MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Asmara : Bagian Kesepuluh



Di pasar Senen.
            Akhir-akhir ini agak sulit menemukan toko buku bekas di pasar Senen, sebab pedagang kaki lima di sini banyak yang sekali digusur, biasanya pasar ini gudang buku-buku bekas, sekaligus gudang buku-buku bajakan. Namun, bagi mahasiswa buku-buku seperti itu adalah penyelamat mereka dari tugas-tugas kuliah yang selalu memberikan arahan untuk membaca buku-buku lama.
            Hari minggu, aku sengaja mengunjungi pasar Senen, sekadar mengisi kekosongan, daripada di dalam rumah, sungguh sumpek. Walaupun lumayan jauh dari tempat tinggalku di kawasan Selatan Jakarta, gudang dari segala macam kawasan elit dan hiburan malam. Memasuki pasar Senen seperti memasuki wilayah kumuh, padahal ini terletak di pusat Jakarta, banyak sekali gedung-gedung tinggi di sekitarnya.
            Wajar jika banyak penyair terlahir dari kawasan ini, seperti Chairil Anwar yang hingga sekarang karya-karya selalu dibaca oleh banyak orang. Aku juga memiliki beberapa bukunya, dan datang kemari juga mencari beberapa buku sastra serta buku-buku puisi yang sudah tidak dijual di toko buku.
            Karya-karya Iwan Simatupang, Sitor Situmorang, dan banyak lagi agak sulit didapat, padahal karya-karya itu sangat fenomenal, lekat akan filsafat dan bahasa yang menarik. Mungkin penerbit menyerah mencetak ulang buku-buku tersebut akibat pembacanya sudah tidak ada.
              Tanganku mengaduk-ngaduk buku-buku yang menumpuk di keranjang, harganya murah, dari lima ribu hingga tiga puluh ribu saja. Lalu, ada tangan lain yang ikut juga mencari buku-buku ditumpukanku, aku menggeser buku-buku yang tidak aku baca ke bagian tumpukan buku yang sedang cari, dia mungkin kesal, lalu melirik ke arahku.
            “Bunga?”
            Aku mengangkat wajah, menatapnya.
            “Raka?”
            Sejenak kami terdiam, lalu tersadar masing-masing dan tertawa.
            “Kamu ngapain di sini?” serempak kami berkata.
            Lalu, kami tersipu malu, menyadari keterkejutan masing-masing.
            “Oke, kamu dulu deh!”
            “Mmm… mencari buku,” jawabku.
            “Aku juga.”
            Sejenak aku dan dia hanya saling pandang, mungkin karena kejadian beberapa hari lalu, disaat aku ulang tahun. Dia tidak pernah muncul, hanya kembang api yang berseliweran di angkasa.
            “Jadi… malam itu memang sengaja untuk tidak menemuiku?” tanyaku.
            “Ah, aku ditelpon Ibu, adikku panas, makanya aku segera pulang,” kata Raka lalu memalingkan wajah dan mulai mencari buku-buku.
            Aku memandangi wajah seorang laki-laki, dia memang tidak seberuntung teman-teman laki-laki di masa SMA dulu, lahir dari keluarga kaya. Dia hanya lahir dari keluarga biasa saja, dan hanya punya semangat.
            “Oh ya, cari buku apa?” tanyaku sambil ikut mengaduk-ngaduk buku.
            “Pramoedya,” jawabnya.
            “Loh? Suka baca novel sastra juga?”
            “Mmm… itu tugas kuliah kok!”
            “Tugas kuliah? Jadi…”
            “Iya, aku kuliah. Memang hanya kamu yang bisa kuliah,” Raka tersenyum.
            Aku juga membalas senyumnya. Semangat memang mengalahkan semuanya, tidak ada yang sanggup mengungguli semangat yang berkorbar dalam hati seseorang. Dalam beberapa jam, kami larut dalam mencari buku-buku sastra, dari pasar Senen hingga ke pinggiran trotoar Kwitang.
            Aku menemukan apa yang aku cari, buku cerpen Iwan Simatupang dan beberapa buku teori sastra dan kebudayaan. Sedangkan Raka belum juga menemukan novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Memang novel itu luar biasa, sudah beberapa kali menjadi nominasi nobel sastra dari Asia.
            Sebenarnya, banyak juga novel itu tersebar di toko-toko buku, namun semuanya bajakan, Raka hanya ingin membeli novel asli, walaupun bekas, sebab di toko buku resmi harganya lumayan mahal.
            Matahari meninggi, aroma Jakarta sudah sangat tidak nyaman jika panas terik seperti ini; pengamen, gembel, pengemis, dan lain-lain tampak sama, tak bisa dibedakan. Bahkan perampok dan penipu juga sama, di sini, semuanya terlihat perlente. Hanya yang benar-benar miskinlah yang terlihat payah. Bis kota seenaknya saja berhenti, tukang ojek seenaknya saja memotong jalan, polisi seenaknya saja menyebrangkan orang, padahal ada jembatan penyebrangan, bajaj seenaknya saja membuang gas knalpot yang hitam pekat, dan banyak lagi yang seenaknya saja di Jakarta.
              Kami terpaksa berhenti di tenda pedagang kaki lima, memesan mie ayam dan es teh manis, perut sudah tidak bisa diajak berkeliling.
            “Nanti aku belikan deh novel itu,” kataku.
            “Nggak usah kali, nanti juga dapet!”
            “Nggak apa-apa, anggap saja itu ucapan terima kasihku.”
            “Terima kasih?”
            Aku meminum es teh manis yang sudah tersedia di atas meja papan. Sementara, tenda ini mulai ramai oleh pembeli yang kelaparan.
            “Kalau saja tidak ada kembang api darimu, malam itu aku kesepian.”
            Raka memandangku aneh, ada simbol pertanyaan dari pandangannya.
            “Panjang ceritanya…,” kataku, memberikan jawaban dari pandangan itu.
            Sorry, aku memang terlalu lama pergi,” kata Raka.
            Ini yang membuatku merasa hidup kembali, Raka memang mencintaiku sejak dari SMA, tapi aku tak tahu, mengapa hati ini tidak pernah memiliki getaran kepadanya. Hati ini hanya mengatakan bahwa dia adalah sahabat, itu saja. Tatapan kami beradu kembali, aku tak tahu apa yang akan terjadi antara dan Raka.
            Penjual mie ayam meletakkan kedua mangkuk pesanan kami, sehingga mengejutkan, dan membuyarkan suasana pandangan kami.
            “Oh ya, kamu udah baca karya-karyanya Pramoedya?” tanya Raka, lalu bersiap menyantap mie ayam.
            “Mmm… hanya membaca dari internet saja,” jawabku.
            “Iya, aku juga sama. Tapi pandangannya akan dunia ini sangat luas.”
            “Apa itu bukan novel sejarah ya?”
            “Justru itu yang menarik, aku ingin lebih tahu lagi apakah itu novel sejarah atau hanya fiksi. Sebab, beberapa kejadian yang tulis memang terjadi, seolah tokoh itu menjadi saksi pergerakan sekaligus terlibat di dalamnya.”
            “Sepertinya aku juga akan membacanya.”
            “Kalau begitu aku bisa meminjam setelah kamu membaca, jadi nggak perlu kamu membelikannya untukku.”
            Cerdas! Sebuah penolakan yang cerdas, Raka menganjurkanku untuk membaca dan dia meminjam, sungguh keras hati sahabatku ini.
             “Jika itu maumu, baiklah.”
            Lalu kami melanjutkan menyantap mie ayam. Rasanya memang enak, pantas saja tenda ini ramai oleh pengunjung. Beberapa dari pengunjung sepertinya orang-orang berduit, tapi, ini Jakarta, sudah kubilang dari awal semua tampak sama.
            “Kamu kuliah dimana?” tanya Raka.
            “UI, kalau kamu?”
            “Aku… Ah, hanya kampus biasa.”
            Kulihat raut wajah yang berubah pucat, sepertinya dia memang malu untuk mengatakannya. Padahal, aku tidak pernah membedakan pendidikan darimana dia mendapatkannya, sebab tempat yang bagus, belum tentu menghasilkan kualitas pendidikan yang bagus. Ini hanya masalah manusia dan mimpi-mimpinya.
            “Aku pikir, kita nggak perlu membahas tempat kita belajar, tapi pada intinya, untuk apa kita belajar. Hanya untuk dapat gelar, gengsi, pengakuan status sosial, atau untuk iseng mengisi hari-hari saja?”
            Raka memandangku serius.
            “Banyak yang tidak berhasil, karena mereka terlalu bangga dimana mereka kuliah,” lanjutku.
            “Kamu berbeda sekarang,” ucap Raka.
            “Sudah kubilang, panjang ceritanya…”
            Raka menarik napas lega, matanya menatap ke luar tenda, melihat seorang bocah cilik membawa gitar, dan berlari mengejar bis kota. Anak itu seharusnya belajar, untuk apa dia mengamen dan mencari uang. Membantu orang tua? Tidak harus bukan? Urusan mencari uang adalah kewajiban orang tua, sedangkan anak hanya belajar. Pendidikan gratis bukan membentuk orang menjadi lebih peduli pada pendidikan, melainkan menjadi mereka beranggapan bahwa pendidikan murahan dan nomor kesekian.
            “Aku hanya masuk ke STKIP, jurusan bahasa Indonesia. Kuliah malam, sebab pagi hingga siang aku harus bekerja serabutan,” kata Raka dengan suara berat.
            “Wow, itu bagus! Aku suka dengan anak muda yang punya semangat, seperti kamu!” seruku.
            Memang sudah kuduga. Yang dimiliki Raka adalah semangat, dan itu mengalahkan segalanya. Semangat membentuk sebuah impian, dan hanya orang-orang yang memiliki semangat itu bisa meraihnya.
            “Hehe, semoga saja apa yang aku cita-citakan tercapai.”
            “Tentu saja, semua pasti akan tercapai.”
            Aku tersenyum padanya. Ternyata, kami memiliki mimpi yang sama, mimpi yang tak pernah berakhir untuk mewujudkan diri menjadi manusia yang berkualitas. Sebab, manusia yang berkualitas sudah harus bisa mengubah arah hidupnya sendiri menuju hal yang lebih baik….


sumber foto dari www.google.com
Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893