SUSTER MEKA menatapku dengan tajam.
Seperti ingin mengulitiku diriku dengan kejam. Di tangannya beberapa kantong
plastik berisikan butiran-butiran obat, sementara gemuruh guntur mengiringi
langit mendung di luar kamar.
“Suster, apakah aku gila?”
Pertanyaan yang
mengagetkan suster Meka. Seketika wajahnya berubah seperti merasakan hal lain
dari pertanyaan itu. Aku masih saja duduk menatap ke arah jendela,
memperhatikan rintik gerimis berjatuhan ke atas daun-daun.
Apakah aku memang
benar-benar gila jika aku berada dalam rumah sakit jiwa dengan pasien yang
gila? Kini aku jadi balik bertanya kepada diriku sendiri. Memang tidak mudah
memeriksa dan merawat mereka yang terkadang di luar batas. Apalagi, ketika penyakitnya makin parah dan
membuat onar sehingga harus dikurung atau disetrum untuk sekadar meredakan
gejolak emosi mereka. Akan tetapi, ini adalah jawaban dari pertanyaanku mengapa
aku berada di tempat seperti ini.
“Dok, jika ada masalah.
Ceritakan padaku! Siapa tahu saya bisa bantu. Jangan menjadi pendiam. Saya juga
baru dapat kabar bahwa istri anda baik-baik saja.”
“Kenapa tidak langsung
mati saja dia? Aku tak tega melihat seluruh tubuhnya patah.”
Suster Meka tak
langsung menjawab. Ia malah meletakan beberapa kantong obat, lalu duduk
berhadapan denganku.
“Ceritakan saja!”
Aku melihat senyumnya
ketika ia berkata demikian. Senyum khas
seorang perempuan yang menyembunyikan sesuatu. Bisa saja seperti itu, karena
istriku perempuan dan ia sering sekali tersenyum untuk membuatku terdiam dan
mempercayainya. Namun,
aku
sudah tak mempercayainya lagi sejak ia diam-diam pergi berlibur dengan dokter
Sam, kawan lamaku semasa kuliah. Entah apa yang mereka lakukan di sana aku pun
tak tahu, yang pasti Cintya putri semata wayangku yang baru duduk di kelas dua
Sekolah Menengah Atas mengatakan demikian ketika aku pulang dari luar kota
setelah mengikuti serangkaian kegiatan dari rumah sakit jiwa di mana aku
bekerja.
“Dok, jangan menjadi
pendiam seperti ini. Lupakan kejadian tadi, ingat anda ini dokter spesialis
penyakit jiwa!”
Suster Meka mencoba
mengingatkanku, namun suaranya seperti cahaya kunang-kunang yang berterbangan
di gelap malam, hanya kelap-kelip di mata. Sungguh ucapan yang terdengar
samar-samar di telinga, entah apa namanya itu? Tubuhku tiba-tiba menggigil
ketika ia mengatakannya. Aku masuk ke dalam situasi yang tak terkendali.
Sungguh sebuah pengkhianatan yang tak pernah bisa dimaafkan. Selama hidup
bersama istriku, aku tak pernah sedikit pun tertarik dengan wanita lain. Aku
bekerja siang dan malam hanya untuk membuatnya bahagia dengan hasil yang aku
dapatkan agar ia tidak hidup sengsara bersamaku.
Selama delapan belas
tahun menikah kami tak pernah cekcok
dan selalu hidup rukun. Keluarga dariku dan darinya sangat menyayangi kami.
Bahkan tetangga-tetangga kami menyebut kami Keluarga Cemara. Keluarga harmonis
yang pernah menjadi tayangan favorit di salah satu stasiun televisi. Memang
kami selalu menjungjung tinggi asas saling menghargai dan bebas mengemukakan
pendapat dalam kehidupan sehari-hari. Aku tak pernah melarangnya untuk
melakukan kegiatan-kegiatan selama itu positif dan istriku pun demikian. Karena
itulah kami selalu bahagia setiap harinya.
“Dok, bicaralah!
Bukankah bicara adalah awal dari sebuah jawaban?”
Aku tahu itu, tapi
mulutku sudah tak bisa berkata apa-apa selain kata pengkhianat. Istriku sudah
berjanji untuk tidak bertemu lagi dengan Sam setelah menikah, tidak pernah sama
sekali. Sam itu lelaki brengsek di mataku. Semasa kuliah ia sering mengencani
mahasiswi-mahasiswi dan dicampakkan setelahnya. Entah kenapa istriku bisa
tertarik padanya dulu, padahal aku sudah mati-matian untuk mendapatkannya.
Walau pun aku dan Sam
satu kamar kos, tetapi kami selalu tak sependapat masalah cinta. Bagiku cinta
adalah tolok ukur kedewasaan, membuat manusia mengenali dirinya sendiri dan
juga orang lain. Cinta bisa menciptakan kedamaian dalam setiap kehidupan. Itu
yang aku rasakan ketika bersenda gurau dengannya di beranda kamar kos sebelum
Sam dan ia pergi untuk makan malam. Diam-diam aku jatuh hati kepadanya dan berniat
merebutnya dari Sam.
Wajah suster Meka
semakin serius menatapku. Kulit wajahnya terlihat mengencang. Suster yang setia
menemaniku dalam bertugas kapan pun dan dimana pun. Aku masih menatap wajahnya.
Seorang suster yang dimadu oleh
suaminya, namun ia sangat tabah dalam menjalankan kewajibannya sebagai istri
serta mengasuh anak-anaknya hingga mereka menjadi anak-anak yang menghargai
orang tuanya. Sepertinya ia tak ingin kehilangan suasana ini. Matanya seakan
memberikan kesempatan kepadaku untuk berbicara.
Aku duduk luruh di
depannya, dalam hati menangis. Mengapa istriku tidak setabah suster Meka?
Mengapa anakku tidak seperti anak-anaknya? Cintya, akhir-akhir ini jarang di
rumah semenjak mengenal Rudi, lelaki berandalan yang tergabung di genk motor. Mereka hampir setiap malam
berkumpul di jalan-jalan kota hanya untuk kebut-kebutan atau minum-minuman
keras. Bukan aku membiarkannya. Aku sudah berulang kali mendatangi tempat
mereka nongkrong dan memaksa Cintya untuk pulang. Bahkan beberapa kali aku
sempat menjemput Cintya di penjara karena terjaring oleh patroli dari polisi
kota. Alhasil, ia kabur dari rumah
bersama Rudi, dan istriku pun entah kapan pulang bersama Sam.
“Dok, jangan menangis!”
Suara lembut suster
Meka tidak membuatku
tenang. Entah benda apa yang terus bergemuruh dalam dada, kepalaku terasa
sangat berat. Ingin rasanya aku mengatakan bahwa aku sungguh merasa kehilangan
oleh rasa cinta. Mungkin bukan aku saja yang merasakan demikian. Tapi ini tak
bisa dimaafkan. Bukankah seorang istri harus menghargai rasa cinta suaminya?
Ataukah memang istriku sudah tak memiliki rasa cinta? Mengapa ia tidak berterus
terang saja kepadaku? Ingin rasanya aku teriak melepaskan segala kepedihan yang
semakin menusuk hatiku.
“Tenang dok, jangan
berteriak! Ceritakan saja!”
Aku menatap wajah
suster Meka berubah putih seperti mayat. Kecemasannya membuatku semakin ingin
menjerit dan memaki-maki. Tidak seharusnya ia cemas menatapku. Mengapa
kelembutannya tiba-tiba hilang. Ia memegangi tanganku dan berteriak-teriak memanggil
seseorang. Jangan-jangan ia memanggil Sam? Suster Meka juga mengenal dia,
lelaki yang membawa istriku kabur.
Pintu terbuka, aku
menatap orang-orang dengan seragam yang sama seperti yang aku kenakan. Mereka
menyergapku dan berusaha mengikat tanganku. Tentu saja aku berontak. Aku bukan
penjahat. Mengapa mereka mencoba mengikatku? Kulempari mereka dengan
benda-benda yang ada di atas meja. Sementara suster Meka hanya menatap di sudut
ruangan, wajahnya seperti wajah istriku ketika ia berada di atas gedung rumah
sakit. Murung dan ketakutan. Istriku yang berteriak mengancam akan bunuh diri
jika aku tak memaafkannya. Aku sudah sangat kecewa, tak mungkin kumaafkan
segala kesalahannya. Kudekati, namun tanganku dipegang sangat kencang oleh para
dokter dan suster. Mereka menasihatiku untuk sadar dan memaafkan istriku. Aku
terus berontak sekuat tenaga, berusaha mendekat ke arah istriku dan akhirnya
terlepas. Langsung kuhampiri istriku yang sudah ketakutan. Namun sebelum aku
sampai dan meraih tubuhnya ia terjun dengan suara jeritan yang memilukan. Entah
mengapa aku pun turut menjerit dan berusaha terjun menyusul istriku namun
suster Meka menahanku. Aku hanya menatap tubuh istriku terlentang di atas mobil
ambulance dengan alarm mobil yang terus saja berbunyi.
Air mata tak terasa
meleleh membasahi pipiku, rasa sesal tak bisa dipungkiri. Andai aku mengucapkan
kata untuk menerima permintaan maafnya tentu ia tak melakukan hal nekat ini.
Lambat laun kepalaku terasa ringan, mataku mulai melihat ke sekeliling.
Wajah-wajah dokter dan suster dengan keringat mengucur masih tampak cemas. Aku
baru menyadari kalau aku berada dalam ruangan dengan tangan terikat. Ruangan
yang berantakan seperti sudah terjadi keributan. Suster Meka menatap tajam di
sudut ruangan, kuhampiri dan berkata.
“Suster, apakah aku
gila?”
comment 0 komentar
more_vert