Solilokui
pada Dunia Realis Penulis
Nana Sastrawan
Menulis adalah kerja
intelektual. Itulah yang terbesit pertama kali ketika saya mulai menulis di
tahun 2006 sejak mulai mengenal dunia kampus di mana saya berkumpul dengan
orang-orang yang selalu membicarakan mimpi-mimpinya. Ya, saya memang tidak
terlahir dari kalangan Bangsawan atau orang-orang kaya di Negeri ini. Menginjak
pekarangan kampus saja, itu suatu mukjizat. Agak heran bagi saya sampai saat
ini mengapa saya bisa menulis, khususnya fiksi. Ketika kecil saya terlahir di
kampung dengan serba kekurangannya, pindah ke kota, hidup di jalanan dan
bekerja serabutan. Sekarang, saya memiliki ijazah, karya dan beberapa orang
mengenal saya sebagai penulis. Entahlah, hidup memang misteri.
Orang-orang
bilang usia selalu bertambah sementara umur selalu berkurang. Aku pun tiba-tiba
tersadar bahwa usiaku ini sudah menginjak angka dua puluh lima dan sudah
dibilang cukup matang. Bagiku, usia ini adalah buah mangga yang menguning di
pohonnya. Bahkan nobel penghargaan tidak jarang diraih oleh orang-orang yang
berada di dalam usia ini. Pun aku, di usia ke-25 ini, mengalami perubahan yang
tak lazim. Bayangkan, aku yang biasa hidup dengan kata-kata dan gaya bahasa
tiba-tiba memiliki tubuh dan melalukan rutinitas laiknya manusia seperti makan,
minum, tidur, bercinta dan berjalan seenaknya—dengan tubuh yang kurus dan
hampir tak ada daging seperti orang-orangan sawah ini. Aku tak tahu mengapa
hanya tulangku yang tumbuh padahal aku sudah memakan karbohidrat, protein,
lemak dan lain-lain. (Anonymous, hlm 1).
Itulah narasi pembuka
pada novel Anonymous yang saya diterbitkan pada tahun 2012.
Novel ini yang menghantarkan saya
mendapat penghargaan Acarya Sastra IV pada tahun 2015 dari Badan Bahasa. Tidak
hanya itu, novel yang dipublikasikan secara independen hingga sekarang sudah
mencapai 1000eks dan terus diproduksi. Tentu bukan suatu pencapaian yang
fantastis, mengingat penulis-penulis populer bisa meraih keuntungan dari
novelnya hingga ratusan juta, belum lagi kalau dilirik perusahaan film, dan
sepertinya itu adalah cita-cita semua penulis. Namun, bagi saya itu sudah
sangat luar biasa. Sebab, saya pribadi sangat merasa kekurangan dalam segala hal
menuliskan novel itu, apalagi novel itu disajikan secara metaforik, yang
mungkin saja memiliki falsafah-falsafah tentang kehidupan.
Lalu,
apa yang dikisahkan dalam novel itu? Dan apa pentingnya orang lain harus tahu
kisah di novel Anonymous itu? Apakah itu kisah si penulisnya? Jawabannya tentu
saja bukan, saya masih kesulitan menuliskan kisah kehidupan saya sendiri dalam
sebuah novel. Perlu diketahui, novel itu mengisahkan tentang tokoh ‘aku’ yang
memiliki seorang ibu yang gila, hidupnya miskin dan dipandang sebelah mata oleh
lingkungannya. Selain itu, Ayahnya pergi meninggalkan mereka dalam keadaan yang
terhina. Coba bayangkan, bagaimana si aku menjalani hidup dalam kondisi yang
seperti itu? Suatu ketika, ibu yang gila itu membakar rumahnya lalu pergi
meninggalkan si aku, entah ke mana. Di situlah kisah itu dimulai.
Dalam
proses membuat novel itu, saya sering dihadapkan dengan kehidupan yang keras,
ganjil dan sengsara. Seorang mahasiswa miskin, yang harus kerja serabutan untuk
membiayai hidup dan pendidikannya harus rela meluangkan waktu dalam kelelahan
untuk menulis, harapannya novel itu bisa diterbitkan dan terjual dengan
berjuta-juta eksemplar. Pada kenyataannya tidak demikian. Saya justru
dihadapkan dengan dunia realitas, bahwa harus rela menelan pil pahit dalam
indsutri penerbitan dan penjualan buku. Dan kepahitan, bagi saya sudah biasa,
sebab begitulah kehidupan saya sehari-hari, pahit dan menyakitkan.
Ya,
pada kenyatannya saya merasakan bahwa kehidupan itu juga seperti menulis novel.
Fiksi dan Metaforik. Alhasil saya semakin menikmati menulis, masa bodo dengan
kata ‘laris’ atau ‘terkenal’ saya hanya ingin menulis dan menceritakan kehidupan.
Saya menemukan falsafah hidup dari kalimat yang saya tulis sendiri dalam novel
Anonymous.
Dunia
luar adalah dunia yang asing dan aneh—tanpa rencana dan segalanya berjalan
dengan penuh ketiba-tibaan. Tak ada waktu yang berdering ketika ingin terbangun
dari tidur. Semua waktu sama. Yang membedakan hanya tawa dan tangisan. (Anonymous,
hlm 27).
Sekecil
apapun kehidupan tak bisa mengubah dirimu jika tubuhmu masih ditumbuhi nafsu
yang menggiringmu ke dalam lorong-lorong gelap. Mereka akan bersarang dan bertelur
di dalam hatimu. Tak akan bebas kau bergerak. Kenistaan ada di dalam tubuhmu,
bukan tubuh orang lain. (Anonymous, hlm 55).
Tangisnya
memecah keheningan dari mataku yang menatap tajam. Aku melihat waktu yang
bergerak perlahan ditumbuhi mimpi buruk, waktu yang memisahkan ingatan dengan
penyesalan. Aku seperti sedang menulis bersamanya, menulis sebuah novel. Kau
tahu, novel adalah peristiwa dari potongan-potongan tubuh yang hancur. Mereka
menyusun kembali dengan karakter masing-masing hingga membentuk waktu. Setiap
gerak adalah kata yang menciptakan logika dan perasaan. (Anonymous, hlm 65).
Jalan
ini memanjang, tak tahu di mana ujungnya. Aku kira ia tak punya akhir dan penuh
persimpangan. Tiap kali ada dinding yang membenturkan tubuhnya, tiba-tiba ada
jalan baru di sisi kiri dan kanan jalan yang mempersilakan aku untuk
melaluinya. Lalu apakah jalan buntu itu tidak ada? Bahkan, ketika jalan
terputus oleh sungai, segera ada jembatan yang membangun dirinya. Ketika
terhenti di pantai, seperti sulap, permukaan air tiba-tiba beku menjadi sebuah
jalan baru. (Anonymous, hlm 104).
Aku
sudah bunuh diri dalam setiap detik. Dan hidup kembali di detik berikutnya.
Bagiku bunuh diri bukanlah memisahkan ruh. Bunuh diri adalah menghilangkan
warna hitam dalam diri sendiri. (Anonymous, hlm 111).
Aku
tengah meninggalkan sejarah-sejarah yang berhamburan. Berjatuhan dari pakaianku
seperti air hujan jatuh dari genting di beranda rumah. Aku tengah menjadi
aku—dari setiap ruang dan peristiwa. Kau tahu setiap gerak dan bahasa yang aku
gunakan pada dasarnya adalah niskala. Namun akibat pikiran dan perasaan yang
dimiliki setiap manusia, ia menjadi sebuah nama—nama dari imajinasi itu menjadi
wujud. (Anonymous, hlm 119).
Aku
mengenal dunia luar itu setelah mencari dan memahami bahwasanya dunia luar
adalah keheningan yang sempurna dan keheningan bukanlah sepi atau pun sunyi,
karena sepi dan sunyi adanya hanya dalam dada, dan dada terbenteng dinding.
Alangkah bodoh manusia yang memiliki dinding dalam dada, dinding-dinding yang terbuat
dari ketakutan. Buatlah jembatan karena jembatan adalah lintasan antara
ketakutan dan keberanian. (hlm 120).
Ada dua
anjing dalam hati manusia, cinta dan benci. (Anonymous, hlm 127).
Sebagai novel dengan
bermain simbol-simbol, saya sadar bahwa peristiwa jumpalitan diperbolehkan.
Meskipun demikian, penjagaan terhadap logika cerita tetap dibutuhkan agar
pembaca selalu berada dalam sebuah ruang yang memungkinkan untuk menghubungkan
simbol-simbol itu dengan realitas sosial yang saya sembunyikan. Penyatuan
simbolik dalam keseluruhan unsur intriksik memiliki harapan agar karya ini
mengandung makna yang mendalam. Itulah mengapa saya sendiri menemukan makna
yang jernih untuk saya sendiri dari tulisan sendiri. Terdengar aneh memang,
mengapa penulis memaknai tulisannya sendiri? Jujur saja, sampai saat ini novel
Anonymous itu masih saya baca sendiri berkali-kali. Lucu.
Tujuh tahun kemudian,
setelah menerbitkan sekitar lima novel populer, saya kembali menerbitkan novel
Solilokui di tahun 2019 ini.
Apa
itu Solilokui dan ada hubungan apa dengan novel Anonymous? Di dalam kamus
bahasa Indonesia, Solilokui memiliki arti sama dengan Senandika, yaitu wacana
seorang tokoh di dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama
yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik bathin yang paling
dalam dari tokoh tersebut.
Novel ini memang saya
siapkan jauh sebelumnya setelah menyelesaikan novel Anonymous sebagai edisi ke
dua. Tetapi, karena kesibukan saya mencari nafkah untuk keluarga, saya sempat
abaikan. Tidak harus saya tutupi, untuk menerbitkan tulisan-tulisan sastra atau
filsafat yang memang saya bukan seorang terkenal atau filsuf sangat sulit ada
yang mau menerima. Karena, naskah-naskah tersebut dianggap tidak laku. Dan saya
tidak harus mendebatnya, saya akan terbitkan sendiri, paling tidak untuk koleksi
pribadi. Niat itu kesampaian juga setelah bertemu seorang kawan lama, Pringadi
Abdi Surya, seorang penulis yang dulu sempat bersama-sama menjalani proses
menulis dengan keterbatasan.
Novel Solilokui
memiliki tokoh sama ‘aku’ dengan novel Anonymous. Bedanya, tokoh ‘aku’ di novel
Anonymous dihadapkan dengan kehidupan yang keras, ganjil dan gila dan memiliki
ibu yang gila pula. Di novel Solilokui, tokoh ‘aku’ mengalami kegilaan itu
sendiri. Lalu, dalam kegilaannya itu dia berusaha melawan diri sendiri dan
mejalani hidup normal. Dia berusaha mengenali kegilaan yang ada dalam diri.
Dalam
keadaan seperti ini, aku telah menjadi manusia yang bertobat dengan cepatnya
membunuh diriku sendiri. Kehidupanku selalu diliputi perbuatan dosa; mencaci,
memfitnah, berzinah, berbohong, membunuh dan menghalalkan segala cara seperti
sebuah kamar yang berantakan. Kehidupanku hanya memiliki satu musim dan satu
kondisi, walau dalam keadaan apa pun aku hanya merasakan ketakutan entah itu
dalam masa lalu, sekarang atau akan datang. Aku merasa semuanya menuju ke dalam
satu titik, seperti sebuah lilin yang terbakar api. Keringat-keringat deras
bercucuran, membanjiri seluruh tubuh. Tubuhku sudah tak bisa dikatakan sehat,
bahkan pikiranku. Pikiranku semakin memanas, bukan karena hanya aku tengah
sendirian atau ingin melakukan bunuh diri. Akan tetapi, aku seperti gunung
merapi yang tengah mengeluarkan vulkanik bergejolak tak pernah berhenti.
(Solilokui, hlm 23)
Peristiwa-peristiwa
dalam novel ini dibangun dengan satu tokoh ‘aku’ tapi, saya menghadirkan
tokoh-tokoh lain yang bisa saja tokoh ‘aku’ sendiri. Pada dasarnya, saya
menulis novel ini dalam arus kesadaran, kewarasan dan keramaian. Namun, saya
merasakan seolah kesadaran saya adalah ketidaksadaran, kewarasan saya adalah kegilaan dan keramaian
saya adalah kesunyian. Mungkin benar ucapan para kritikus sastra, bahwa sumber
dasar seorang penulis menceritakan kisah dalam buku fiksi tidak lepas dari
pengalaman pribadinya, tetapi cerita itu bisa hidup di dalam pembaca bagaimana
penulis itu meraciknya dengan sempurna, sehingga yang tersembunyi dapat terbuka
jelas, dan yang terbuka semakin gamblang. Entahlah. Pada proses menulis novel
Solilokui, saya sendiri bukan orang gila atau tidak bercita-cita untuk menjadi
orang gila.
Secara sosiologis,
novel ini pun pada dasarnya dapat ditempatkan sebagai ‘potret’ yang lain dari
kehidupan yang normal dan biasa-biasa saja. Kita jarang melihat peristiwa yang
berada di luar kita, di luar yang dirasakan oleh diri kita, bahkan mungkin
terkadang kita sendiri tidak ingin terlibat dengan urusan yang tidak
menguntungkan untuk kita.
Kenyataan
yang tengah aku pikul adalah aku bukan seorang manusia yang suka membaur dengan
lingkungan: makhluk sosial. Akan terasa tidak adil jika setiap manusia di dunia
ini mengambil kesimpulan bahwa setiap manusia memiliki kemiripan satu sama
lainnya. Sehingga mereka bisa saja membuat alibi untuk mendekatkan diri dan
berkomunikasi; melangsungkan peradaban. Kemiripan bagiku adalah sebuah
kedangkalan manusia untuk melakukan sebuah penelitian makna akan dirinya
sendiri, mereka menyerah mencari. Sialnya, aku harus dihadapkan dengan sebuah
takdir. (Solilokui, hlm 26)
Saya berpikir, jika
menulis cerita hanya pada peristiwa dan akhir cerita, tidak pada sampai titik
sumber inspirasi, boleh jadi tidak memberi apa pun, kecuali sekadar membuat
analogi yang hakikatnya sebuah duplikasi. Pesan spiritualitasnya sama dengan
apa yang sudah tersirat—tersurat dalam kisah yang lain. Solilokui berusaha
melakukan revitalisasi atau aktualisasi atas usahanya membuat pemaknaan
kembali.
Di
puncak ini aku menemukan suara angin, bergemuruh di telinga seperti suara riuh
pesta ucapan selamat datang, dengan sekejap aku telah bersahabat dengan angin.
Kualihkan pandangan ke sekitar puncak gedung, sangat luas dan bebas. Ia duduk
di lantai, rambutnya dibiarkan terurai, angin memainkannya seperti ilalang.
Sementara langit memerah, dan perlahan pudar tertutup gelap. Aku terhipnotis
mengikuti sosok itu, perasaanku semakin bergairah seperti kambing jantan yang mengasah
tanduknya di pepohonan. Memandangnya seperti tengah mengisap opium, memabukkan
dan bikin aku kecanduan. Pandanganku terbang, tertiup angin kemudian mengapung,
tanpa disadari aku telah berada di sampingnya, di tengah embusan angin.
Melayang namun tak sepenuhnya seperti layang-layang. (Solilokui, hlm 42).
Begitulah, pada bagian
awal novel ini saya memang menghadirkan traumatik yang dialami tokoh ‘aku’ yang
meskipun dalam tekanan tersebut tokoh mulai merasakan surga, merasakan
kebebasan. Tetapi, dia masih digayuti pertanyaan-pertanyaan yang menggiring
tokoh tersebut menceritakan peristiwa-peristiwa lainnya yang menyebabkan dia
tersudut dan terasing.
Jika sebuah cerita
diakhiri dengan kebahagiaan apakah penderitaan yang dihadirkan sebelumnya
tertutupi, atau jika akhir cerita itu sebuah penderitaan apakah
penderitaan-penderitaan yang diceritakan sebelumnya semakin menjadi
kesengsaraan. Di sinilah saya mencoba menghadirkan cerita yang tak ingin
menjadi cerita kadaluarsa setelah dibaca, seperti saya memaknai kehidupan ini,
terus berjalan dengan misteri-misterinya. Untuk kedua kalinya, saya menemukan
makna kehidupan dari tulisan saya sendiri. Lucu memang. Tetapi kenyataan, bahwa
dunia realis penulis bisa saja dunia fiksi dalam karyanya, atau dunia fiksi yang ditulis penulis dalam
karyanya adalah dunia realis penulisnya.
Ini yang saya jarang
temukan. Mungkin kebanyakan orang berpikir yang baik akan menjadi baik, yang
buruk akan menjadi buruk, tidakkah mereka memaknai keburukan sehingga
melahirkan kebaikan. Atau, kegilaan dan bunuh diri adalah makna kehidupan yang
patut kita syukuri, sehingga kita dapat menemukan esensi hidup itu sendiri,
esensi kesadaran itu sendiri. Entahlah. Saya hanya menulis, menikmatinya dan
menemukan makna.
Dalam
kepala kita tersimpan banyak tragedi. Hanya satu yang bisa membawa kita ke
dalam ruang kebenaran. Ruang yang tak pernah bisa dihancurkan oleh diri kita
sendiri, ruang yang dapat memunculkan rasa percaya diri. Kepalamu adalah jalan
menuju surga dan hatimu adalah buku panduannya. (Solilokui, hlm 103).
Tentu saja, proses
menulis tidak mau saya hentikan. Meskipun pada kenyataannya di dunia serba
digital ini sering bermunculan penulis-penulis handal lainnya. Bahkan, sekarang
semakin banyak gerakan-gerakan untuk melahirkan tulisan dengan berbagai hadiah.
Saya tetap belum tergiur untuk mengikuti arus, saya menulis dengan apa yang
saya ingin hadirkan. Terlebih tema yang saya tulis tidak terlalu populer atau
jauh dari cita rasa pasar pembeli. Saya senang menulisnya. Pada akhirnya saya menemukan, bahwa menulis adalah
kerja sosial. Selamat membaca karya-karya saya, semoga memberikan manfaat.
Salam Kreatif.
September 2019
Share This Article :
comment 1 komentar
more_vertKeren kakak. Sinopsis kedua novel ini saya baca seperti saya dibawa gelombang penasaran Novel Anymous yang menceritakan penderitaan dengan tokoh Aku yang memiliki ibu yang gila dan Novel Silolikui yang mengisahkan tentang kesadaran tertinggi manusia dalam melakoni kehidupan.
June 6, 2020 at 12:43 PM-Neni Yulianti (Kota Cirebon)