang tulus tak bernoda.
Sosok Ibu bagi Ulfatin Ch sepertinya bukan hanya sosok
perempuan biasa-biasa saja. Ibu baginya adalah sumber kehidupan, pada larik
berikutnya misalnya, Ibu mengalir pada
sungai-sungai/ pada gurun-gurun dan angin/ pada malam ketika sudah gulita. Ulfatin
Ch telah menyadari bahwa apa yang menjadi kesuksesan seorang anak, adalah hasil
dari kerja keras seorang Ibu. Dan, tentu saja doa dan air mata seorang Ibu pula
yang membuat anak-anaknya terhindar dari segala hal yang buruk. Pada puisi
tersebut, ditutup dengan larik puisi yang sendu. Aku bersimpuh dihadapannya/ aku tertunduk tanpa kata-kata/ ketika aku
pergi/ Ibu yang selalu menanamkan doa/ di dada.
Lima puisi bertema Ibu karya Ulfatin Ch sepertinya
hanya pemantik bagi pembaca untuk masuk lebih dalam ke lima puisi berikutnya.
Kesadaran penyair menempatkan posisi puisi memiliki isyarat untuk dapat
dimaknai sebagai tanda kegelisahan pada dirinya. Satu puisi berjudul ‘Catatan
Tugu’ memberi ruang tafsir yang berbeda dari puisi sebelumnya.
Seperti tanganmu
melambai pagi itu di
stasiun Tugu
Tak ada peluit yang
mengabarkan kehadiran
juga keberangkatan yang
begitu tiba-tiba
Tapi, aku tak lupa
jaketmu tertinggal
juga jejak yang terus
mengekal
pada setiap lorong
sunyi Taman Sari
Malioboro, jalan
Mataram
dan batas kota
kini, jalan-jalan itu
sudah terkemas
di etalase yang penuh
mainan
makanan dan juga
pakaian
Kau mau kemana?
di bawah beringin
malam-malam
menunggu Jathilan atau
menunggu
aku
Puisi ini seakan menjawab makna dari
puisi-puisi sebelumnya, bahwa Ibu yang selalu dirindukan kemungkinan jauh
terpisahkan oleh rantau. Namun, bisa jadi puisi ini adalah pintu masuk ke dalam
kegelisahan Ulfatin Ch dalam menjalani kehidupan ini. Di puisi selanjutnya yang
berjudul ‘Sajak Gugur’ terasa kental nuansa kegelisahan itu. Satu kelopak bunga gugur di taman?/ satu
sahabat, satu teman, satu saudara/ dan, entah siapa lagi. Rupanya hubungan
penyair dengan keluarga, teman dekat dan kenangan-kenangan masa lalu terus
bekelindan sehingga puisi Ulfatin Ch terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Begitulah, penyair terkadang memulai
kisahnya dari hal yang paling mudah dijangkau oleh daya ingat. Mula-mula
tentang keluarga, persahabatan, alam, kemudian tentang kepeduliannya pada
problem sosial, dan terus berkelindan sampai akhirnya tiba di muara kehidupan:
kematian. Seperti puisi berjudul ‘Selembar Daun Jati’ yang begitu singkat dan
padat.
Selembar daun jati gugur
Jeritnya terdengar
parau sampai ke hati
Seperti derit daun
pintu
yang pelan-pelan
mengatupkan
Aku
Sejumlah puisi Ulfatin Ch memang
pendek dan ringkas seolah dia tidak ingin membuang kata-kata dengan percuma. Bagaimanapun
juga, puisi bermain dalam tataran citraan (image),
maka ekonomisasi bahasa semestinya menjadi pertimbangan serius. Efektivitas dan
efisiensi bahasa dalam puisi akan menjadikan puisi itu padat berisi, bernas,
tetapi sekaligus membuka peluang bagi pembaca mengganggu tombol imajinasinya
untuk menciptakan ruang tafsir seluas-luasnya. Itulah sebabnya, tidak sedikit
penyair yang kerap tergoda untuk membangun puisi-puisi pendek dan padat,
sehingga begitu satu kata dihilangkan, seketika akan terjadi masalah, bahwa di
dalam rumpang itu, ada sesuatu yang hilang.
Dari sekian banyak puisi pendek
Ulfatin Ch, ada satu puisi panjang yang diselipkan berjudul ‘Di Koran Pagi
Wajah Perempuan Devi’.
(1)
Ada benih tersiram
dari masa lalumu kelam
mengancam gelisah
di sudut bibir pahit
wajah biru yang
menunduk ketika itu
bagai kurungan di atas
sekam
menatap tak ada
ataukah engkau lupa
gelapnya malam
hingga ia tetap menari
di atas pelaminan
membuka mata cadas
untuk menjadi perempuan
(2)
Di koran pagi wajahmu
biru
mengingatkan aku pada
masa lalumu
sebelum engkau ditembak
hari itu
Seperti tak ada kabar,
tetapi terasa begitu tiba-tiba
sedang dunia telah
menjadi gulita
melenyapkan semua
rencana
(3)
Jika laut sama
bergelombang
sepasang naik dan turun
Mengapa kau tuntut juga
langkah yang lebih dalam
dari derita. Sedang
burung telah memberikan
kebebasannya padamu,
menukar sari
yang menggantung di
lehermu.
Mengapa tak kau baca
juga anugrah cahaya
yang melepaskanmu dari
bencana
Sekarang apa yang
menjadi api
di dalam jasadmu selain
dunia tanpa doa
Gangga mengapung dan
entah
1991-2003
Nah!
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert