Di pasar Senen.
Akhir-akhir ini agak sulit menemukan
toko buku bekas di pasar Senen, sebab pedagang kaki lima di sini banyak yang
sekali digusur, biasanya pasar ini gudang buku-buku bekas, sekaligus gudang
buku-buku bajakan. Namun, bagi mahasiswa buku-buku seperti itu adalah
penyelamat mereka dari tugas-tugas kuliah yang selalu memberikan arahan untuk
membaca buku-buku lama.
Hari minggu, aku sengaja mengunjungi
pasar Senen, sekadar mengisi kekosongan, daripada di dalam rumah, sungguh
sumpek. Walaupun lumayan jauh dari tempat tinggalku di kawasan Selatan Jakarta,
gudang dari segala macam kawasan elit dan hiburan malam. Memasuki pasar Senen
seperti memasuki wilayah kumuh, padahal ini terletak di pusat Jakarta, banyak
sekali gedung-gedung tinggi di sekitarnya.
Wajar jika banyak penyair terlahir
dari kawasan ini, seperti Chairil Anwar yang hingga sekarang karya-karya selalu
dibaca oleh banyak orang. Aku juga memiliki beberapa bukunya, dan datang kemari
juga mencari beberapa buku sastra serta buku-buku puisi yang sudah tidak dijual
di toko buku.
Karya-karya Iwan Simatupang, Sitor
Situmorang, dan banyak lagi agak sulit didapat, padahal karya-karya itu sangat
fenomenal, lekat akan filsafat dan bahasa yang menarik. Mungkin penerbit
menyerah mencetak ulang buku-buku tersebut akibat pembacanya sudah tidak ada.
Tanganku mengaduk-ngaduk buku-buku yang menumpuk di keranjang, harganya
murah, dari lima ribu hingga tiga puluh ribu saja. Lalu, ada tangan lain yang
ikut juga mencari buku-buku ditumpukanku, aku menggeser buku-buku yang tidak
aku baca ke bagian tumpukan buku yang sedang cari, dia mungkin kesal, lalu
melirik ke arahku.
“Bunga?”
Aku mengangkat wajah, menatapnya.
“Raka?”
Sejenak kami terdiam, lalu tersadar
masing-masing dan tertawa.
“Kamu ngapain di sini?” serempak
kami berkata.
Lalu, kami tersipu malu, menyadari
keterkejutan masing-masing.
“Oke, kamu dulu deh!”
“Mmm… mencari buku,” jawabku.
“Aku juga.”
Sejenak aku dan dia hanya saling
pandang, mungkin karena kejadian beberapa hari lalu, disaat aku ulang tahun.
Dia tidak pernah muncul, hanya kembang api yang berseliweran di angkasa.
“Jadi… malam itu memang sengaja
untuk tidak menemuiku?” tanyaku.
“Ah, aku ditelpon Ibu, adikku panas,
makanya aku segera pulang,” kata Raka lalu memalingkan wajah dan mulai mencari
buku-buku.
Aku memandangi wajah seorang
laki-laki, dia memang tidak seberuntung teman-teman laki-laki di masa SMA dulu,
lahir dari keluarga kaya. Dia hanya lahir dari keluarga biasa saja, dan hanya
punya semangat.
“Oh ya, cari buku apa?” tanyaku
sambil ikut mengaduk-ngaduk buku.
“Pramoedya,” jawabnya.
“Loh? Suka baca novel sastra juga?”
“Mmm… itu tugas kuliah kok!”
“Tugas kuliah? Jadi…”
“Iya, aku kuliah. Memang hanya kamu
yang bisa kuliah,” Raka tersenyum.
Aku juga membalas senyumnya.
Semangat memang mengalahkan semuanya, tidak ada yang sanggup mengungguli
semangat yang berkorbar dalam hati seseorang. Dalam beberapa jam, kami larut
dalam mencari buku-buku sastra, dari pasar Senen hingga ke pinggiran trotoar
Kwitang.
Aku menemukan apa yang aku cari,
buku cerpen Iwan Simatupang dan beberapa buku teori sastra dan kebudayaan.
Sedangkan Raka belum juga menemukan novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Memang
novel itu luar biasa, sudah beberapa kali menjadi nominasi nobel sastra dari
Asia.
Sebenarnya, banyak juga novel itu
tersebar di toko-toko buku, namun semuanya bajakan, Raka hanya ingin membeli
novel asli, walaupun bekas, sebab di toko buku resmi harganya lumayan mahal.
Matahari meninggi, aroma Jakarta
sudah sangat tidak nyaman jika panas terik seperti ini; pengamen, gembel,
pengemis, dan lain-lain tampak sama, tak bisa dibedakan. Bahkan perampok dan
penipu juga sama, di sini, semuanya terlihat perlente. Hanya yang
benar-benar miskinlah yang terlihat payah. Bis kota seenaknya saja berhenti,
tukang ojek seenaknya saja memotong jalan, polisi seenaknya saja menyebrangkan
orang, padahal ada jembatan penyebrangan, bajaj seenaknya saja membuang gas
knalpot yang hitam pekat, dan banyak lagi yang seenaknya saja di Jakarta.
Kami terpaksa berhenti di tenda pedagang kaki lima, memesan mie ayam dan
es teh manis, perut sudah tidak bisa diajak berkeliling.
“Nanti aku belikan deh novel itu,”
kataku.
“Nggak usah kali, nanti juga dapet!”
“Nggak apa-apa, anggap saja itu
ucapan terima kasihku.”
“Terima kasih?”
Aku meminum es teh manis yang sudah
tersedia di atas meja papan. Sementara, tenda ini mulai ramai oleh pembeli yang
kelaparan.
“Kalau saja tidak ada kembang api
darimu, malam itu aku kesepian.”
Raka memandangku aneh, ada simbol
pertanyaan dari pandangannya.
“Panjang ceritanya…,” kataku,
memberikan jawaban dari pandangan itu.
“Sorry, aku memang terlalu
lama pergi,” kata Raka.
Ini yang membuatku merasa hidup
kembali, Raka memang mencintaiku sejak dari SMA, tapi aku tak tahu, mengapa
hati ini tidak pernah memiliki getaran kepadanya. Hati ini hanya mengatakan
bahwa dia adalah sahabat, itu saja. Tatapan kami beradu kembali, aku tak tahu
apa yang akan terjadi antara dan Raka.
Penjual mie ayam meletakkan kedua
mangkuk pesanan kami, sehingga mengejutkan, dan membuyarkan suasana pandangan
kami.
“Oh ya, kamu udah baca
karya-karyanya Pramoedya?” tanya Raka, lalu bersiap menyantap mie ayam.
“Mmm… hanya membaca dari internet
saja,” jawabku.
“Iya, aku juga sama. Tapi
pandangannya akan dunia ini sangat luas.”
“Apa itu bukan novel sejarah ya?”
“Justru itu yang menarik, aku ingin
lebih tahu lagi apakah itu novel sejarah atau hanya fiksi. Sebab, beberapa
kejadian yang tulis memang terjadi, seolah tokoh itu menjadi saksi pergerakan
sekaligus terlibat di dalamnya.”
“Sepertinya aku juga akan
membacanya.”
“Kalau begitu aku bisa meminjam
setelah kamu membaca, jadi nggak perlu kamu membelikannya untukku.”
Cerdas! Sebuah penolakan yang
cerdas, Raka menganjurkanku untuk membaca dan dia meminjam, sungguh keras hati
sahabatku ini.
“Jika itu maumu, baiklah.”
Lalu kami melanjutkan menyantap mie
ayam. Rasanya memang enak, pantas saja tenda ini ramai oleh pengunjung.
Beberapa dari pengunjung sepertinya orang-orang berduit, tapi, ini Jakarta,
sudah kubilang dari awal semua tampak sama.
“Kamu kuliah dimana?” tanya Raka.
“UI, kalau kamu?”
“Aku… Ah, hanya kampus biasa.”
Kulihat raut wajah yang berubah
pucat, sepertinya dia memang malu untuk mengatakannya. Padahal, aku tidak
pernah membedakan pendidikan darimana dia mendapatkannya, sebab tempat yang
bagus, belum tentu menghasilkan kualitas pendidikan yang bagus. Ini hanya
masalah manusia dan mimpi-mimpinya.
“Aku pikir, kita nggak perlu
membahas tempat kita belajar, tapi pada intinya, untuk apa kita belajar. Hanya
untuk dapat gelar, gengsi, pengakuan status sosial, atau untuk iseng mengisi
hari-hari saja?”
Raka memandangku serius.
“Banyak yang tidak berhasil, karena
mereka terlalu bangga dimana mereka kuliah,” lanjutku.
“Kamu berbeda sekarang,” ucap Raka.
“Sudah kubilang, panjang ceritanya…”
Raka menarik napas lega, matanya
menatap ke luar tenda, melihat seorang bocah cilik membawa gitar, dan berlari
mengejar bis kota. Anak itu seharusnya belajar, untuk apa dia mengamen dan
mencari uang. Membantu orang tua? Tidak harus bukan? Urusan mencari uang adalah
kewajiban orang tua, sedangkan anak hanya belajar. Pendidikan gratis bukan
membentuk orang menjadi lebih peduli pada pendidikan, melainkan menjadi mereka
beranggapan bahwa pendidikan murahan dan nomor kesekian.
“Aku hanya masuk ke STKIP, jurusan
bahasa Indonesia. Kuliah malam, sebab pagi hingga siang aku harus bekerja
serabutan,” kata Raka dengan suara berat.
“Wow, itu bagus! Aku suka dengan
anak muda yang punya semangat, seperti kamu!” seruku.
Memang sudah kuduga. Yang dimiliki
Raka adalah semangat, dan itu mengalahkan segalanya. Semangat membentuk sebuah
impian, dan hanya orang-orang yang memiliki semangat itu bisa meraihnya.
“Hehe, semoga saja apa yang aku
cita-citakan tercapai.”
“Tentu saja, semua pasti akan
tercapai.”
Aku tersenyum padanya. Ternyata,
kami memiliki mimpi yang sama, mimpi yang tak pernah berakhir untuk mewujudkan
diri menjadi manusia yang berkualitas. Sebab, manusia yang berkualitas sudah
harus bisa mengubah arah hidupnya sendiri menuju hal yang lebih baik….
sumber foto dari www.google.com
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert