SEBAGAI PENGANTAR PROSES KREATIF: LEBIH NYATA DARI PENA
Nana Sastrawan
Setiap pengarang memiliki proses kreatifnya sendiri ketika menulis sebuah naskah. Bisa saja, dimulai dengan munculnya ide. Dengan kata lain, ada semacam pusat tema dalam pikirannya yang mendasari lahirnya sebuah karya atau naskah. Kemudian, tema itu diurai menjadi bahan-bahan untuk menulis, bisa menjadi puisi, cerpen, novel, naskah drama atau skenario film. Ada pula pengarang yang terdorong menulis karena melihat keadaan sekitar, peristiwa-peristiwa yang berseliweran melintas di hadapannya. Bisa juga pengarang menulis dari gejolak batinnya. Kegelisahan-kegelisahan yang berkecamuk dalam hati mereka, berupa; kerinduan, patah hati, cinta atau kegagalan-kegagalan.
Semua lahir, tentu tidak dengan tiba-tiba. Semua itu dituliskan dalam proses yang panjang, sebab sejatinya karya yang terlahir dari proses yang panjang akan hidup dalam lingkaran pembaca-pembacanya.
Saya ambil contoh sebuah tulisan berbentuk cerita pendek yang ditulis ketika saya berada dalam titik kegelisahan batin yang tak menentu saat menyelesaikan tugas akhir kuliah. Simaklah tulisannya :
“Menulis itu mudah daripada membaca.”
Kalimat itu masih saja terngiang di telingaku, ucapan dari dosen
pembimbing setelah
membanting beberapa lembar tulisan tugas akhirku ke atas meja dan pergi
meninggalkanku yang terdiam, kesal. Bagaimana tidak? seenaknya saja ia
mengatakan itu, tidakkah ia merasakan betapa sulitnya aku menyusun kata demi
kata dari buku-buku teori yang tebalnya seperti bantal atau tidakkah merasakan
betapa sulitnya aku mengumpulkan data hasil analisisku? Sialan.
Kini aku melangkah menyusuri gang sempit menuju kamar kos yang
sudah beberapa tahun aku tempati di kota ini. Beberapa menit kemudian aku sudah
berhadapan dengan komputer dan buku-buku. Apa selanjutnya? Aku hanya duduk
termangu, memerhatikan layar komputer dengan microsoft word yang masih
kosong seperti pikiranku. Entahlah apa yang harus kulakukan? Tiba-tiba saja aku
menjadi seseorang yang bodoh.
Kureguk kopi hitam, kemudian kunyalakan rokok. Mataku memandang
seisi kamar, berantakan seperti dalam dadaku. Kegelisahan dari sebuah cita-cita
yang sungguh menyebalkan jika harus melakukan pengorbanan, kenapa segala hal di
dunia ini harus ada kesulitan? Kasur lipat dengan setumpuk pakaian kotor
menambah dadaku semakin sesak, segera saja kualihkan pandangan ke dinding-dinding
kamar. Sebuah gambar menjadi pusat perhatian, gambar yang sudah menempel di
dinding itu semenjak aku mengontrak kamar ini. mungkin dulu penghuni kamar ini
adalah seorang mahasiswa yang hidupnya dihabiskan untuk membaca buku. Einstein,
itulah rupanya.
Kudekati, dan berdiri tepat di depannya. Wajah tua yang lucu
(sebagian orang bilang gila), rambut putih, dengan lidah menjulur persis
seperti orang kepedasan. Leluconku mulai tumbuh di kepala, daripada pusing
memikirkan tugas akhir lebih baik aku bersolek, lebih tepatnya berakting.
Rambut kubuat berantakan dan kulit wajahku segera kukerutkan kemudian lidah
kujulurkan persis seperti Einstein, berulang kali aku melakukan dengan
berlenggak-lenggok, lalu aku pun tertawa sendirian. Memang sudah gila.
Merasa cukup aku pun merebahkan tubuh di kasur lipat dengan mata
yang terus memandang gambar itu.
Tiba-tiba...
“Orang tolol!” terdengar suara yang entah darimana datangnya. Aku
mencari sumber suara, nihil.
“Mencari apa kamu. Tolol!” sekali lagi terdengar.
“Siapa kamu?” kuberanikan diri bertanya.
“Einstein.”
“Hah!” terperanjatlah aku mendengar nama itu, lalu kudekati gambar.
“Kau tidak pantas bergaya seperti aku.”
Ini benar-benar ajaib, gambar itu berbicara kepadaku. Aku hanya
bengong menatapnya.
“Mengapa diam? Bukankah kau tengah berpikir menjadi aku?” tanyanya.
“Mu... mung.. mungkin. Sebenarnya aku tengah kesulitan untuk
menulis,” jawabku berusaha menguasai diri.
“Kau tidak akan pernah bisa menulis apa-apa tanpa mengetahui untuk
apa menulis.”
“Maksudmu?”
“Benar sekali kau memang orang tolol.”
“Jelaskan padaku!”
Berulang kali aku bertanya pada gambar itu, akan tetapi suaranya
sudah tak muncul kembali. kudekati hingga wajahku menempel di wajahnya, akan
tetapi ia masih saja bisu. Kurebahkan kembali badanku sementara pikiranku terus
saja berpikir tentang kalimat terakhir darinya. Mengapa ia berkata seperti itu?
Perlahan, kuingat kembali perjuanganku masuk ke universitas negeri di kota ini
dan mengambil jurusan filsafat. Tentunya bukan hanya sekadar main-main belaka,
aku ingin menjadi seorang sarjana filsafat, memberikan pencerahan bagi setiap
orang termasuk hidupku. Akankah aku gagal dari mendapatkan gelar itu hanya
dengan sebuah tugas akhir, bukankah itu berarti aku hanya seorang pecundang.
Lalu apa gunanya pengorbanan selama ini?
Aku terperanjat, mungkin ini yang dimaksud Einstein tadi bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus memiliki dasar dan tujuan, begitu pun dengan menulis. Seseorang harus memiliki cara pandang dalam menulis, untuk apa dan untuk siapa? Bukan hanya sebuah tugas akhir. Para penyair, penulis dan sastrawan, profesor mempunyai alasan untuk menulis sehingga ia tak pernah membuang waktunya untuk urusan yang tidak jelas. Itulah sebuah kunci dalam melakukan sesuatu, niat. Sebuah kata yang sungguh lebih nyata dari goresan pena.
Orang tolol. Memang pantas aku menyandang itu jika hanya memikirkan kekesalan dan dendam dari sebuah kritikan dosen pembimbingku tanpa melakukan sesuatu. Tanpa pikir panjang aku pun beranjak menuju komputer lalu menulis.
Pada tulisan cerita pendek di atas dapat
kita temukan sebuah proses kreatif kapan dan pada situasi apa si penulis
menjadikan pikirannya, kegelisahannya menjelma tulisan yang dapat dibaca, dan
ditemukan pesan-pesan tersiratnya. Tentu saja, seorang pengarang mesti melatih
kepekaan rasa agar dalam penyampaian sesuatu dalam bentuk tulisan dapat menjadi
pikiran atau kegelisahan umum yang memang dirasakan oleh hampir kebanyakan
orang.
Tidak
hanya itu, untuk melatih tehnis dalam kepenulisan, seorang pengarang sudah
menjadi keharusan membaca buku-buku, memperhatikan tulisan-tulisan dari
pengarang lainnya dalam mengemas ide, pikiran, peristiwa dan lainnya pada
naskah. Apalagi, jika pengarang itu ingin menuliskan ‘puisi’ suatu karya sastra
yang memiliki ruang sempit pada tulisannya tetapi mempunyai kekayaan makna yang
multitafsir.
Puisi-puisi
dalam buku ini, memiliki potensi untuk menjadi puisi-puisi yang baik, syarat
makna. Akan tetapi, perlu kiranya seorang pengarang mulai menyimpan banyak
pembendaharaan kata dalam kepalanya, agar diksi-diksi yang dihadirkan tidak
selalu sama dari satu puisi ke puisi lainnya. Diksi dan Rasa jika digabungkan
akan menjadikan puisi selalu berbeda meskipun tema dan peristiwanya serupa.
Mari kita ambil contoh seorang komponis, ia menekan toets pada piano, atau kunci nada pada gitar yang sama, tetapi menghasilkan lagu-lagu yang berbeda, ini yang perlu juga diperhatikan oleh seorang pengarang, khususnya penulis puisi. Maka, pelatihan yang dilakukan oleh SIP Publishing dengan mengurai pendekatan penciptaan puisi melalui peristiwa adalah suatu usaha, agar seorang penulis puisi dapat melatih kepekaan rasa dan menghadirkan diksi-diksi yang berbeda pula. Meskipun tema dan peristiwanya serupa.
Pencapaian tertinggi dalam bidang puisi, tidak dapat dipisahkan pada proses kreatif pengarangnya dalam mengolah pengalaman batin, peristiwa sekitar dan kemampuannya berbahasa. Puisi, tidak hanya sebatas curahan hati semata, dalam puisi ada suatu simbol atau lambang yang dihadirkan sebagai penguat pencarian makna, sehingga dengan sendirinya membentuk gaya bahasa. Misalkan, dalam penulisan sehari-hari kita menulis seperti ini : Aku melihat kamu masuk ke dalam rumah, lalu menelpon seseorang, yang kutahu dia adalah kekasihmu yang dulu. Dalam puisi, kita bisa mengubah kalimat-kalimat itu menjadi larik-larik yang multitafsir.
Aku memandangmu yang memasuki tubuhku
Oleh karena itu, dalam proses kreatif penting kiranya seorang pengarang tiada henti-hentinya belajar, berlatih, membaca tulisan sehingga ide, pikiran, peristiwa dapat tertuang dengan baik, unik, estetik, dan sempurna menjadi karya sastra yang berkualitas. Sebab, dunia ide lebih nyata dari pena.
Suasana Kelas Puisi Bersama Nana Sastrawan
comment 0 komentar
more_vert