|
Nana Sastrawan bersama Pecinta seni dari Belanda dan India |
ITULAH yang kami rasakan pada saat puasa. Satu hari
menahan lapar dan haus sungguh sangat berat, kami merasa tersiksa. Dilihat terus
jam dinding setiap waktu, menunggu maghrib tiba, agar kami bisa makan
sepuasnya. Lalu, kami dapat minum yang sejuk agar lega tenggorokan, agar kami
dapat bermain lagi.
“Pergilah
ke masjid! Sejuk bagi orang yang lapar di sana….”
Bapak-bapak
kami selalu berkata seperti itu bila kami memegangi perut kerana lapar di siang
hari yang panas. Semestinya, mereka juga pergi ke masjid, namun mereka pergi
untuk bekerja, mencari nafkah untuk kami, enak sekali menjadi orang dewasa,
dapat berdalih sesuka hati, sementara kami, masih kanak-kanak tak boleh
bercakap sesuka hati.
Pergilah
kami ke masjid, mungkin benar apa yang dikatakan orang dewasa bahwa masjid
adalah tempat yang paling sejuk untuk orang berpuasa. Mulanya, kami hanya
bermain di halaman, namun kami dipanggil oleh Abu Jail, untuk duduk-duduk di
selasar masjid. Katanya, Abu Jail akan mendongeng.
“Siapa
yang lapar?” tanya Abu Jail.
Kami
mengacungkan telunjuk, semua kanak-kanak tentu merasa lapar. Sangat lapar, kami
ingin makan yang enak-enak dan banyak. Abu Jail tersenyum—dia duduk bersila,
kami fikir Abu Jail akan menghantarkan makanan kepada kami, tetapi dia mulai
bercerita, begini ceritanya:
Suatu
masa, ada seorang pemuda yang memiliki perawakan tinggi, besar dan kuat. Dia
sangat disegani oleh pemuda lainnya, selain pemberani, juga dia suka sekali
berkelahi sehingga pemuda-pemuda lain takut kepadanya. Sebut saja, dia adalah
jago kampung. Kerana semua orang takut kepadanya, dia tidak mahu bekerja.
Setiap hari hanya meminta duit di pasar pada pedagang-pedagang, seringgit, dua
ringgit, se-dolar, dua dolar, seribu, dua ribu. Tak pernah mahu tahu dagangan
mereka laris atau tidak, yang terpenting dapat kesenangan, untuk makan. Bila
malam tiba, dia senang mabuk-mabukan, minum khamer meski itu dilarang
oleh agama, dia tidak pernah mahu mengerti.
Bertahun-tahun
pemuda itu melakukan aktivitas yang menyusahkan orang banyak, tak ada yang
berani melawan, tak pernah ada. Sampai suatu masa, bulan puasa tiba, seluruh
umat muslim menyambut dengan gembira, bulan yang membawa keberkahan.
Masjid-masjid ramai dikunjungi, pedagang-pedangan semakin semarak bejualan
makanan. Namun, pemuda itu tak pernah pergi ke masjid, tak pernah berpuasa.
“Untuk
apa menahan lapar? Tiada guna, bikin sakit perut!” katanya kepada pemuda
lainnya.
Pemuda-pemuda
lainnya hanya menggelengkan kepala—mereka pergi ke masjid untuk tadarus.
Sementara Si Jago kampung pergi ke warung makan, di sana dia makan sepuasnya,
makan apa saja; daging, sayuran dan lauk-pauk lainnya. Setelah kenyang, ia
pergi ke pasar meminta duit pada pedagang sebagai jaminan keamanan, bila tidak
mahu memberi, ia marah dan akan memukul pedagang itu. semua takut, tak ada yang
berani melawan.
Si Jago
kampung itu berjalan di tengah pasar, ia semakin pongah, matanya selalu melotot
kepada orang-orang yang memandang. Dadanya sengaja dibusungkan, agar tampak
wibawa, tampak gagah. Terkadang, dia bertolak pinggang memperlihatkan otot-otot
lengannya yang kuat. Semua pedagang menunduk, semua takut kena maki.
Ketika
dia sedang berjalan di tengah pasar, matanya melihat seorang nenek berjualan
kelapa parut untuk santan, dia sangat renta, kelapa-kelapa hanya sedikit,
menandakan bahwa nenek itu berjualan dengan modal yang sedikit. Nenek itu
memegangi tongkat kayu, yang dia gunakan untuk berdiri atau berjalan, namun
mata nenek itu memancarkan semangat hidup yang luar biasa, semangat untuk tetap
melaksanakan hari-hari dengan tawakal.
Si Jago
kampung menghampirinya.
“Pedagang
baru?” tanyanya.
Nenek
itu tersenyum—kemudian mengangguk.
“Oh…
sudah tahu aturannya?”
