MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Asmara : Bagian Keenam



Mataku memandang wajah papah, mencari-cari tanda apakah ini hanya bercanda atau serius. Tapi, wajah papah sangat serius, dia tidak menyembunyikan apa-apa.
            “Tapi…”
            “Papah udah siapkan semuanya,” papah memotong ucapanku.
            “Tapi aku senang dengan sastra Pah, aku ingin belajar banyak tentang sastra Indonesia.”
            “Sastra Indonesia?”
            “Iya Pah…”
            Papah dan mamah saling pandang—mungkin dia bingung dengan tujuanku ini, sementara aku menunggu reaksi dari papah.
            “Bukannya fakultas ekonomi, keuangan dan lainnya lebih menjanjikan daripada sastra? Lagipula, perusahaan mana yang akan menerima lulusan sastra?”
            “Aku tidak berniat untuk menjadi pegawai kantoran,” jawabku.
            “Lalu? Kamu mau menjadi penyair? Yang senangnya mabuk, ngomongin Tuhan dan melacur dijalanan?”
            “Tidak semua penyair seperti itu? Dan… aku juga tidak berniat menjadi penyair, aku ingin belajar tentang budaya Indonesia, menulis tentang Indonesia, dan hidup di Indonesia.”
            “Kamu aneh! Sok iBungalis!” Papah mulai sinis.
            “Pah… tolong jangan paksa aku untuk hal ini. Aku ingin menjadi diri sendiri, aku hanya butuh dukungan.”
            Papah diam sejenak, sepertinya dia menahan amarah dalam dadanya. Aku sadar pilihanku ini berat, sebab tidak pernah terdengar olehku ahli-ahli sastra yang menjadi jutawan atau hartawan. Mereka hanya bisa menjadi guru, penulis atau seniman. Itupun jika mereka kreatif, jika tidak mereka hanya terjebak dalam angan-angan semata dan menjadi buruh.
            “Papah kecewa. Papah sangat kecewa…,” papah bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi meninggalkan aku.
            Mamah diam, memandang wajahku. Ada air mata yang menetes dari kelopak mata, dan jatuh ke pipi. Keributan ini tidak pernah terjadi sebelumnya, aku tak pernah menentang keinginan keluarga, namun aku merasa bahwa bakatku ada di situ, aku ingin menggapinya tanpa harus mengorbankannya terlebih dahulu. Justru aku ingin meraihnya dengan sebuah perjuangan.
            “Mamah sudah duga, kamu pasti tidak setuju.”
            “Mah… aku tidak bermaksud menjadi anak durhaka. Tapi… aku senang dengan pelajaran bahasa Indonesia. Aku senang membaca, aku senang budaya, aku senang musik. Tolong bantu aku jelaskan kepada Papah!”
            Mamah tampak bingung dengan ambisiku ini. Dia terlihat lemah, seorang perempuan yang tak pernah menentang suaminya, kini harus berhadapan dengan suaminya demi anaknya, demi sebuah harapan dari anaknya, yang hanya satu-satunya.
            “Apakah tidak ada cara lain?” tanya mamah.
            “Nggak ada Mah. Aku akan mengikuti tes masuk di Universitas Indonesia, aku ingin kuliah sastra Indonesia di sana,” jawabku.
            Mamah bangkit dari tempat duduknya, dia melangkah meninggalkan aku. Mungkinkah mamah akan membantuku? Atau sebaliknya? Tidak pernah ada yang tahu apa yang terjadi di hari esok.
            Bel pintu berbunyi. Menyadarkan aku dari ketegangan yang memuncak. Siapa yang datang di malam hari seperti ini? Aku bangkit dan menghampiri pintu, mungkin seseorang yang ingin bertemu papah.
            Pintu dibuka, Rian berdiri menatapku.
            “Mau apa kamu kemari?” tanyaku ketus.
            “Aku…”
            “Sudahlah Rian, aku tidak ingin lagi membahas masalah kita. Bagiku semuanya sudah berakhir!”
            Rian diam sejenak—wajahnya masih terlihat lebam akibat berkelahi dengan Raka, dia memandangku dengan sendu.
            “Bisa kita bicara secara dewasa?” tanya Rian.
            Aku terkejut dengan pertanyaannya, Rian begitu tenang.
            “Maksdumu?”
            Rian menarik napas panjang. “Aku sadar, bahwa semuanya adalah salahku. Dan kamu sudah sangat kecewa padaku. Namun, aku ingin memastikan, apakah kamu serius ingin meninggalkanku?” tanyanya.
            Tak bisa dipungkiri bahwa Rian telah lama mengisi isi hatiku. Dia seorang cowok yang mengerti akan semuanya tentang diriku, walaupun sedikit berandalan, justru itu yang aku suka. Akan tetapi, selingkuh bukan hal yang paling bisa aku maafkan, aku tidak ingin dikhianati oleh seorang cowok.
            “Aku sudah memutuskan Rian. Aku telah mengakhiri semuanya denganmu, kita hidup masing-masing. Menggapai impian masing-masing, biarkan aku melangkah sendiri, tanpa ada bayang-bayang kamu, tanpa ada rasa sakit hati dan menyakiti, kita sudah harus berpikir jauh ke depan, kita bukan remaja yang baru mengenal cinta. Tapi, sudah seharusnya kita menjadi remaja yang dewasa,” kataku.
            “Ijinkan aku menciummu untuk terakhir kalinya!”
            Aku terperangah mendengar ucapan Rian. Namun, sebelum aku menjawab, Rian sudah berdiri di depanku dan mencium bibirku, ciuman yang sangat hangat dan bernafsu. Aku tak tahu, apakah ini wujud dari rasa cintanya, atau bukan. Namun, aku merasakan kenikmatan itu, aku merasakannya.

Sumber foto dari google

Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893