dan
gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?
Sesungguhnya
suara itu akan menjadi kata
Ia yang
mengajari aku untuk bertanya
dan pada
akhirnya tidak bisa tidak
engkau
harus menjawabnya
Apabila
engkau tetap bertahan
Aku akan
memburumu seperti kutukan
Itulah puisi Wiji
Thukul seorang penyair yang keras menyuarakan ketidakadilan pada masa orde
baru. Sebenarnya, ada banyak penyair yang bersuara lantang kepada pemerintah
selain Wiji Thukul. Seperti WS Rendra (sekadar menyebut satu nama) Dia juga
pernah dipenjara dan konon katanya, rumor yang berkembang di antara seniman
Rendra diasingkan ke luar negeri dengan diberikan beasiswa sekolah di sana agar
tidak selalu mengkritisi pemerintah, namun setelah pulang dari luar negeri,
Amerika, Rendra semakin keras menyuarakan kebenaran.
Namun, di antara
penyair pada zaman itu, Wiji Thukul bisa dibilang fenomenal dan misterius,
selain puisi-puisinya yang blak-blakan, lugas dan tegas, tidak terlalu
bertele-tele dengan metafora dan gaya bahasa lainnya. Kisah kehidupan Wiji
Thukul pun begitu misterius.
Mari kita simak sejenak,
siapakah penyair Wiji Thukul. Dia bernama asli Wiji Widodo. Lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus1963.
Dia dikenal aktivis Hak Asasi Manusia berkebangsaan Indonesia. Thukul merupakan
satu di antara tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru.
Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Dia lahir dari keluarga Katolik dengan
keadaan ekonomi sederhana. Ayahnya adalah seorang penarik becak,
sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.
Thukul Mulai
menulis puisi sejak
Sekolah Dasar, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku Sekolah Menengah
Pertama. Bersama kelompok Teater Jagat.
Dia pernah ngamen
puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan
berjualan koran, jadi calo karcis bioskop,
dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pada Oktober 1989,
Thukul menikah dengan istrinya Siti Dyah Sujirah alias Sipon. Tak lama semenjak
pernikahannya, Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri
Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993
anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.
Thukul pernah
bersekolah di SMP Negeri 8 Solo dan
melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia jurusan tari.
Thukul memutuskan untuk berhenti sekolah karena kesulitan keuangan. Meskipun hidup
sulit, dia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis dengan anak-anak
kampung Kalangan,
tempat dia dan anak istrinya tinggal.
Pada tahun 1992 dia
ikut demontrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT
Sariwarna Pada 1994, terjadi aksi petani di Ngawi,
Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta
dipukuli militer.
Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh
aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex. Tahun-tahun
berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) yang
merupakan salah satu organisasi sayap Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Thukul mengupas kehidupan
rakyat kecil yang hidup dibawah kepemimpinan otoriter pada masa Orde Baru
melalui puisinya. Rasa-rasa pahit kemiskinan dan penderitaan terasa begitu pilu
terurai melalui untaian kata yang Thukul tulis. Bagi dia puisi adalah media
yang mampu menyampaikan permasalahan rakyat kecil dan juga bagi kaum tertindas
di masa Orde Baru. Semenjak itu, Thukul kerap kali dituding sebagai dalang
demonstrasi, puisi-puisinya dicurigai sebagai penggerak rakyat kecil melakukan
protes.
Itulah puisi-puisi Wiji
Thukul yang lahir dari kecemasan akan kepincangan-kepincangan dalam realitas
hidup sehari-hari. Sutardji Calzoum Bachri mengatakan di dalam buku ‘Isyarat’
(2007. Hlm 80) bahwa setiap orang yang berkecimpung dalam dunia puisi tahu
bahwa puisi adalah suatu dunia tersendiri, yang kadang dalam bentuk ekstrem
atau ideal adalah dunia hasil imajinasi yang tidak berhubungan dengan realitas.
Walaupun sumber ilhamnya dari suatu realitas, ia tidak harus merujuk pada
realitas yang mengilhami. Namun tidak pula bisa dimungkiri bahwa ada puisi yang
sedikit banyak bisa pula merujuk pada realitas yang mengilhami, misalnya, sering
pada sajak-sajak yang penuh dengan kadar protes sosial itu. Ya, puisi-puisi Wiji
Thukul sangat konsisten terhadap perkara sosial yang berkembang di masyarakat,
bahkan kehidupan yang serba tidak adil dan kemiskinan dialami olehnya sendiri.
Kerusuhan pada Mei 1998 pun meledak. Peristiwa itu
telah menyeret beberapa nama aktivis ke dalam daftar pencarian aparat Kopassus
yang sering disebut Tim Mawar. Di antara para aktivis itu adalah aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan,
Jakker, pengusaha, mahasiswa,
dan pelajar yang dinyatakan tidak sejalan dengan rezim.
Semenjak bulan Juli 1996, Thukul sudah berpindah-pindah keluar masuk daerah
dari kota satu ke kota yang lain untuk bersembunyi dari kejaran aparat. Dalam
pelariannya itu Thukul tetap menulis puisi-puisi pro-demokrasi yang
salah satu di antaranya seperti di bawah ini.
(1)
Para
jendral marah-marah.
Pagi
itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku yang
menonton. Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku.
Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya, Dengan mata masih lengket aku
bertanya: mengapa? Hanya beberapa patah kata ke luar dari mulutnya: ”Namamu di
televisi .....” Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.
Aku
tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu sudah lenyap dari televisi.
Karena acara sudah diganti. Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya
tidak. Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana.
Setelah
menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu
ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas berisi teh manis. Seperti
biasanya ia meletakkan di sudut meja kayu panjang itu, dalam posisi yang
gampang diambil.
Istriku
sudah mandi pula. Ketika berpapasan denganku kembali kalimat itu meluncur.
”Namamu di televisi....” ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bagaimana
kekejaman kemanusiaan itu dari pada aku.
Yosep Adi Prasetyo
alias Stanley, mantan anggota Komnas HAM menulis artikel di Jurnal Dinitas yang
diterbitkan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Jurnal Volume VIII No.
1 Tahun 2012 itu memuat tulisan Stanley berjudul "Puisi Pelarian Wiji
Thukul". Stanley mendapatkan kumpulan puisi Wiji Thukul saat Thukul
menjadi buron.
Stanley menuliskan
pengalamannya bertemu dengan Wiji Thukul: Saya bertemu dengan Wiji Thukul
beberapa kali. Saya mendapatkan kumpulan puisi ini saat-saat terakhir kali
sebelum dia memutuskan untuk pindah ke luar kota, mengingat Jakarta dinilainya
sudah tidak aman. Kepada Stanley, Wiji Thukul mengatakan: Tolong ini kamu
pegang. Siapa tahu suatu saat ada gunanya.
Kumpulan puisi ini
total berjumlah 27 puisi yang sebagian besar belum ada judulnya. Jumlah puisi
adalah perkiraan Stanley, karena bisa jadi larik-larik pusi itu memiliki judul
sendiri. Puisi tersebut ditulis dengan pensil di atas kertas surat putih
bergaris sebanyak 13 halaman bolak-balik.
Dalam tulisannya,
Stanley menyebut tulisan ini dibuat setelah Wiji Thukul menempuh perjalanan
Solo, Salatiga, dan Jakarta dengan menumpang truk dan berpindah-pindah bis.
Sebagian tulisan diberi catatan tanggal penulisan, sebagian tidak. Namun dari
catatan yang ada bisa diperkirakan bahwa puisi ini ditulis antara tanggal 10
sampai 15 Agustus 1996, saat Thukul menjadi buronan pasca Peristiwa 27 Juli
1996.
Kita pun dapat
menemukan peristiwa pelarian itu pada satu di antara puisi Wiji Thukul, misalnya
pada Puisi di bawah ini.
(2)
aku
diburu pemerintahku sendiri
layaknya
aku ini penderita penyakit
berbahaya
aku
sekarang buron
tapi
jadi buron pemerintah yang lalim
bukanlah
cacat
pun
seandainya aku dijebloskan
ke
dalam penjaranya
aku
sekarang terlentang
di
belakang bak truk
yang
melaju kencang
berbantal
tas
dan
punggung tangan
kuhisap
dalam-dalam
segarnya
udara malam
langit
amat jernih
oleh
jutaan bintang
sungguh
baru
malam ini
begitu
merdeka paru-paruku
malam
sangat jernih
sejernih
pikiranku
walau
penguasa hendak mengeruhkan
tapi
siapa mampu mengusik
ketenangan
bintang-bintang?
Puisi-Puisi Wiji Thukul
ini dapat menjadi jejak melacak keberadaan Wiji Thukul yang hingga kini belum
kembali. Ya, Nama Wiji Thukul disebut sebagai satu di antara orang yang dicari
pemerintah Soeharto yang menuding Partai Rakyat Demokratik sebagai dalang
Peristiwa 27 Juli 1996. Wiji Thukul aktif di Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat
(Jakker), organ gerakan Partai Rakyat Demokratik.
Seperti diketahui bahwa
orde baru adalah era di mana kebebasan berpendapat seolah hanya angan belaka.
Pada era ini orang harus tunduk pada pemerintah. Perlu dicatat, rezim Orde Baru
sensitif terhadap kritik secara umum. Kepemimpinan zaman itu dianggap otoriter dan
mematikan semangat demokrasi. Wiji thukul adalah cerita penting dalam sejarah Orde
Baru yang tak patut diabaikan. Sastrawan dan aktivis yang melawan penindasan
rezim Orde Baru.
Sekitar tahun 1998 jejaknya
tak lagi diketahui. Hingga kemudian hilang tak tentu rimba hingga hari ini.
Wiji Thukul tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi maupun represi di NKRI
ini, melainkan advokasi melalui puisi. Namun, hak hidupnya dibuat mati. Dia
telah menjadi korban praktik penghilangan orang. Lewat jalan panjang dan
berdarah, Wiji Thukul mendobrak pintu kebebasan berbicara. Sosok Thukul telah
menghilang, tapi bara api pada kata-katanya tak kunjung padam. Thukul adalah
simbol dari betapa mahal harga yang harus dibayar dari perjuangan merebut
demokrasi.
Lalu, sebegitu hebatnya
kah puisi hingga seorang Wiji Thukul mesti hilang hingga sekarang? Apa fungsi
dan peranan puisi dalam kehidupan bangsa ini? Bukankah puisi sebagai hasil
cipta penyair hang sering dianggap hanya hayalan dan angan-angan? Sejumlah
pertanyaan itu kerap muncul pada masyarakat awam, bahkan juga dari aparat
pemerintah kita yang coba mempertanyakan peranan dan kontribusi puisi dalam
kehidupan bangsa.
Maman S Mahayana dalam
buku ‘Jalan Puisi, Dari Nusantara Ke Negeri Poci’ (Kompas. 2016. Hlm 130) menuliskan
bahwa Puisi bukanlah sambal goreng yang selepas kita menguyahnya, kita dapat
langsung merasakan pedasnya. Puisi juga bukan benda-benda fungsional yang kasat
mata. Ia sebuah produk budaya yang dihasilkan lewat olah kreativitas dengan
bahasa sebagai mediumnya. Dengan begitu, fungsi puisi lebih menyangkut pada
perkara menanamkan nilai-nilai, menyentuh kepekaan hati nurani, dan coba
membangun spiritualitas dan kesadaran dalam memandang problem manusia dan
kemanusiaan. Oleh karena itu, peranan dan kontribusinya, tidak wujud sebagai
produk yang kasat mata, benda-benda konkret, atau sesuatu yang langsung dapat
dirasakan manfaatnya, melainkan serangkaian ajakan permusuhan terhadap segala
kebrengsekan dan pemihakan terhadap mereka yang teraniaya. Ajakan pemihakan dan
permusuhan itu melekat sedikit demi sedikit, menempel menjadi kesadaran, bahkan
filosofi yang lalu menjelma menjadi prilaku, sikap hidup, dan tata nilai.
Segalanya berlangsung tidak sekali jadi: simsalabim, adakadabra, jadi maka
jadilah, melainkan melalui proses panjang, merayap, dan meresap secara kontinu
dan berkelanjutan.
Puisi yang menyatakan
sikap perlawanan juga telah dilakukan oleh para penyair kepada sikap penindasan
dan ketidakadilan. Beberapa penyair yang tercatat memiliki sikap perlawanan
melalui puisi ini dijabarkan oleh Maman S Mahayana pada satu di antara
tulisannya di buku Jalan Puisi, Dari Nusantara Ke Negeri Poci. Tulisannya
diberi judul ‘Puisi Perlawanan: Puisi yang melahirkan Indonesia’. Para penyair
itu seperti K.H Ahmad Ar-Rifai, seorang ulama besar pendiri Pesantren Kalisalak
di Batang, Jawa Tengah. Teuku Iskandar, mencatat sejumlah syair yang hasil
penelitiannya dengan judul ‘Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad’ (1996.
Hlm 454), yang dikatakannya sebagai syair sejarah yang mengisahkan semangat
patriotisme dalam peperangan melawan Belanda. Ibrahim Alfian dalam buku ‘Sastra
Perang: Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil (Balai Pustaka. 1992.
Hlm 2) di situ Hikayat Perang Sabil ditulis dan dinyanyikan tidak hanya untuk
mengobarkan semangat perang melawan Belanda atau bangsa asing, tetapi juga
untuk memperkuat keimanan tentang tuntutan atau kewajiban berjihad.
Perlawanan-perlawanan
melalui puisi juga hadir pada masa pra kemerdekaan bangsa Indonesia. Puisi
sebagai bentuk penyadaran dilakukan oleh Muhamad Yamin, Sanusi Pane, dan
Mohammad Hatta di majalah Jong Sumatra, yang
diterbitkan antara 1920-1921. Muhammad Yamin menulis puisi berjudul ‘Tanah Air’
dan ‘Bahasa, Bangsa’ menyusul kemudian Sanusi Pane berjudul ‘Tanah Airku’ dan
Mohammad Hatta berjudul ‘Beranta Indra’. Setelah itu, Muhammad Yamin pun
menulis puisi berjudul ‘Indonesia Tumpah Darahku’ menjelang Kongres Pemuda yang
menghasilkan Sumpah Pemuda tahun 1928. Indonesia yang dibayangkan itu,
sesungguhnya tercermin pada teks lagu ‘Indonesia Raya’ karya WR Rudolf
Supratman. Pasca Kemerdekaan lahirlah puisi-puisi perjuangan dan perlawanan
dari Chairil Anwar.
Melihat sejarah
perlawanan menggunakan puisi itu, patutlah Wiji Thukul kita hormati
setinggi-tinggi, dia berada di tengah-tengah rakyat yang tertindas oleh
penguasa meski harus kehilangan kebahagiaan dalam dirinya, bahkan hingga saat
ini peristiwa hilangnya Wiji Thukul tak pernah bisa diungkap mesti telah
berganti-ganti rezim. Tetapi, cita-cita besar Wiji Thukul untuk demokrasi telah
terwujud walaupun ketidakadilan masih ditemukan di setiap daerah di Indonesia.
Akan tetapi, di setiap ketidakadilan, penindasan dan kesewenang-wenangan oleh
penguasa, di situ pula kutukan Wiji Thukul hadir dengan wujud yang lain yang
berani tampil dan bersuara lantang dengan satu kata: Lawan!
Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.
comment 0 komentar
more_vert