Cerpen ini telah dimuat di www.kawaca.com
KHAIRIL berlari
menyusuri jalan setapak setelah melompati pagar kayu dari jalan beraspal. Mobil
bis mini yang warna cat telah pudar itu melaju, suara ribut knalpot juga asap
hitam mengepul ketika sopir bis tancap gas di jalan menanjak, meninggalkan
Khairil yang terus berlari sekencang-kencangnya. Di sinilah seluruh dunia masa
remajanya itu, dia tidak peduli bis mini yang baru ditumpangi mogok di tanjakan.
Jalan perkampungan berbukit ini memang bukan tempat yang cocok untuk mengubah
diri menjadi kaya dan berpendidikan. Tapi, Khairil semakin tidak peduli, dia
rindu ibunya, makam ayahnya dan kisah-kisah kehidupan di masa silam telah
membawanya kembali.
“Ibu! Ibu!” teriak Khairil.
Sulastri terkejut. Sudah sekitar
sepuluh tahun dia tidak mendengar panggilan itu, hatinya berdebar-debar,
berbagai pertanyaan mulai menyergap pikiran. Dia menoleh ke arah suara, dilihat
oleh matanya, seorang lelaki, tinggi dengan rambut gondrong, berantakan. Dia
memakai kemeja kotak-kotak, celana levis,
menggendong tas berwarna hitam tersenyum kepadanya. Sulastri semakin terkejut,
dia seperti melihat suaminya ketika muda, mungkinkah dia hidup kembali.
“Aku pulang, Ibu!”
“Khairil?”
Seketika ada perasaan bahagia dalam
dada. Rasa yang sudah lama dia nantikan, hampir saja dia kehilangan perasaan
itu, hari-harinya sepi semenjak suaminya meninggal akibat penyakit TBC, dan
anaknya itu, lari dengan membawa mimpi-mimpi membuat dirinya merasa gagal
menjadi seorang ibu. Khairil tidak peduli dengan perasaan ibunya, dia berlari
kemudian memeluk Sulastri yang sudah terlihat renta.
“Anak kurang ajar! Turunkan Ibu!”
jerit Sulastri ketika Khairil mengangkat tubuhnya.
Kata-kata itu. Ya, kata-kata itu
sudah sangat lama dia tidak ucapkan. Rindu terobati dengan memaki anaknya yang
bengal itu. Khairil menurunkan ibunya, dia menatap dengan perasaan campur aduk,
tidak pernah dia merasakan hal seperti ini. Mungkin benar bahwa rindu memang
sangat berat untuk ditanggung.
“Itu yang kau pelajari di kota?
Sudah lupa kau dengan mencium tangan Ibumu?”
Khairil malah terkekeh, inilah yang
dia tunggu selama ini. Makian ibunya yang selalu ingin kembali ke sini.
Kemudian, dia meraih tangan ibunya, dan diciumi.
“Gila kau!” Sulastri segera
melepaskan tangannya.
“Ibu masak apa sekarang? Aku lapar.”
Sulastri tersenyum, kebahagiaannya
lengkap sekarang. Anaknya ternyata tidak berubah, matanya berkaca-kaca.
“Ayo pulang ke rumah!” ajak
Sulastri.
Khairil mengikuti Sulastri berjalan
meninggalkan pinggiran sawah peninggalan ayahnya.
“Tega kau membiarkan Ibu membawa
bakul itu?” Sulastri menunjuk bakul yang berisi mentimun hasil panen sore ini.
Khairil mengambil bakul yang terbuat
dari anyaman bambu. Dia mulai sadar bahwa selama ini ibunya hidup dengan
menanam sayuran, cabe, tomat dan apa saja yang bisa tumbuh dan dijual. Tanah
milik ayahnya tidak luas, ibunya memanfaatkan untuk bertahan hidup.
Mereka berjalan dengan diam,
merasakan kegembiraan masing-masing dalam dada, seolah kata-kata tak akan dapat
mewakili perasaan itu. Sementara langit mulai memerah, matahari terbenam dengan
perlahan, burung-burung berterbangan di langit, berduyun-duyun kembali ke
sarangnya.
Khairil seakan-akan telah menemukan
sumber kebahagiaan yang abadi, pikiran terasa segar, warna hijau di
sekelilingnya membuat dia merasa telah jauh dari kebisingan, dari waktu yang
terus mengejar. Kota memang sebuah tempat yang menyesatkan, namun dia menyadari
ketersesatan dirinya di kota telah membawa kepada sebuah perubahan. Labirin-labirin
kota memaksa dirinya menemukan sebuah jalan untuk kembali kepada ibunya. Ah,
mereka semakin terdiam meskipun malam sudah mulai mengisi langit yang merah,
menjadi hitam, bercahaya bintang.
“Bagaiama kuliahmu?” tanya Sulastri
memecah kesunyian malam.
Khairil memandang ibunya yang duduk
di hadapannya, di atas meja secangkir kopi mengepul dan sepiring singkong
rebus. Disaat seperti ini, dia merindukan ayahnya, bercerita tentang
burung-burung hutan yang semakin punah sehingga dia tidak pulang membawa hasil
berburu. Ayahnya memang senang berburu dengan senapan angin, dan kami
sekeluarga menyantap burung-burung hasil buruan itu di malam hari sebagai lauk
makan malam.
“Lulus dan mendapatkan gelar
sarjana,” jawab Khairil.
Sulastri menarik napas, ada rasa
lega dalam dirinya. Seorang janda miskin yang tak sanggup mewujudkan mimpi anak
semata wayang. Sementara Khairil merasa berdosa tak bisa memboyong ibunya ke
kota untuk melihat dirinya memakai toga dan menerima hasil kelulusan. Dia juga
terlalu miskin hidup di kota, uangnya hanya cukup bayar kontrakan, uang kuliah
dan makan sehari-hari meski terkadang menghutang ke warung. Hingga sekarang,
dia juga nyaris tidak mengirimkan uang kepada ibunya meskipun sudah mendapatkan
pekerjaan.
“Apa gelarnya?”
“Sarjana Sastra, Bu.”
“Untuk kerja dimana itu?” tanya Sulastri
menandakan ketidaktahuan akan dunia pendidikan..
“Dimana saja,” jawab Khairil agak
ragu.
“Mencangkul di sawah?”
“Bisa Bu.”
“Jauh-jauh kau tinggalkan Ibu hanya
untuk kuliah, tapi mencangkul juga di sawah. Ayahmu tidak pernah kuliah tapi
bisa mencangkul di sawah,” ucap Ibunya.
Khairil tersenyum, omelan ibunya
sudah muncul kembali, dan ini sangat menyenangkan baginya, menandakan ada
perasaan rindu yang tak bisa dijelaskan oleh ibunya kepada dirinya.
“Bagaimana kabar Rayati, Bu?”
Sulastri terdiam. Inilah yang dia
cemaskan ketika melihat Khairil pulang, kebahagiaannya seolah tersedot ke dalam
kegundahan membuat wajahnya pucat. Khairil melihat ibunya menjadi kikuk, dia
semakin penasaran. Rayati, adalah motivasi dirinya untuk kuliah dan bekerja di
kota, dia tidak ingin keluarganya dihina oleh keluarga ningrat Rayati. Ah,
perkampungan memang selalu berhubungan dengan kekayaan, masalah klasik. Di
kota, dia menyaksikan semua orang tidak peduli dengan kemewahan, mereka nyaris
tidak membahas tentang kasta.
“Bu, aku hanya ingin tahu kabar Rayati.
Itu saja.”
Sulastri tersadar, dia memang tidak
berhak menutupi apa yang terjadi selama Khairil meninggalkan kampung halaman,
segalanya telah berubah.
“Rayati menjadi gila, dia dikurung
di kandang kambing di belakang rumahnya. Pak Cokro sangat terpukul menerima
takdir itu.”
Khairil tersedak, singkong rebus di
dalam mulutnya dimuntahkan, Sulastri segera mengambilkan air minum. Seketika
pandangan Khairil kosong, harapan-harapan selama ini yang dipendam buyar, masa
lalu di kampungnya yang terpencil ini telah melahirkan kekuatan untuk kembali
pulang, menjadi laki-laki dewasa dan sanggup menantang kehidupan yang serba
tidak pasti. Namun, tatapan masa depan itu menjadi lorong yang hampa, perlahan
gelap gulita. Dia tidak bisa berpikir.
“Jangan kau sesali nasib kita ini.
Segalanya sudah berakhir, Ibu harap kau bangun masa depanmu dengan apa yang kau
miliki. Biarkan Ibu saja yang menanggung segala beban kemisikinan, kebodohan
dan kehinaan keluarga kita.”
Khairil masih terdiam. Dia masih
teringat bayang-bayang wajah Rayati ketika dia akan meninggalkan kampung dan
membuktikan bahwa dia akan kembali dengan perasaan yang sama. Tetapi, mengapa
harus gila? Mengapa bukan penyakit yang lain menyerang Rayati? Rencana apa lagi
yang akan dikabarkan oleh Tuhan itu? Sialan!
“Khairil, Khairil! Jangan kau
melamun!” Sulastri menggoyangkan pundak Khairil.
Pyar! Cahaya menampar wajah Khairil.
Perlahan dia menyadari bahwa inilah kenyataannya. Rayati menjadi gila.
Mungkinkah ini juga kesalahan dia? Karena meninggalkannya disaat pak Cokro
begitu keras menentang hubungan Rayati dan Khairil, sehingga dia merasakan
tekanan batin yang luar biasa, lalu kehilangan ingatan.
“Kenapa
dia bisa gila Bu?” tanya Khairil setelah tersadar.
“Sudahlah,
jangan kita bahas Rayati. Pergi tidur, Ibu tak ingin mengatakan apa-apa
tentangnya.”
Sulastri pergi ke kamarnya, dia tak
ingin rasa rindunya lenyap oleh cerita yang datang dari masa lalu, baginya
Khairil berada di rumah ini lagi adalah sebuah doa yang terkabulkan. Sementar
itu, Khairil terdiam memandang ke sekeliling rumahnya yang reyot. Tak ada yang
berubah, semua sama seperti terakhir dia tinggalkan. Pikirannya terus tertuju
kepada sosok perempuan yang dia sangat cintai selain ibunya.
“Rayati, aku telah berada di sini
sesuai janjiku,” ucapnya.
Angin malam menerpa bilik rumah
Khairil, berdenyit, semakin lama terasa dingin lalu membawa basah dari langit,
gerimis yang hening. Langit berwarna kelam, sesekali kilat menyambar, terang
warna langit lalu hitam, gulita. Gerimis perlahan berubah menjadi hujan yang
rapat, menerpa genting-genting rumah, daun-daun dan apa saja. Di kandang,
kambing-kambing saling merapatkan tubuh. Bulu yang tebal belum dapat melawan
cuaca yang dingin.
Di sebelah kandang kambing, sebuah
gubuk berukuran dua meter terlihat begitu rawan menahan air hujan dan dingin
malam. Angin, menggoyahkan gubuk itu, namun tidak sampai rubuh. Rayati
terkelungkup, matanya memandang langit dan sesekali tersenyum ketika melihat
kilatan cahaya petir di sana, seolah dia tengah menemukan cahaya yang selama
ini diidamkan.
“Lebih baik mati,” gumam Rayati.