“Aturan?
Emak belum tahu… memangnya di pasar ini ada aturan?” dengan suara lemah nenek
itu menjawab.
“Ada,
setiap pedagang harus memberi duit kepada saya untuk keamanan. Bila tidak,
tidak boleh berdagang di sini!” bentak Jago kampung.
Nenek
itu terkejut—bentakan Si Jago kampung hampir saja membuat jantungnya copot, namun
ia terlihat sangat sabar.
“Tapi…,
Emak belum dapat pembeli. Tidak ada duit untuk memberi…”
“Kalau
begitu, tidak boleh berdagang, silakan pergi!”
“Maafkan
Emak… tapi, Emak butuh makan, butuh duit untuk membeli makanan, kasihanilah
Emak yang sudah tua ini…”
Si Jago
kampung tidak mahu mengerti, dia menendang kelapa-kelapa parut untuk dijual
milik nenek itu, dihancurkannya seluruh dagangan nenek itu. Ada perasaan iba
melihat kejadian itu, tetapi tidak ada yang berani melawan, mereka semua takut
jika Si Jago kampung menghajar mereka, terlalu kuat untuk dilawan.
“Astagfirallah…,
ini bulan puasa, bulan kebaikan. Jangan berbuat maksiat…,” ucap nenek itu.
“Tidak
usah ceramah! Semua butuh makan di sini, dan saya butuh duit untuk makan!”
Setelah berkata, Si Jago kampung pergi
meninggalkan nenek itu. Air mata mengalir dari pelupuk mata nenek pedagang
kelapa parut, pandangannya tak pernah putus kepada kelapa-kelapa yang
berserakan di tanah, kelapa yang sudah dikupas itu kotor tercampur tanah-tanah
pasar yang becek. Nenek teringat bagaimana susahnya dia mengumpulkan
kelapa-kelapa itu dari kebun-kebun. Kelapa-kelapa yang jatuh dengan sendirinya
ia pungut, ia kupas sendiri dengan sisa-sisa tenaganya, ia bawa ke pasar untuk
dijual, untuk makan saat berbuka puasa.
Tangannya
gemetar meraih kelapa-kelapa itu, lalu dimasukan kelapa-kelapa itu kedalam
kantong plastik, dipilih saja yang bersih, sementara yang kotor ditinggalkan.
Dalam hatinya nenek itu berdoa untuk Si Jago kampung, entah doa apa yang
diucapkannya. Lalu, ia pergi meninggalkan pasar, langkahnya tertatih-tatih
menggunakan tongkat, semua mata menatap iba, hanya iba, tidak lebih.
Beberapa
hari setelah kejadian itu, terdengar suara meraung-raung kesakitan di rumah Si
Jago kampung. Perutnya melilit akibat lapar yang tidak pernah berhenti, dia
sudah makan banyak, namun masih merasa lapar hingga perutnya sakit tak
terhingga, makanan di rumahnya sudah habis. Dia berlari ke luar, mencari apa
saja yang dapat dimakan, daun-daun, batang-batang kayu yang muda sampai
rumput-rumput liar dia makan, namun tetap saja perutnya merasa sakit. Dia
berlari ke pasar, memakan makanan yang ditemukanya hingga habis, tak juga membuat
perutnya merasa kenyang, bahkan tambah merasa sakit. Orang-orang berkumpul
menyaksikan itu semua, saling berbisik, saling cakap, pemuda itu terus saja
makan hingga perutnya buncit, lalu meledak. Dia mati.
“Nah…
begitulah nasib orang yang suka makan hal yang haram. Jadi… sekarang siapa yang
masih merasa lapar?” tanya Abu Jail setelah mengakhiri ceritanya.
Kami
terdiam—tidak ada yang mengacungkan telunjuknya. Mata kami memancarkan sebuah
makna bahwa kenyang bukan sebuah tolok ukur untuk mengukur kesenangan, justru
lapar bisa jadi hal yang berkah.
“Baiklah…
masih mahu puasa sampai maghrib?”
“Mahu…!!!”
suara kami serempak, lalu Abu Jail mengajak kami untuk wudhu kerana waktu ashar
sudah tiba.
Rupanya,
cerita Abu Jail sudah banyak terjadi di dunia nyata. Banyak sekali orang-orang
sekarang makan semahunya, tidak bisa menahan rasa lapar hingga hidupnya
dihabiskan untuk mencari duit, bekerja siang dan malam untuk membuat
perut-perut mereka kenyang, untuk memuaskan keinginan mereka, tak peduli haram
dan halal. Bahkan, ketika bulan puasa tiba ada saja yang tidak berpuasa.
Mudah-mudahan, pembaca cerita ini dapat menahan rasa lapar dengan ikhlas, dan
bekerja sewajarnya, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert