Mataku
memandang wajah papah, mencari-cari tanda apakah ini hanya bercanda atau
serius. Tapi, wajah papah sangat serius, dia tidak menyembunyikan apa-apa.
“Tapi…”
“Papah udah siapkan semuanya,” papah
memotong ucapanku.
“Tapi aku senang dengan sastra Pah,
aku ingin belajar banyak tentang sastra Indonesia.”
“Sastra Indonesia?”
“Iya Pah…”
Papah dan mamah saling
pandang—mungkin dia bingung dengan tujuanku ini, sementara aku menunggu reaksi
dari papah.
“Bukannya fakultas ekonomi, keuangan
dan lainnya lebih menjanjikan daripada sastra? Lagipula, perusahaan mana yang
akan menerima lulusan sastra?”
“Aku tidak berniat untuk menjadi
pegawai kantoran,” jawabku.
“Lalu? Kamu mau menjadi penyair?
Yang senangnya mabuk, ngomongin Tuhan dan melacur dijalanan?”
“Tidak semua penyair seperti itu?
Dan… aku juga tidak berniat menjadi penyair, aku ingin belajar tentang budaya
Indonesia, menulis tentang Indonesia, dan hidup di Indonesia.”
“Kamu aneh! Sok iBungalis!” Papah
mulai sinis.
“Pah… tolong jangan paksa aku untuk
hal ini. Aku ingin menjadi diri sendiri, aku hanya butuh dukungan.”
Papah diam sejenak, sepertinya dia
menahan amarah dalam dadanya. Aku sadar pilihanku ini berat, sebab tidak pernah
terdengar olehku ahli-ahli sastra yang menjadi jutawan atau hartawan. Mereka
hanya bisa menjadi guru, penulis atau seniman. Itupun jika mereka kreatif, jika
tidak mereka hanya terjebak dalam angan-angan semata dan menjadi buruh.
“Papah kecewa. Papah sangat
kecewa…,” papah bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi meninggalkan aku.
Mamah diam, memandang wajahku. Ada
air mata yang menetes dari kelopak mata, dan jatuh ke pipi. Keributan ini tidak
pernah terjadi sebelumnya, aku tak pernah menentang keinginan keluarga, namun
aku merasa bahwa bakatku ada di situ, aku ingin menggapinya tanpa harus mengorbankannya
terlebih dahulu. Justru aku ingin meraihnya dengan sebuah perjuangan.
“Mamah sudah duga, kamu pasti tidak
setuju.”
“Mah… aku tidak bermaksud menjadi
anak durhaka. Tapi… aku senang dengan pelajaran bahasa Indonesia. Aku senang
membaca, aku senang budaya, aku senang musik. Tolong bantu aku jelaskan kepada
Papah!”
Mamah tampak bingung dengan ambisiku
ini. Dia terlihat lemah, seorang perempuan yang tak pernah menentang suaminya,
kini harus berhadapan dengan suaminya demi anaknya, demi sebuah harapan dari
anaknya, yang hanya satu-satunya.
“Apakah tidak ada cara lain?” tanya
mamah.
“Nggak ada Mah. Aku akan mengikuti
tes masuk di Universitas Indonesia, aku ingin kuliah sastra Indonesia di sana,”
jawabku.
Mamah bangkit dari tempat duduknya,
dia melangkah meninggalkan aku. Mungkinkah mamah akan membantuku? Atau
sebaliknya? Tidak pernah ada yang tahu apa yang terjadi di hari esok.
Bel pintu berbunyi. Menyadarkan aku
dari ketegangan yang memuncak. Siapa yang datang di malam hari seperti ini? Aku
bangkit dan menghampiri pintu, mungkin seseorang yang ingin bertemu papah.
Pintu dibuka, Rian berdiri
menatapku.
“Mau apa kamu kemari?” tanyaku
ketus.
“Aku…”
“Sudahlah Rian, aku tidak ingin lagi
membahas masalah kita. Bagiku semuanya sudah berakhir!”
Rian diam sejenak—wajahnya masih
terlihat lebam akibat berkelahi dengan Raka, dia memandangku dengan sendu.
“Bisa kita bicara secara dewasa?”
tanya Rian.
Aku terkejut dengan pertanyaannya,
Rian begitu tenang.
“Maksdumu?”
Rian menarik napas panjang. “Aku
sadar, bahwa semuanya adalah salahku. Dan kamu sudah sangat kecewa padaku.
Namun, aku ingin memastikan, apakah kamu serius ingin meninggalkanku?”
tanyanya.
Tak bisa dipungkiri bahwa Rian telah
lama mengisi isi hatiku. Dia seorang cowok yang mengerti akan semuanya tentang
diriku, walaupun sedikit berandalan, justru itu yang aku suka. Akan tetapi,
selingkuh bukan hal yang paling bisa aku maafkan, aku tidak ingin dikhianati
oleh seorang cowok.
“Aku sudah memutuskan Rian. Aku
telah mengakhiri semuanya denganmu, kita hidup masing-masing. Menggapai impian
masing-masing, biarkan aku melangkah sendiri, tanpa ada bayang-bayang kamu,
tanpa ada rasa sakit hati dan menyakiti, kita sudah harus berpikir jauh ke
depan, kita bukan remaja yang baru mengenal cinta. Tapi, sudah seharusnya kita
menjadi remaja yang dewasa,” kataku.
“Ijinkan aku menciummu untuk
terakhir kalinya!”
Aku terperangah mendengar ucapan
Rian. Namun, sebelum aku menjawab, Rian sudah berdiri di depanku dan mencium
bibirku, ciuman yang sangat hangat dan bernafsu. Aku tak tahu, apakah ini wujud
dari rasa cintanya, atau bukan. Namun, aku merasakan kenikmatan itu, aku
merasakannya.
Sumber foto dari google
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert