MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Manusia Kebo


Cerpen ini telah dimuat di Tanjung Pinas Pos, Edisi Februari 2020

Nana Sastrawan 

Dialah Si Manusia Kebo. Setiap hari kerjanya hanya makan, tidur, makan tidur, makan dan tidur lagi. Tapi dia tidak pernah terserang penyakit, badannya tambun dan selalu tertawa setelah kenyang, barisan giginya mengkilap seolah makanan yang dia makan membersihkan gigi-giginya, dan tampangnya seperti anak berumur lima belas tahun, baru baligh, cengar-cengir, lalu senang bertepuk tangan jika melihat hal yang lucu persis anak idiot. Tak ada yang tahu persis kapan dan di mana ia dilahirkan, tiba-tiba saja ia berkeliaran, sejak seabad yang lalu. Kakek dan nenekku juga sering melihatnya, teman-temanku, dan setiap orang di daerahku melihatnya. Namun, dia tetap saja makan, tidur, makan tidur, makan dan tidur lagi. Dia mengembara dari kampung ke kampung, menantang semua orang untuk berlomba makan sebanyak-banyaknya dan tidur selama-lamanya. Sinting!

            “Lihat mulutnya tak berhenti mengunyah.”

            “Dasar Kebo!”

            “Dia pasti bukan manusia! Dia Setan!”

            “Memangnya Setan suka makan dan tidur?”

            “Dia abadi dan malas!”

Semakin aneh saja kelakuannya. Dari kampung ke kampung dia menyeret karung yang berisi penuh bantal-bantal, sambil makan dia bejalan. Dia makan jerami, rumput, ubi, dedaunan dan lainnya. Jika sudah merasa kenyang, bantal-bantal ditumpuk kemudian tidur mendengkur. Bila dia sudah tertidur, waktu seperti tidak ada artinya, anak-anak menjadi dewasa, menikah, melahirkan, dan menjadi dewasa kembali, dia masih tertidur pulas. Lalu, ketika mencium bau rumput segar, dia segera bangun, kemudian makan, makan dan makan.

Saking anehnya, ada beberapa orang yang pernah mencoba membuntutinya. Namun jangankan punggungnya, jejaknya pun selalu lenyap seolah melukis di udara, sia-sia. Pernah juga ada yang melihatnya menghilang di antara gedung-gedung tinggi. Pernah ia menghilang di pabrik-pabrik, menghilang di pasar swalayan, menghilang di kantor-kantor pemerintah, menghilang di hotel, apartemen, diskotik, komplek perumahan mewah. Setiap usaha memburunya sekadar ingin tahu asal-usulnya, dia menghilang seperti asap yang tertiup angin.

Kadang-kadang orang lebih suka melupakannya, karena memikirkan manusia Kebo hanya buang-buang waktu, cuma bikin sakit kepala, pusing tujuh keliling. Namun, dia selalu muncul disaat orang-orang merasa gembira dan melupakan, membuat jengkel sebab ketika dia tertidur, suara dengkurannya membuat bising seisi kampung, kota bahkan negeri. Mungkin aktivitas makan dan tidurnya itu memang tidak membawa penyakit bagi dirinya melainkan memberikan kesehatan, terlihat dari wajahnya yang selalu bersih, matanya bening, pipinya gemuk, rambutnya selalu rapi, suaranya ceria, ia tampak menyenangkan.

Dia sering muncul di saat musim hujan, di tanah subur, rerumputan hijau dan udara dingin, nyaman untuk tertidur berabad-abad.

            “Tiada hari tanpa makan dan tidur,” katanya suatu kali.

Kini, orang-orang hanya bisa tersenyum sinis, bahkan sebagian ada yang tidak peduli, sebagian lagi ada yang ikut-ikutan makan dan tidur. Mereka menerimanya sebagai demokrasi, sebab zaman sudah berubah, anggap saja menontonya makan dan tidur adalah hiburan. Ya, zaman memang sudah berubah, semakin bising, serba sulit, serba susah, serba menunggu. Meskipun sadar bahwa mereka tengah dibodohi oleh kemalasan manusia Kebo, tetapi orang malas saja bisa makan dan tidur, menghibur pula. Jadi, apa susahnya menerima dia menjadi bagian dari masyarakat meski, sinting!

            “Apa kamu tidak bosan makan dan tidur?” ucapku memberanikan diri mendekatinya.

Dia berhenti menguyah, matanya melirik ke arahku lalu dahinya terlihat mengernyit seolah tengah berpikir untuk mencari jawaban dari pertanyaanku. Ya, aku adalah salah satu pengintai Si Manusia Kebo.

         “Makan dan tidur bukannya kebutuhan manusia? Kalau kau tidak makan dan tidak tidur, hidupmu rusak!” jawabnya dengan nada tinggi seolah tidak ingin disalahkan atas prilaku menyimpang yang dimilikinya.

        “Sampai kapan kamu akan makan terus, akan tidur terus? Umurmu sudah sekian abad, dari zaman komunis sampai sekarang masih saja tidak berubah. Move on dong!”

            “Sampai kau, aku makan!”

Kemudian dia pergi, menyeret-nyeret karung yang berisikan bantal-bantal, entah dia mau pergi kemana? Mungkinkah dia akan menghilang kembali di antara gedung-gedung tinggi atau dia menghilang di pesawahan? Tetapi, tidak mungkin dia menghilang di sawah, bukankah dia manusia Kebo, bukan Kebo sungguhan. Ya, Kebo saja masih mau membajak sawah jika dipecut, masih mau mandi di sungai, dan tidur di kandang, tidak di tempat umum.

Aku masih mengintainya, dan sekarang prilakunya semakin aneh bahkan menjijikan, dia berjalan sambil sesekali buang kotoran di jalan, sungguh perbuatan yang tidak manusiawi. Coba bayangkan jika ada orang lewat kemudian menginjak kotorannya, tentu itu akan sangat menyiksa. Tapi, dia itu Kebo, tidak manusiawi. Semakin sering dia membuang kotorannya di jalan sambil melangkah pergi entah kemana. Dan orang-orang mulai jengkel kembali, tapi ada juga yang terhibur, mereka cengar-cengir dari balik jendela dan pintu rumahnya.

Tetapi, kali ini aku tidak ingin kehilangan dia. Semakin aku tidak tahu siapa dia, semakin rakus dia makan dan semakin lelap dia tidur. Semakin aku tidak peduli padanya, semakin dia hidup abadi dari zaman ke zaman, dan semakin aku menontonya semakin terasa sangat bodoh, membodohi, terbodohi, dibodohi, dan itu hal yang sangat membodohkan. Aku ikuti dia, seorang manusia Kebo yang mengunyah tidak henti sambil buang kotoran di jalanan. Aku berpikir, pasti ada penggembalanya, ada yang menciptakan kebodohan ini. Dia tidak serta-merta ada, sebab setiap yang ada pasti ada awal dan akhirnya. Benarkan, sinting?

Manusia Kebo berjalan menyusuri kampung, masuk ke pasar, melangkah di trotoar kota, menyebrangi lampu merah. Lihatlah, dia kehabisan makanan. Mulutnya yang selalu ingin mengunyah itu kini gelisah. Matanya mencari rumput-rumput segar, dedaunan, atau apa saja. Tetapi, di kota tidak ada rumput, tidak ada daun, tidak ada jerami, tidak ada ubi, tidak ada. Hanya gedung dan kebisingan.

            Dia lapar, sangat lapar.

Dia menatap tembok, tiang listrik, kaca-kaca. Dia melihat baju, mainan, mobil dan dia melihat makanan. Mungkin benar, manusia Kebo adalah Setan. Matanya berbinar, rasa lapar telah mengganggu emosi sehingga matanya bersinar hingga silau dan tak bisa membedakan benda-benda kota dengan makanan. Dia harus makan!

Kemudian, dia memakan apa saja yang dilaluinya. Aku terkejut, tak mengerti apa yang sedang terjadi di hadapanku. Mungkinkah aku menghentikan pengintaian ini? Kembali ke rumah, mengunci diri, menyepi menjauhi keramaian yang sudah semakin aneh. Tapi, tidak ada guna menyerah bukan? Toh, Kebo juga manusia. Eh, maaf, manusia juga Kebo. Loh? Ya, dia itu manusia kebo, langka, unik dan perlu dilestarikan. Tidak ada lagi yang seperti dia, yang hidup berabad-abad. Aku harus tahu siapa dia.

Manusia Kebo itu terus berjalan sambil memakan apa saja, menyeret-nyeret karung berisi bantal. Pasti, dia tengah mencari tempat untuk tidur. Semakin jauh dia berjalan, ke pusat kota, ke tengah kebisingan. Aku melihatnya memasuki gedung anggota dewan. Rasa penasaran ini tidak bisa dibendung, aku masuk gedung itu, gedung terlarang bagi rakyat, gedung dengan seribu kursi. Tetapi, pintu gedung ini terkunci, aneh. Bagaimana manusia Kebo itu bisa dengan mudah masuk?

Tapi aku tidak peduli. Kudobrak pintu dengan sekuat tenaga hingga aku berhasil masuk. Namun alangkah terkejutnya diriku melihat manusia Kebo tertidur pulas di atas hamparan bantal-bantal. Dia mendengkur, suaranya membuat jengkel, suara yang menyakitkan. Ternyata gedung ini terisi ribuan bantal, yang menina-bobokan Si Manusia Kebo.

Dengan kecewa aku meninggalkan gedung itu, langkah gontai, pikiran mengambang. Ternyata hal yang diketahui tidak mudah untuk dipahami, bahkan dimaklumi. Kota semakin bising, aku melangkah pulang. Dalam perjalananku, kusaksikan orang-orang makan, makan, tidur, makan tidur, makan dan tidur lagi. Mungkinkah mereka terkena virus Si Manusia Kebo? Atau mereka memang sudah benar-benar, sinting!

Hari pun menjadi senja. Tiba-tiba, gedung anggota dewan tercerabut dari bumi, perlahan melayang ke angkasa, seperti terbawa mimpi oleh Si Manusia Kebo, terus melayang membuat orang-orang semakin lupa diri ketika menyaksikan sebuah ketinggian, ketika merasakan nikmatnya makan kemudian tidur dengan bantal yang empuk.

Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893