Kemudian dia semakin menelungkupkan
badan, tangannya meremas-remas kepala, rambut yang hitam panjang dan lebat itu
semakin semerawut. Seperti ada lebah yang berkerumun dalam kepalanya, Rayati
merasakan berisik dan berat dalam kepala. Suara petir dan dingin tidak membuat
takut dan menggigil, hanya kepalanya yang terus saja ribut. Peristiwa-peristiwa
bermunculan dalam kepala, dia ingin menghentikan, ingin melupakan tetapi
semakin dia menghindar semakin nyata terlihat gambaran itu. Sebuah peristiwa
yang menyakitkan.
“Tolong! Tolong!” teriaknya.
Tak ada yang menghampiri. Suasana
sangat sepi, semua orang seolah terhayut oleh kedamaian kampung, nyaris tak ada
yang berteriak minta tolong sepanjang kampung ini ada. Minto menyeringai,
wajahnya memerah, dia sudah telanjang dada semenjak menjadi gila akibat gagal
kawin, dan kerjaannya selalu mengganggu gadis-gadis kampung, hari ini dia lepas
dari kurungan bapaknya di rumah.
“Toloooong!”
Rayati tidak sanggup melepaskan
genggaman tangan Minto yang sudah kesetanan melihat tubuh Rayati yang montok
dan segar, tubuh bersih wanita kampung itu digagahi berulang-ulang oleh Minto,
seorang pemuda gila karena gagal kawin. Rayati mengerang, antara kesakitan,
ketidakberdayaan dan birahi. Dia tak sanggup memegang teguh janji suci terhadap
kekasih yang selalu tersimpan dalam hati.
“Lebih baik mati!”
Pyar!
Kilat menyambar, langit terang
benderang. Hujan mengguyur dengan sangat deras, semakin deras seperti pikiran
Rayati yang semakin kacau. Dia sadar dan selalu teringat peristiwa yang
menyakitkan itu, tapi dia merasa tidak sadar mengapa kepalanya selalu merasakan
pusing dan sakit. Rayati menjerit, suaranya melengking bercampur dengan gemuruh
guntur dan bunyi hujan. Dia menelungkup di dalam gubuk samping kandang kambing.
“Tol.. tolo tolong.”
Suaranya melemah dan seluruh
tubuhnya nyeri. Minto bangkit meninggalkan Rayati yang tergeletak di tepi
bukit, dia meninggalkan celananya, berjalan ke tengah kampung dengan telanjang
bulat, sambil tertawa-tawa gembira. Anak-anak kecil yang menyaksikan itu
cekikikan tertawa, lalu meledek Minto.
“Orang gila, orang gila, orang
gila!”
Orang-orang dewasa yang melihat kejadian
itu tertawa terpingkal-pingkal, tanpa mereka sadar di tepi bukit ada seorang
gadis yang menangis tersedu-sedu tanpa daya. Sekujur tubuh Rayati gemetar, dia
menggigil seolah merasakan kejadian-kejadian itu hadir kembali malam ini di
dalam derasnya hujan. Memang begitulah setiap malam, dia selalu terjaga,
menjerit, merintih, mengerang seolah merasakan kesakitan yang sangat berat,
hingga pagi tiba. Dia hanya tergeletak tak berdaya di dalam gubuk reyot itu.
Khairil berlari keluar rumah,
wajahnya sangat marah dan hatinya bergejolak, tangannya mengepal, dia ingin
meninju matahari yang bersinar pagi ini setelah hujan semalam. Burung-burung
berlompatan di dahan, daun bergoyang dan air embun jatuh. Sulastri memandang
dari jendela, wajahnya sedih. Anaknya kini telah jauh berubah. Masih terngiang
di telinganya ketika dia pamit.
“Ibu, aku akan ke rumah Rayati untuk
menikahinya.”
Khairil semakin jauh, dia menuju
rumah pak Cokro, perlahan menghilang dari pandangan Sulastri.
“Inikah pendidikan yang kau dapat
dari kota, Khairil?” gumamnya.
2018
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert