Mengumpulkan
Rintik Hujan : Sebuah Kajian Sederhana
Pada Kitab
Hujan Karya Nana Sastrawan
Oleh : Maulana
Rizky
Pada hakikatnya hujan merupakan
jatuhan tetes air dari langit, baik berupa cairan maupun padat ( hujan es atau
batu ). Bagi sebagian orang, kerap kali hujan dijadikan biang petaka yang
menghambat rutinitas mereka sehari – hari. Belakangan ini, penyebab terjadinya
bencana alam di negeri ini disebabkan oleh hujan. Bisa dilihat kejadian di
Bandung, Bogor atau Ibukota yang sudah menjadi langganan banjir tiap tahun.
Akan tetapi hujan bagi seorang
penyair bukan selalu menjadi petaka. Buktinya Nana Satrawan, hujan dijadikan
sebagai anugerah yang tak ternilai harganya. Hujan menjadi inspirasi dalam
menulis puisi yang meliputi berbagai kejadian sehingga terhimpun dalam sebuah Kitab Hujan, buku kumpulan puisi yang
kedua setelah Nitisara.
Ternyata membaca Kitab Hujan untuk
mendapatkan nilai yang terkandung yang ingin disampaikan Nana sebenarnya
tidaklah sulit. Sampul bukunya sudah memberikan kisi – kisi apa saja yang
terkandung di dalamnya. Sampul buku tersebut bergambar beberapa anak manusia
yang sedang meratapi sebuah pusara, berbalut awan hitam dan rintik hujan di
atas langit senja. Dan benar saja, ketika saya menghantamkan Kitab Hujan lembar demi lembar,
ilustrasi tadi cerminan dari isinya.
Mengaji Kitab Hujan bagi saya adalah pekerjaan yang melelahkan dan berat
‘parahnya’ puisi – puisi ada dikelompokan menjadi empat bab dengan beragam sub
– tema. Tapi ini adalah tantangan yang mengasyikan, saya harus menghitung
‘rintik hujan’ yang dijatuhkan Nana Sastrawan.
Perjalanan yang
panjang
Di
awal bab ini menurut saya adalah sebuah perjalanan panjang yang dilalui Nana.
Langkah – langkah yang dilalui terekam rapi oleh guratan tinta hitam. Nana
berhasil meracik berbagai imajinasi menjadi kesatuan ( mungkin ) tidak ingin
dilupakan begitu saja. Tengoklah puisi percakapan malam
Aku pulang
membawa kota yang menjerit dalam hatimu
menyuguhkan
ceritacerita harimau ke depan topengmu
yang terbelah
menggenggam
kekosongan dengan cakar malam, mencabik
luluh lantah
dan kau bukakan
pintu penuh lugu
( Percakapan Malam, hlm 36 )
Masih
ada Tapak, Tubuh Lima warna yang
merupakan puisi sejenis. Tema urban pun tak luput Nana rekam. Sebuah gambaran
yang benar – benar terjadi di zaman sekarang, dalam Korban Tradisi, Delapan Belas Nana menggambarkannya secara
gamblang.
....
sesampainya di
dalam pengamen itu hanya terheran,
orangorang
duduk dan bercanda ria sambil memakan bekal
masingmasing
membelakangi pagelaran wayang,
campur sari dan
deklamasi
( Korba Tradisi, hlm 25 )
Dan
akhirnya Nana menutup perjalanan di bab ini dengan senandung yang begitu mesra
: seorang sejati adalah yang mengerti
harga diri.
Melantukan
kematian
Seyogyanya
kematian menjadi sesuatu yang amat dirindukan oleh setiap makhluk yang
bernafas. Bagi umat beragama, kematian dipandang sebagai perjumpaan yang takkan
terelakan dengan Sang Pencipta. Kematian merupakan suratan yang sulit dengan
berbagai cara atau kekuatan.
Kematian
memang perpisahan yang menyakitkan. Perpisahan dengan orang – orang yang kita cintai
bukanlah hal gampang untuk dilupakan. Dan harus kita lakukan sebagai manusia
yang waras adalah mempersiapkan sesuatu demi menyambut malaikat pencabut nyawa
yang semakin mendekati batang hidung kita.
Pada bab ini puisi – puisi Nana
dirasa amat gelap. saya menyakini dalam diri bahwa bab kedua ini adalah bab
yang paling ‘mencekam’ dan mengingatkan pada arti kematian yang sesungguhnya.
Kematian yang menjadi tanda tanya bagi tiap manusia, Nana ungkapkan pada Kidung Kematian.
Semakin dekat
ke sebuah
persinggahan yang dulu kita impikan
namun terkadang
lari saat mengingatnya
tak terelakan,
kita akan terdiam di tengah kesendirian
semakin dekat
tak ada yang
bisa menukarnya dengan sebait puisi
atau berkarung
harta karun
sembunyi pun
kita tak kuasa
dan kita akan
ditanam dalam lautan darah
dipanggang di
tengah panas yang tak terbayang
sang waktu
hanya menunggu dengan bisu
...
( Kidung Kematian, hlm 60 )
Bahasa Cinta
Tadinya
saya mengira bahwa saya akan sedikit terhibur dan santai setelah dua bab awal
yang dilewati dengan mengarungi lorong gelap multitafsir. Tapi ternyata tidak,
saya masih harus memutar – mutar otak agar mengerti maksud yang dikehendaki si
penyair diterima dengan baik oleh pembaca. Tadinya juga saya mengira, di bab
ini saya akan menemukan cinta remaja yang penuh dengan berkasih – mesra. Dan saya
tertipu untuk kedua kalinya. Tema cinta yang diusung Nana ternyata tidak
sedangkal apa yang saya pikirkan. Semua terbungkus oleh pergulatan makna yang
susah untuk dilerai sembarang orang. Sehingga puisi – puisi di bab ini terasa
lebih elegan dan berwibawa.
Tengoklah
puisi berjudul Kitab Hujan
...
hanya ada
sepasang mata
meneteskan air
mata
tak terhingga
dan air mata
itu bersuara
menjerit bahkan
tertawa
air mata itu
menjadi gelombang pasang
menggulunggulung
semakin riuh
memporakporandakan
sepasang mata
dan pecah
berhamburan air
mata
lalu menjadi
gelombang
dan gelombang
itu saling menyerang
...
Sebait puisi untukmu dan perawan mata hujan pun berkisah tentang
tema cinta yang sama : kepekatan yang kental lagi menghantui
Pada Cinta Walangsangit, saya melihat gaya
sutardji Calzoum Bachri dengan kredonya dan Remy Sylado dengan mBelingnya
bercampur dan bergumul mesra.
1)
Diamdiam
ciumcium
blamblamblam
dumdumdumdum
orangorang
saling menuduh
yang itu diam,
yang ini cium
ya, blam dum
blam dum, semakin riuh
tengah rumah,
kamar resah
berlarian
telanjang, ada juga yang memakai kutang
sambil bawa
pentungan yang penuh uban dan lusinan arang
aduh, blam dum
blam. Kegencet bang!
Apa ada yang
lebih besar bang! Yang ini kurang kencang
diamdiam
blamblam
dumdum
ciumcium
yang di sana
bingung
yang di sini
murung
orangorang pada
sibuk jemur kutang dan celana dalam
( Cinta Walangsangit, hlm 68 )
Dengan
puisi di atas, saya sedikit tersenyum walaupun harus sejenak merenung. Dan
setelah membaca bab ketiga ini, saya semakin yakin bahwa cinta tak selamanya
menyenangkan.
Persembahan
dari Nana Sastrawan
Di
bab terakhir ini, Nana mencoba mempersembahkan ‘hujan’ bagi orang – orang yang
sangat spesial. Boleh jadi ini adalah bab yang paling ‘ringan’ dan tak perlu
mengernyitkan dahi seperti bab – bab sebelumnya. Sebuah anti – klimaks yang pas
pada sebuah kitab.
Kitab Hujan memang kaya imajinasi, subur
dengan pilihan kata ( diksi ) dan penuh kabar duka yang tersampaikan di setiap
kalimatnya, membuat kita berfikir untuk menafsirkan segala teka – teki yang
terkandung di dalamnya. Ada hal yang sedikit mengganggu saya dengan hadirnya Kitab Hujan di tangan saya, setidaknya
saya bisa relaksasi dan terhibur di akhir pekan kala membacanya. tapi
kenyataannya adalah sebaliknya. Mungkin ketidaktahuan saya tentang puisi adalah
penyebabnya.
Terlepas
dari itu semua, Nana Sastrawan menambah deret panjang Sastrawan muda yang ada
di khasanah sastra Indonesia. Dan mudah – mudahan Kitab Hujan mampu
menggantikannya kitab – kitab milik saya di rak buku yang telah mulai lapuk
dimakan usia.
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert