MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

'Kampung' Puisi di Situs Online



Nana Sastrawan
Puisi yang baik kerap lahir dari penyair sejati. Ya, penyair sejati. Ia tidak akan terburu-buru menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam puisi. Setiap objek yang dilihat, dirasa, dijalani, diketahui masuk ke ruang pikir yang dalam, lalu, diramu hingga mencapai titik maksimal. Jadilah puisi yang sebenar-benarnya puisi: menggugah dan inspiratif. Kesejatian yang mengalir dalam tubuh penyair pun tidak bisa dikatakan mudah didapat. Sebut saja Chairil Anwar dan Rendra, sekadar merujuk dua nama. Bagaimana perjalanan kepenyairannya membentuk sikap yang sejati, sehingga karya-karyanya berkualitas dan fenomenal.
Baru-baru ini, dunia sastra digegerkan oleh orang-orang yang menyebut diri sebagai penyair atau mengatasnamakan diri penyair. Berbeda dengan Chairil dan Rendra yang lahir dari kedalaman wawasan dan kesadaran kemanusiaan, menggelandang ikut merasakan derita dan kesengsaraan hidup orang-orang marjinal, maka capaiannya melalui proses yang panjang. Mereka yang menyebut penyair atau ingin disebut penyair, datang dari kalangan birokrat, pengusaha sukses, tukang survei, politikus, pejabat atau hartawan. Mereka juga membuat gerakan sastra yang bersifat nasional hingga internasional. Dengan kesadaran yang mereka sebut sebagai ilmuwan sastra, mereka merasa menemukan jenis puisi baru. Entah. Secara pribadi ini membingungkan. Hanya lantaran ingin dibaptis penyair, mereka rela menghabiskan uang ratusan juta, bahkan miliaran. Padahal, penyair besar pun, di negeri ini, masih sulit hidup layak dari puisinya sendiri.
Tidak hanya itu. Seiring perkembangan teknologi, puisi seolah-olah menjadi naik level. Puisi yang tadinya hanya berupa buku-buku stensilan di era 1970-an, tiba-tiba menjadi buku-buku yang elegan dengan desain yang menarik selepas tahun 2000-an. Bahkan, kemudian menjadi buku-buku puisi elektronik yang mudah diakses berbagai kalangan. Perkembangan buku-buku puisi itu disebabkan oleh komunitas sastra yang tumbuh pesat pasca-reformasi. Penyair bermunculan, seperti rombongan pertapa turun gunung. Mereka mengadakan kegiatan-kegiatan sastra, menyelenggarakan pembacaan dan bengkel menulis puisi, membuat buku antologi puisi bersama. Puisi semarak tidak hanya riuh di luar jaringan (luring) melainkan juga dalam jaringan (daring). Kehebohan kegiatan sastra tak terbendung. Meskipun demikian, apakah dari kemeriahan itu lahir karya-karya besar; lahir pula penyair-penyair sejati?
Ya. Sekadar nama dengan karya picisan akan sangat memalukan. Karya picisan yang lahir dari nama yang tak memiliki kompetensi sastra bukanlah prestasi yang membanggakan. Rumornya, buku-buku antologi puisi bersama yang lahir dari komunitas-komunitas sastra, situs-situs dalam jaringan sastra tidak terkurasi dengan baik, cenderung sepihak, disebabkan riwayat kedekatan penyairnya dengan pengelola komunitas dan situs itu sendiri. Lomba-lomba cipta puisi yang sering mewarnai dunia sastra tak terhindar dari rumor yang sama. Sungguh mengherankan. Di saat kita mengupayakan kehidupan yang jauh dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, para penyair malah berkhianat terhadap ideologinya sendiri yang mengedepankan asas kebenaran dan kejujuran. Tentu saja kita tidak perlu buru-buru percaya terhadap pernyataan ini. Masih banyak harapan dan hal yang baik dalam eforia sastra yang terjadi sekarang ini. Masih banyak komunitas dan situs-situs sastra yang dikelola dengan kesadaran pada integritas mengedepankan kualitas karya di atas segala-segalanya.
Bolehlah harapan itu muncul pada www.litera.co.id. Situs sastra yang dikomandani Ahmadun Yosi Herfanda, 27 Juli 2018 telah memberikan anugerah litera yang kedua kalinya kepada para penulis yang karyanya dimuat di situs tersebut. Ada dua kategori penghargaan, yaitu penghargaan untuk puisi dan cerpen. Puisi dan cerpen yang terpilih, baik sebagai nomine maupun pemenang karya terbaik, dibukukan dalam satu buku berjudul Monolog di Penjara, diambil dari judul cerpen karya Armin Bell asal Flores. Buku tersebut dibagikan secara cuma-cuma dalam acara yang digelar di Resto Anggrek, Tangerang Selatan.
Dalam pengantarnya yang diberi judul “Menghadang Anarkisme Estetik,” Ahmadun Yosi Herfanda sebagai Pimpinan Redaksi, menyatakan beberapa hal berikut:
Tujuan pemberian penghargaan sastra ini, antara lain, untuk mendukung Gerakan Literasi Nasional (GLN), mempercepat peningkatan kualitas literasi masyarakat, serta mendorong kreativitas dan produktivitas penulisan karya sastra. Lebih dari itu, dengan memanfaatkan media daring (online) sebagai media publikasi karya sastra dengan sistem seleksi yang cukup ketat, kami bermaksud untuk membudayakan tradisi kurasi (seleksi karya) yang sehat bagi karya-karya sastra yang ditayangkan di internet. Hal ini untuk mencegah, setidaknya mengerem, kecenderungan “anarkisme estetik” di media daring akibat “kesembarangan” (tanpa seleksi) dalam menanyangkan karya sastra.

Membaca pernyataan tersebut, jelas ada kegelisahan yang menghantui para penyair dan pelaku sastra dengan semaraknya dunia perpuisian. Puisi yang mestinya hadir sebagai penyejuk jiwa, berubah menjadi badai yang menakutkan, menyerang dan memporakporandakan pikiran-pikiran yang lurus. Tidak hanya itu, puisi menjadi alat politik terselubung untuk kekuasaan yang diyakini oleh penyair dan pelaku sastra itu sendiri.
Keberadaan situs yang berbasis karya sastra jenis puisi ini perlu diakui sebagai media lain bagi penyair untuk memunculkan karyanya dengan harapan karya itu dibaca para warga net yang semakin membludak. Internet memang mudah diakses di era milenia. Setiap ponsel dilengkapi dengan fasilitas akses internet. Dengan uang lima ribu rupiah, ponsel yang dimiliki seseorang dapat memanfaatkan jaringan internet. Apalagi di berbagai tempat umum atau perkantoran, bahkan juga di rumah-rumah, telah dipasang alat untuk akses jejaring internet. Tentu saja ini kabar baik untuk kemajuan sastra di Indonesia.
Dengan kemajuan itu, para penyair muda akan semakin produktif menulis puisi dan mengunggahnya. Maka tidak heran jika situs sastra banyak dipilih oleh mereka yang haus akan publikasi dan ingin mendapat pengakuan dari masyarakat. Para kurator di portal sastra litera Mustafa Ismail, Iwan Kurniawan, Mahrus Prihany memberikan keterangannya di dalam buku itu dengan judul “Penjelajahan Sastrawan Muda”. Berikut saya kutip sebagian:
Ini bukan sekadar angka statistik, tapi mempermaklumkan sesuatu yang sangat penting bahwa sastra Indonesia ternyata terus tumbuh. Kekhawatiran sebagian pengamat sastra dan sastrawan senior bahwa sastra Indonesia mandek dan tak melahirkan generasi baru telah dijawab oleh para pengarang muda ini. Ini kabar baik bagi sastra Indonesia.
Portal Sastra Litera (Litera.co.id) telah melakukan seleksi yang cukup untuk menemukan karya-karya layak muat. Dari ratusan puisi dan puluhan cerpen yang kami seleksi untuk anugerah ini, kami tidak banyak menemukan karya di bawah standar estetika sastra. Meski seleksi Litera cukup longgar, namun karya-karya yang mereka muat masih bisa tergolong bermutu.

Pernyataan dari dewan kurator itu tentu saja membuat hati tergelitik ingin menengok karya-karya yang dimuat dalam antologi itu, apalagi ada puisi dan cerpen terbaik. Apakah karya-karya tersebut memiliki kualitas yang tak diragukan? Simaklah pernyataan dewan kurator di bahwa ini:
Kami perlu menggarisbawahi bahwa karya-karya pilihan ini kami anggap memberikan kesegaran baru. Untuk puisi, kesegaran itu ada pada tema, gagasan simbol, diksi hingga cara bertutur. Tentu tak kalah penting adalah kedalaman dan intensitas pengungkapan dan penuturan itu sendiri.
Memang tidak mudah untuk mencari puisi-puisi yang benar-benar segar dalam segala hal. Tapi, minimal karya itu memiliki kesegaran dalam salah satu hal, entah itu tema, diksi, simbol atau cara ungkap dan pengungkapannya mendalam. Kami ingin mengajak para penyair (muda) ini untuk menjadi diri sendiri dan mencari kemungkinkan-kemungkinan estetika baru, tanpa bergantung pada penyair sebelumnya.

Bukankah pernyataan itu sungguh menarik? Saya pun tergelitik ingin membaca puisi-puisi yang berada di dalam buku itu. Puisi memang sesuatu yang berbeda. Puisi memiliki ruang yang sempit, tetapi memiliki peluang yang luas penafsirannya. Itulah dunia puisi.
Ada 20 puisi dari 14 penyair yang terpilih dalam buku itu, menurut kurator sekitar 108 puisi yang ditemukan sepanjang tahun 2017. Sungguh ke-14 penyair itu beruntung jika memang dikurasi dengan sangat teliti dan ketat.
Siapakah keempat belas penyair itu? Mari kita simak. Tentu kita pun dapat mempelajari puisi tersebut secara keilmuan. Saya pernah berdiskusi tentang puisi bersama Handoko F Zainsam dan Abah Yoyok. Kesimpulannya: puisi memiliki rasa bahasa dan bahasa rasa. Apakah makna kedua istilah itu? Rasa bahasa berkaitan dengan komponen keilmuan bahasa, bersumber pada tata bahasa dan gaya bahasa. Ia juga berhubungan dengan teori pembelajaran bahasa. Sedangkan bahasa rasa, bersumber pada budaya, tafsir, dan pengungkapan.
Dalam buku Jalan Puisi: Dari Nusantara ke Negeri Poci (hlm. 193), Maman S Mahayana menulis, bahwa puisi adalah puisi. Pernyataan itu didasari pada gagasan kelompok kritik sastra baru Amerika dengan semangat menawarkan kajian sastra yang lebih baru dengan metode sistematik dan objektif. Teks puisi sebagai contoh kasus. Bagi aliran kritik sastra baru, faktor-faktor eksternal di luar teks, harus diabaikan lantaran titik tumpu analisis atas karya sastra tidak lain adalah teks. Teks puisi menjadi pilihan, karena dianggap relatif bebas dari latar belakang sejarah, biografi, dan tradisi kesusastraannya. Tentu saja yang dimaksud Mahayana ‘Puisi adalah Puisi’ bukan sebagai usaha main-main. Justru sebaliknya. Rumusan itu mengisyaratkan pentingnya puisi diberi ruang kebebasan menghamparkan medan tafsir untuk dimaknai, dan bukan dikerangkeng dalam satu kotak yang berupa definisi. Jadi, rumusan itu di belakangnya ada argumen panjang, bahkan juga punya akar sosiologis, filosofis, atau ideologis.
Atas percakapan pendek itu, saya berusaha mendedah puisi-puisi pilihan yang terbit di portal sastra Litera dengan sudut pandang berbeda. Boleh jadi, setelah saya membongkarnya, para pembaca punya penafsiran dan perspektif lain.
Alex R. Nainggolan, penyair kelahiran Jakarta mengawalinya dengan karya berjudul “Longitude, Lattittude” (hlm. 17). Apa maksud judul itu? Longitude adalah garis membujur yang menghubungkan antara sisi utara dan sisi selatan bumi, sedangkan lattitude adalah garis melintang di antara kutub utara dan kutub selatan, yang menghubungkan antara sisi timur dan bagian barat bumi. Simaklah puisinya!
mestinya selalu kuhampiri dirimu, setiap senja, tapi alamat
dirimu, selalu gagal untuk diberikan tanda. maka aku
tentukan kordinat derajat, mencarimu. supaya kenangan
tidak menjelma jadi banjir bandang yang besar. supaya
masih ada catatan dari percakapan kita, meskipun hujan
turun sepanjang hari dan cahaya kota semakin kecil.
mendadak alamat dirimu yang jauh terganti dalam sejumlah
angka, yang mesti ditafsirkan oleh mesin pencarian dari
data jaringan, ah, apakah betul engkau di sana? bersusah
payah menulis puisi dan menyibak masa kanak yang tak
pernah tanak dalam otak. Lalu aku akan berselancar lagi,
menempukan setiap serpih, berupaya untuk menyingkirkan
segala pedih.

bagaimana jika aku yang akan tandang? lalu kita bertahan
di suatu tempat sekadar menyimpan semua luka, menikmati
bising kota dan cuaca yang sekejap berubah jadi cemeti.
berupa duri di tenggorokanmu.

Puisi yang teduh untuk mengantar pembaca ke puisi-puisi berikutnya. Puisi ini coba mengungkapkan, bagaimana si penyair menyampaikan keresahannya. Dia seolah jadi objek dalam puisi itu sendiri; membuat dirinya merasa sepi, terluka dan merindu. Kemudian, dengan susah-payah dia ingin mengobati kerinduannya itu dengan terus mencari meskipun sadar, bahwa dia akan terluka. Saya curiga, kehidupan Ibukota membentuk penyair menginginkan kesunyian. Bukankah terlalu sering, keramaian dan kebisingan membuat kita jengah, lalu merasa muak?
Terasa puisi ini begitu liris. Ekspresi perasaan tergambar melalui pilihan diksi. Seolah-olah kata-kata itu telah tersusun rapi dalam kepala dan sering diucapkan. Puisi ini begitu deras meluncur menghujani pikiran pembaca. Namun, pilihan tipografi agak mengganggu. Kita mengalami kesulitan untuk menemukan irama dan rima, sehingga usaha pemahaman makna terlintas begitu saja tanpa membekas. Situasi itu terasa berbeda ketika kita berhadapan dengan puisi Armen S Doang. Penyair yang juga kelahiran Jakarta dan kini tinggal di Bekasi saat ini, menampilkan bentuk tipografi yang lazim, sebagaimana tampak pada puisinya yang berjudul “Palung Ingatan” (hlm. 18). Mari kita baca bersama puisi tersebut!
selalu ada yang datang dan hilang
yang singgah adalah ingatan
menjelma almanak tergantung di dinding ruang
menyerupai hari yang kucari di penghujung bulan
dalam tanggal tanggal waktu bertalu
mengikuti irama ketukan palu
mengantarkan pada sebidang tanah lapang
di palung kenang paling dalam
kujumpai sejuta keriangan melompat serta berlari
mereka bertemu senyum di bawah kibar kebebasan
hingga petang naik ranjang
ibu memanggil pulang dengan kecupan
sebagai isyarat menutup halaman
semua lenyap dalam pikiran
aku kembali pulang setelah
meneguk rasa asam peradaban
dalam gelas zaman yang berkeringat
bekas hujan yang hilang semalam

Puisi ini selangkah berhasil dalam membentuk irama. Penyair merenungkan segala peristiwa yang hinggap bertubi-tubi dalam ingatan. Meskipun dua puisi dari penyair yang berbeda itu memiliki tema yang hampir mirip, keberhasilan puisi tentu saja bukan semata-mata jatuh pada tema, melainkan bagaimana menuangkannya dalam kata-kata sehingga bahasa yang disampaikan menunjukkan kekhasannya sendiri.
Kini mari kita periksa puisi karya Eddy Pranata PNP. Penyair yang kesehariannya bekerja di Cilacap, berbeda dengan dua penyair sebelumnya. Ada dua puisi dari penyair ini yang lolos kurasi dan ikut tergabung dalam buku ini, yaitu “Mematangkan Gemericik Usia” dan puisi “Menghilir Sesayat Sunyi” (hlm. 19—21). Simaklah puisinya berikut ini.
Bila suatu saat engkau pergi jauh ke pelosok desa
Dan melihat seorang lelaki bertelanjang dada
Tengah memecah batu di Sungai Cirebah
Lupakanlah. Anggap saja engkau tidak pernah melihat
Seorang pemecah batu itu.
Lalu segeralah engkau pergi ke kota yang di sisi selatannya
adalah Laut yang menghampar
Di pantai yang senyap dengan karang-karangnya
yang serupa geraham
akan kutemui seorang lelaki pemintal ombak
Temuilah. Dari legam kulit tubuhnya akan berlombatan
kata-kata serupa puisi.
Engkau boleh saja memungut kata-kata itu bila suka
Atau bila engkau justru muak karenanya
Segeralah menjauh. Menjauh saja

Atau biarkan aku jadi pemecah batu
Sepanjang sungai di kampungku. Sepanjang hidupku
Sendiri. Telah kubangun rumah kecil di pinggir sungai
Rumah kayu dengan atap rumbia
Tanpa dinding dan tanpa pagar
Aku biarkan angin menembus dari segala arah
Siapa pun boleh bertandang kapan saja
Tapi jangan sekali-kali kaubawakan aku bunga
Aku lebih suka bila kauberi sepotong senja
Sepotong senja yang jatuh dari langit gerimis
Atau biarkan aku sendiri selamanya
Menjauhi hiruk-pikiu kotamu
Debur ombak lautmu
Biarkan aku jadi pemecah batu. Sendiri
Mematangkan gemericik usia
Sepanjang sungai di kampungku.

Puisi ini mengungkapkan sebuah potret kehidupan yang jauh dari ingar-bingar Ibukota. Ada nada protes yang tersembunyi, seolah ingin mengabarkan kehidupan masyarakat pekerja kasar, dan mereka sendiri menikmati pekerjaannya. Tetapi bisa saja mereka terpaksa sebab tak ada pilihan lain. Puisi itu juga mengingatkan saya pada puisi pamflet yang satiris dengan pesan yang gamblang.
Dalam puisi keduanya “Menghilir Sesayat Sunyi,” kita menemukan aura yang berbeda. Jika diamati, peristiwa dalam puisi tersebut terjadi di satu tempat yang sama, dan bisa saja dalam situasi yang sama. Hanya penyair boleh jadi sengaja memecahnya menjadi dua bagian. Menulis puisi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan waktu yang panjang agar mendapatkan hasil yang baik. Ketergesaan, apalagi mengejar target, hanya akan menghasilkan karya dengan label produktif. Tetapi bagaimana kualitasnya? Mungkin, semaraknya hadiah-hadiah sastra yang menggiurkan membuat para penyair berlomba-lomba menciptakan puisi-puisi baru dan menerbitkannya dengan segera.
Dari pinggir kali Cirebah: kudengar suara tupai
bercericit, berdencir-dencir diterpa suara balam
ngganter-ngganter lalu suara air yang sesekali
berkecipak di bawah rumpun bambu

Dingin pagi serupa pintu yang tidak terkunci
pada ruang berpendar kilau cahaya

Aku memasukinya dengan penuh debar
: “dan matamu, menyimpan seribu duka!”

Matahari naik perlahan
engkau telah entah di mana, murca ditelan langit
Apakah telah menjadi cahaya atau mungkin
menjadi batu kenangan yang memecah
di ketinggian langit
Dadaku berguncang, berdesau-desir
Aku pun menghilirkan sesayat sunyi di atas alir kali!

Tampak jelas diksi yang dibangun menjadi kalimat, bait menenggelamkan pembaca ke suatu peristiwa yang hening. Permenungan penyair ini seolah mengajak pembaca untuk datang ke sungai Cirebah yang berada di Banyumas Barat. Ada apa dengan sungai itu sehingga penyair begitu senang dengan objek itu? Mungkinkah penyair itu sering mengunjungi sungai itu? Ya, penyair memang terkadang dekat dengan kehidupan alam. Kedekatan itu menghasilkan ketenangan, kesederhanaan, keluasan berpikir, ia lalu ‘menyemesta’ sebagai capaian penyair.
Fitriawan Nur Indrianto lain lagi. Penyair kelahiran Yogyakarta ini tampak ingin selalu dekat dengan alam. Ia cenderung membidik tokoh. Sepertinya ingin mempersembahkan puisi-puisinya itu sebagai kado perjalanan. Ya, puisi memang bisa menjadi apa saja.
‘Hamburg yang Kau Kirim Kepadaku’ (hlm. 22), dipersembahkan kepada Ramayda Akmal. Siapakah gerangan dia? Mari kita kesampingkan dulu nama itu. Kita baca puisinya.
Hamburg yang kau kirim kepadaku
mungkinkah menjelma kampung halaman
salju putih dan daun daun pada menggigil
rumah rumah kecil berjajar rapi
dan orang orang sibuk membenarkan dasi
Di kotamu, kereta berjalan lebih cepat dari mulut yang kita
buka
sebab di sana, orang-orang memilih diam
dalam keheningan masing-masing

Hamburg yang kau kirim kepadaku
mungkinkah menjadi rumah untuk kembali
menjaga agar salam dan senyum sembunyi di ruang privasi
masih bisakah menulis puisi dan melukis pagi
sementara barangkali kita agar bergerak sepanjang hari
mengikuti kemana arah tergelincirnya matahari

Hamburg yang kau kirim kepadaku
mungkinkah menjadi alamat yang tepat untuk dituju
sementara di sini, di jogja
puisi mengalir deras dan makna hidup begitu dalam
sedalam sungai Elbe dan Alster yang selalu kita bicarakan

Metafora yang dihadirkan di sana membawa kita bertemu beragam suasana. Penyair rupanya, sadar betul akan fungsi metafora. Ia tidak hanya sebagai alat untuk menyembunyikan makna, tetapi juga menjadi simbol atau sebagai media multi tafsir. Metafora menjadi sesuatu yang dapat menghidupkan puisi itu. Nah, di sinilah peran penyair menjadi penyunting karyanya sendiri. Penyair tidak melulu bicara gagasan atau imajinasi. Ia memproduksi kata, mencipta larik, sekaligus menyuntingnya sebelum karyanya menjadi konsumsi umum.
Bila kita perhatikan lagi, ada kesadaran penyair mengenai fungsi latar dalam puisi, yang sejauh ini kerap diabaikan. Padahal persoalan itu penting artinya untuk membangun kesatuan estetik. Dalam puisi, latar sama pentinganya dengan latar dalam drama atau novel. Latar dalam puisi berhubungan dengan penyebutan nama tempat, tarih, suasana dan situasi sosial tertentu. Artinya, ada sesuatu yang sengaja hendak disampaikan penyair. Hamburg, tempat yang disinggung dalam puisi itu, jelas punya makna tertentu seperti hal nya puisi berikut karya penyair bersangkutan, “Bawalah Aku Pulang ke Minangkabau” (hlm. 23). Untuk kedua kalinya, ada nama seseorang disebutkan: Adek Risma Dedees.
Bawalah aku pulang ke Minangkabau
menyusur jejak rumah para penyair
mendengar kisah dalam tambo
legenda asal muasal
bawalah aku pulang ke negeri Minang
menyandarkan tubuh pada tiang rumah Gadang
merebahkan harap pada hamparan sajadah
di surau surau tempat syech sufi
berkhalwat dan bertemu para nabi
bawalah aku pulang ke tanah Minang
menyicip rasa daging rendang dan kuah santan
menyapa ibu dan mamakmu
sambil sesekali bicara menyoal masa depan
sebab sesungguhnya aku hanya ingin
bersandar pada bahumu

Pada pertemuanku denganmu di tanah Jawa
mengalir sungai kampar di dalam matamu
membawaku jauh menelusup ke dalam
keheningan jiwa dimana aku
akan melayarkan masa depan
bawalah aku pulang ke Minangkabau
selayaknya puisi puisi yang di tulis para penyair
menyapa kembali bumi, manusia, dan cerita
yang teduh dalam keharuan rindu
seperti burung murai
yang ingin berjingkrak dari dahan ke dahan
mengepakkan sayap kebebasan
terbang menelusup jauh dalam hidupmu-hidupku

Latar dalam puisi tersebut di atas mendukung tema dan menciptakan suasana peristiwa. Minangkabau, Tambo, Rumah Gadang, Sajadah dan seterusnya adalah penanda latar kultural. Teks itu lebih nyaring bunyinya ketika kita mencantelkan nama-nama tadi dengan tema puisi. Aku lirik yang berasal dari minangkabau datang ke suatu tempat yang secara kultural berbeda. Ada semacam gegar budaya yang kemudian coba disikapi secara arif. Dua puisi itu terkesan menampilkan pengalaman subyektif penyair, seolah tidak dapat dilepaskan dari peristiwa asalnya.
Agak berbeda dengan puisi di atas, Iman Sembada dalam puisinya yang berjudul “Ruang Belakang” (hlm. 25) coba menampilkan transformasi gurindam. Sebagaimana dikatakan Raja Ali Haji dalam pengantar Gurindam Dua Belas-nya, “…gurindam itu yaitu perkataan yang bersajak juga pada akhir pasangannya, tetapi sempurna perkataannya dengan satu pasangannya sahaja; jadilah seperti sajak yang pertama itu syarat dan sajak yang kedua jawab.” Ternyata Iman Sembada sekadar mengambil model gurindam yang dimanfaatkan untuk mendukung tema puisinya. Perhatikan puisinya berikut ini :
Pernah kita berseberangan pandang
Menghayati masing-masing bayang

Angin meluruhkan bunga kamboja
Usia terhimpun di sudut senja

Selebihnya, kita sembunyikan cerita
Dari telinga dan mata para tetangga

Pernah kita kehilangan percakapan yang wangi
Seperti bumi yang tak disentuh cahaya matahari

Ketika pintu dan jendela menutup diri
Dingin menyelinap di sela jemari

Segala sesal tiada arti lagi
Segala suara kembali ke sunyi

Tentu saja kita patut mengapresiasi upaya Iman Sembada yang lahir di Purwodadi dengan latar budaya Jawa memanfaatkan bentuk gurindam dari tradisi Melayu. Meskipun demikian persoalannya tidak sesederhana itu. Bagaimana pun sastra dalam hal ini puisi tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ruh kebudayaan yang melahirkannya, yang dalam bahasa Sutardji Calzoum Bachri terikat pada ibu budayanya. Maka transformasi yang dilakukan oleh Iman Sembada tampak artifisial. Ia bermain pada tipografi, tetapi tidak mendukung makna. Sebab, jika puisi itu disusun tidak seperti gurindam maknanya sama saja. Jika begitu patut dipertimbangkan pilihan pada tipografi hendaknya dibarengi dengan mempelajari kebudayaan yang berada di belakangnya. Dalam hal ini kegagalan penyair membuat tipografi dengan tehnik gurindam dapat dimaknai sebagai cambuk sekaligus bumerang. Keterikatan pada pola terkadang menjadi penghalang bagi penyair yang masih dalam proses mencari bentuk ideal.
Berikutnya mari kita periksa puisi Irma Agryanti kelahiran Mataram yang berjudul “Dalam Kobaran Api” (hml. 26) dan “Sebelum Malam ke Empat Puluh Empat” (hlm. 27).
ia berjalan
di bawah atap yang seperti kertas
ia memerah
seperti tiang kayu yang terbakar

menjatuhkan helai rambut
menyerupai yang tak bisa lagi kuingat

pada tiap pecahan kaca
memisahkan harapan dari ketiadaan

bintik-bintik hitam menyerbu
dunia bagaikan abu

berlepasan

di tengah kepulan asap

Membaca puisi tadi ada sesuatu yang disembunyikan begitu rapat. Metafora seperti tiang kayu yang terbakar/dunia bagaikan abu/berlepasan, seolah mengisyaratkan terjadinya peristiwa kematian atau kepunahan. Ada semacam kesia-siaan yang sempurna, dia lirik berhadapan dengan kuasa yang tak dapat dilawannya, penyair coba memotret peristiwa itu dengan simbol kebakaran.
Mari kita simak puisi berikutnya:
Sebelum menggenapi
malam ke emat puluh empat
seseorang berkata

segalanya telah diturunkan kepada musa
ia menjadikan apa yang dijanjikan
agar para penzalim mengamini

si pembaca kitab yang gemetar
mengabarkan, laut terbelah
maut kian dekat

tapi dalam ketakutan
tak ada yang bisa dicercap
melainkan madu bagi dahaga

ia bayangkan setelah yang kental
bagai darah dari tiap anak lelaki yang disembelih
dan putra ramses yang ditenggelamkan kedalamnya

Alusi! Ada peristiwa sejarah yang diambil dari kitab suci. Penyair memanfaatkan kisah itu untuk menyusupkan ideologinya. Alusi sebagai majas yang mengaitkan tokoh sejarah menjadi bagian dari upaya membandingkannya dengan peristiwa masa kini. Oleh karena itu, teks puisi di atas merupakan bentuk subversi atau tandingan bagi penyair melakukan penciptaan kedua: rekreasi. Tentu saja kita patut mengapresiasi upaya Irma dalam memperkaya ekspresi kreatifnya.
Dua puisi berikutnya karya penyair yang lahir di Probolinggo bernama Kim Al Ghozali AM yaitu “Rimba” (hlm. 28) dan “Angin Pertama” (hlm. 30).
Menyusuri hutan, memasuki hal-hal
di luar rumusan
roh pepohonan bergentayangan
dan harum bunga menyeret langkah
ke arah yang salah
keganjilan pun bermula dari rimbun
dedaunan. juga pesta pora tak terbaca
telanjang mata

pohon-pohon tua beratus tahun bertapa
kepalanya menyundul langit jingga
beratus tahun pula mengeja laju kala

mula-mula kesunyian
tumbuh pepohonan jadi hutan
mengalir kali di dalamnya
tempat bulan membasuh muka
dan bercengkrama dengan malam

mula-mula kesunyian
dan tuhan sebaik baik penanam
menjaga dan merawatnya
sebagai ruang firman diturunkan

hutan, cawan sunyi
tempat manusia pertama diletakkan
kuala gelap bagi senja sembunyi
dari cahayanya

angin takzim dan santun menerobos
celah barisan pepohonan
waktu pun mengental
pada ubi ubian yang menjalar

sempat ke arsy-nya paling rahasia

Puisi Kim bermain dalam personifikasi. Tampak bahwa tubuh puisi itu sengaja dibangun lewat kekayaan personifikasi, rimba dijadikan objek, simbol untuk memberikan pesan tersirat, disitulah ideologi penyair dibungkus lewat personifikasi. Kim menempatkan puisi ini sebagai alat memandang kehidupan bahwa jagat raya ini berjalan sesuai skenario sang pencipta. Di samping itu ada kesengajaan larik-larik puisinya memanfaatkan pola enjambemen: Menyusuri hutan, memasuki hal-hal/ di luar rumusan/ roh pepohonan bergentayangan/ dan harum bunga menyeret langkah/ ke arah yang salah.
Permainan personifikasi masih tampak kuat dalam puisi berikutnya :
yang mendahului musim ialah angin
berkejaran di dalam dan di luar dingin
menyapu segala yang ringan
-tapi tidak bagi kenangan-
menyentuh jemarimu yang dulu nakal
meraba leher dan bagian bagian tubuhku

melingkar, membelai, mengusap kau
mematung dalam hijau badai

ia datang padamu, melintas sulur sulur
rahasia dan bendungan langit jingga
menabur aromanya yang kau kenal
mengecup keningmu
mencium seluruh rambutmu
dan kau memejamkan mata, menikmati
sejuk jaketnya yang diselimutkan
ke telanjangan tubuhmu

leli yang cantik! leli yang cantik!
mata dengan kedipan menarik

yang nakal tiba kepadamu
lewat celah pintu, lewat jendela tak berkaca
lewat kenangan kita di hijau perbukitan

Meskipun personifikasi menjadi pilihan penyair, puisi tidak serta merta hidup dengan satu majas, puisi lahir dari proses yang kompleks, ada kegelisahan penyair dalam mengarungi perjalanan hidup ini. Di sinilah, kekayaan pengalaman penting artinya untuk menampilkan personifikasi dengan makna yang dalam. Dalam hal ini diperlukan pilihan pada majas lain yang dapat meneguhkan kekuatan puisi.
Pada halaman lain, Raedu Basha, penyair kelahiran Sumenep ini mengajak kita bertamasya ke suatu jalan, yaitu, “Jalan Lora” (hlm. 31). Jalan sebagai sesuatu yang menghubungkan satu titik ke titik yang lain. Bagaimana dengan Lora? Bisa jadi, Lora adalah nama jalan. Mungkin juga akronim Long Range, istilah dalam teknologi yang merupakan suatu proses perubahan gelombang periodik tertentu sebagai sinyal yang dapat membawa informasi. Gelombang periodik adalah gerak dinamis yang teratur. Terjadi dinamika yang berulang dari sumber berupa gangguan getaran secara bertahap.
 Jika melihat riwayat penyair itu sendiri yang besar di lingkungan pesantren di Madura, bisa jadi, Lora adalah Gus atau Den Bagus, dalam bahasa Jawa sebagai sapaan hormat kepada (anak) kiai. Jadi, dari sinyalemen itu, apa yang sebenernya dimaksudkan Raedu sebagai Lora.
telah kutapaki jalan
yang tak kau tunjukkan

jalan terlarang dalam pesan-pesan
sakit masa silam

dan kutanggung rintih sepanjang derap
sebab kau pergi sebelum aku benar-benar siap

untuk berangkat
mengiringi kesunyianmu

namun lafal-lafal
senantiasa tancap

kueja terus di setiap
udara kuhirup
sebagai jawab

bagi isyarat tanya
yang degab
dalam degup

bait-bait alfiah
firman-sabda singkat

memagari ruh
dan nur lubang-lubang tubuh

bagaikan rajah-rajah
bertintakan sepertiga malam

namun aku
belum bisa menyiapkan kertas baru

bagi lafal-lafal, menjamu santri dan tamu
sebasah kalbu menulis petuah

tentang pahala dan loba, sebab aku
masih betah bermain di jalan ini

jalan yang sama sekali
tak pernah terbayangkan

Lora: musik, celana, kopi, puisi
dan menikahi gadis perantauan

Nah, kita bisa memaknai bahwa puisi ini lahir dari kegelisahan penyair, ia mengabarkan kegembiraan, kepedihan, kesulitan, kemudahan, kesunyian dengan cara yang unik. Disitulah puisi tak pernah mati. Puisi menjadi refesentasi individu dalam menyampaikan kegelisahan bagi khalayak.
Sebagai penyair yang hidup di lingkungan pesantren, Raedu niscaya memahami ‘nadham’ bentuk puisi yang tumbuh dan berkembang di kalangan para kiai. Bolehlah, kita dapat menduga ada keterpengaruhan gaya penulisan nadham pada puisi Raedu. Dua belas larik yang setiap baitnya terdiri dari dua-dua atau empat-empat, dengan rima a-b, jika satu bait terdiri dari empat larik maka rimanya a-b-a-b, rima yang digunakan dalam pantun. Tetapi, Raedu coba menyembunyikannya, dia seolah hendak membebaskan diri. Dia memilih menjadi penyair yang merdeka dengan melakukan penyelewengan pada nadham.
Setelah puisi dari Madura, kita coba memasuki puisi dari Kendal, Setia Naka Andrian. Puisinya yang bertajuk “Kampung Kita” (hlm. 33) terasa liris seperti hujan di bulan Juni, Sapardi Djoko Damono.
I
Kita yang belum tunai, sejak lahir,
Bahkan sebelum udara dihembuskan
dari ubun-ubun ini

Di kampung Wanglu Krajan,
Kita pejamkan telinga
Suara orang-orang berlalu-lalang
terbang tanpa kendara
Mereka memenggal tangan-tangannya
Lalu mengubur potongan-potongannya
di setiap penjuru mata angin
dan mata batin

Kita lah takdir itu
Dari mesin penanak besi
Kita lah diri paling sepi
Dari penyesalan yang tak kunjung berhenti

II
Di kampung, kita pejamkan dada
Dari ribuan degup
yang kerap dihujani mantra-mantra
Dari setiap kuburan dan sejarah orang-orang
Kita banyak menyesali ragam aroma bepergian

Di kampung, kita doakan sanak-saudara
Kita bertanya, siapa garis bapak kita
Seperti apa wujud kita urung dilahirkan

Di kampung, kita lupakan dalam-dalam
diri kita ini yang setiap pagi ditulis dari suara gigi
Betapa gemeratak nyali,
Diawali dengan kesungguhan
siapa yang lebih pantas memilih
Kita laki-laki atau kita perempuan
yang lebih dulu menarik panjang tubuh-tubuh luka

III
Di kampung, kita begitu lupa
Mengimani diri dalam sejarah derita
Sebelum semua membalik kegetirannya
Sebelum kedatangan agama-agama,
Sebelum Samawi dan segalanya mewabah tiba-tiba
Sebelum keyakinan dibentangkan di ujung telunjuk kita

Lihatlah, setiap pagi, arahnya kerap berkelahi
mereka ingin sesekali menjumpai
kegagalan yang luput direncanakan
sebab, kita lah yang dipegang kendali-kendalinya

Kita lihat, di kampung Wanglu Krajan
Perempuan dipasrahi memimpin upacara
Obong mitungdina menyembur ke langit,
Burung-burung seakan lepas
Mengendarai angin saban musim
Mereka lepas upacara mendhak,
Upacara ewuh bertebaran pula
Jalan-jalan penuh
Kemuliaan yang lupa dikubur-kubur
Kita saksikan di kampung kita
Roda berputar cepat, dengan sendirinya,
Tiada lagi kendali kita
Pada dasarnya puisi ini tidak menampilkan sesuatu yang baru. Penomoran sebagai pemisah tematik, kemudian tipografi dan enjambemen sudah banyak digunakan para penyair kita. Meskipun demikian Andrian menawarkan sesuatu yang khas berkaitan dengan peristiwa di kampung Wanglu Krajan. Boleh jadi peristiwa itu berkaitan dengan perkembangan sistem kepercayaan. Boleh jadi juga berkaitan dengan peristiwa sejarah. Dalam hal ini, penggambaran tentang perubahan sosial di kampung itu berkaitan dengan tradisi kepercayaan leluhur mereka. Tema ini penting bagi Adrian mengingat peristiwa itu khas dan menegaskan warna lokal.
Simak juga puisi Adrian berikutnya yang berjudul “Kalang dan Kehidupan Kecil” (hlm. 36).
Kalang, aku ini kehidupan kecilmu
Didirikan dari tenda pengasingan
Dari doa yang dibayang-bayang

Lalu apa jadinya masa depan
yang kerap dilupakan di hari-hari kelahiran
Itukah tubuh, yang dihuni banyak senapan
Dialirinya seribu nyawa
Diunggah dalam belantara
yang tak lagi kasat mata

Dalam setiap kicauan-kicauannya
Apalah kehidupanmu
Sekecil Aku
Sisa dari jutaan waktu
Yang direkam dengan sangat keliru
Yang ditinggalkan dengan begitu berburu

Kalang, bukankah aku kehidupan kecilmu
Yang melarikan diri
Melupakan banyak hari-hari besarmu

Seperti juga puisi pertama Adrian memanfaatkan fungsi enjambemen. Meskipun begitu metafora yang dibangunnya cenderung tidak menyajikan isyarat sebagai pintu masuk peristiwa dalam puisi. Leksim Kalang misalnya dapat merujuk pada nama suku etnik di Jawa Tengah, yang mengingatkan kita pada orang using di Banyuwangi dan saman di Ponorogo. Satu komunitas yang mempunyai sistem kepercayaan, norma sosial dan prilaku tersendiri meskipun mereka berhubungan dengan komunitas lainnya. Apakah itu yang dimaksud Kalang dalam puisi di atas, atau sekadar nama orang? Itulah problem puisi ketika penyair terjebak pada hasrat membuat metafora yang maknanya hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Bagaimanapun juga puisi adalah salah satu bentuk komunikasi yang menggunakan berbagai majas, ketika ia menampilkan majas yang khas tanpa memberi sinyal, kesalahpahaman penafsiran sangat mungkin terjadi.
Baiklah, kita lanjutkan pembicaraan ini dengan puisi Surya Gemilang, penyair kelahiran Denpansar yang berjudul “Mobil Tua yang resah” (hlm. 37).
di samping mobil tua yang resah
anjing berjongkok,
katak berjongkok,
lelaki berjongkok (dan membakar
rokok)

di dalam mobil tua yang resah:
sejarah dan ingatan
bertengkar hebat--membikin riuh
di antara gedung-gedung
yang sedang dibangun dan tak akan
jadi

di kediaman pemilik mobil tua yang resah:
“tidak. kita bukan rahasia
yang sia-sia. sebab,
tersisalah cuma musim yang
amnesia.”

Puisi ini mengangkat tema yang sederhana tentang mobil tua dengan berbagai peristiwa masa lalunya dan kecenderungan orang melupakan sejarah. Peristiwa-peristiwa itu seakan menjadi gambar di permukaan kanvas. Mengingat puisi menggunakan sarana bahasa maka, gambar di permukaan kanvas itu mesti dapat disampaikan dengan cara menghidupkan citraan dan asosiasi pembaca pada visualisasi tertentu. Dalam kontek ini meskipun tema yang diangkat tampak sederhana, ia berhasil memanfaatkan citraan penglihatan yang menjadi salah satu unsur penting dalam puisi. Bahasa bergerak dalam waktu, rupa hadir dalam ruang. Ketika keduanya menjelma puisi maka citraan penting untuk mengaitkan teks dengan peristiwa di luar teks.
Tjahjono Widarmanto. Penyair kelahiran Ngawi menampilkan puisinya yang berjudul “Berdiri di Kelokan” (hlm. 38). Kekentalannya dalam mengolah kata menggambarkan bagaimana sosok puisi itu lahir melalui permenungan yang mendalam.
inikah batas itu?
mengizinkan aku kembali pulang
bergegas sebelum petang bertukar kamar dengan siang

inikah batas itu, tempat
aku harus berpaling menoleh pulang

saku bajuku penuh dijejali teka-teki asing
sungai-sungai berubah warna
stasiun-stasiun jadi lorong-lorong
segala syair berterbangan
seperti kapak elang hilang sarang
asin garam bertukar rasa dengan asam cuka
: hambar seperti senyum sendiri.

inikah batas jalan pulang
segala kenang tinggal lengang
menatap harap yang lepas: sia-sia.

di jalan pulang resah berputar-putar
seperti pusing guruh melingkar-lingkar

bolehkah aku kembali!

Begitulah, puisi itu menjadi multi tafsir. Penyair seperti hendak menghadirkan kepulangan yang bimbang, atau kematian yang tak diinginkan. Meskipun tampak sederhana, puisi ini dapat menarik pembaca untuk menyelami makna yang tersembunyi. Puisi semacam ini perlu daya renung. Ada makna yang membawa kita menduga-duga peristiwa selanjutnya. Itulah sumber kekuatan puisi ini.
Selanjutnya, mari kita beralih kepada puisi Wahyu Gandi, penyair kelahiran Sulawesi Selatan, dengan puisi “Arung Pancana Toa” (hlm. 39). Puisi ini kental dengan alusi, peristiwa masa lalu dimunculkan kembali.
--setelah pamit kepada colliq pujie

aku berjalan tanpa bayang
dan masih menyandang gelar matinroe ri tucae
setelah kematian lebih dulu luruh
menemani anumerta yang sempat
disemati orang-orang Tanete
bersama La Rumpang menemu ritus khayali
penumpas segala jenis penindasan.

kau menunggangi lontaraq untuk kembali
menemui La Makkawaru yang tak pernah sempat
diangkat menjadi Datu di tanah Tanete
“kau terlalu buruk ketimbang perempuan.”katamu
bersama I Gading kau semakin hilang atas kendali dewata
apa lagi setelah ambo’mu menggali makamnya.

--dan perempuan di generasimu adalah tiang penyangga
bagi kekuatan-kekuatan buta atas restu penghianatan

dan pada akhirnya sebelum pengasingan itu
setelah kematian La Tanampareq To Apatorang Arung Ujung
para keluarga mencium aroma penghianatan
dan pada akhirnya kau dibawa ke Jumpandang
sembari mencipta lontaraq tanete dan elong
dua puluh tahun membantu mereka menyalin
jauh setelah Galigo lahir diingatan-ingatan kami.

Puisi ini cukup kuat menampilkan warna lokal. Kekhasan itu menjadi daya pukau jika dilengkapi dengan keterangan dalam teks puisi atau catatan kecil untuk membantu pembaca memahami peristiwa yang terjadi pada saat itu. Meskipun penyair punya kebebasan kreatif, puisi sebagai sarana komunikasi dengan pembaca, patut dipertimbangkan adanya lanjaran hingga memungkinkan pembaca dapat masuk ke dalam tubuh puisi dan tidak seperti memasuki lorong gelap.
Selanjutnya, Willy Ana. Penyair kelahiran Bengkulu ini adalah boleh dikatakan sebagai pendatang baru dalam kepenyairan kita. Kali ini puisinya “Petuah Kampung” mendapat penghargaan Litera. Puisinya yang lain “Jejak Bocah Rakhine’’(hlm. 40).
Bocah-bocah itu memandang surga dalam tidurnya
Matahati membiru seakan berduka pada bumi yang memerah

Tanah itu bungkam, daun-daun berguguran menjadi gundukan makam,
awan hitam pun terus menyelimuti hingga semakin kelam

Perempuan-perempuan itu tak lagi bisa bersendawa,
ketika perut mereka kenyang terisi gelak tawa
tatkala jari-jari mungil itu menyusup di puting payudara

Rakhine, nasib apa yang membawa raut wajah nisan pada bumi ini
hingga moncong senapan, bedil, menjadi pengkerat nyali

Wajah-wajah lusuh itu menyisir malam yang beku,   
memeluk batu dan memikul gunung dengan dagu

Lembah terjal, sungai, dan tebing mengurai jejak
bersama kaki-kaki telanjang tanpa arah
Mengadu pada takdir yang terselip di jagad entah

Puisi ini terbaca biasa-biasa saja, hanya menggambarkan kepedihan suatu tragedi, dalam pengungkapnnya begitu mengalir, bernarasi, seolah tak ingin bermain dengan diksi, metafora yang dihadirkan cenderung kontradiktif. Periksa misalnya larik pertama Bocah-bocah itu memandang surga dalam tidurnya. Meskipun kita tahu larik itu berpesan tentang mimpi, logikanya bermasalah. Bagaimana mungkin orang tidur bisa memandang. Bagaimanapun juga puisi tidak hanya mengandalkan keindahan bahasa, tetapi juga keberterimaan logika. Hal yang sama terjadi pada larik memeluk batu dan memikul gunung dengan dagu. Dalam sejarah umat manusia tidak pernah ada dagu dapat memikul gunung, boleh jadi yang dimaksud dagu adalah bahu. Ini contoh bagaimana pentingnya penyair berhati-hati dan cermat dalam memilih diksi.
Kita lanjutkan kepada puisi Willy Ana yang lain berjudul “Petuah Kampung” (hlm. 41), puisi ini yang terpilih sebagai puisi terbaik anugerah Litera 2018.
Pulanglah nak, kepada tanah, rimbun hutan,
dan kicau burung yang memberi melodi di kabut pagi

Meski detak arloji menghapus bayang
pada cerita yang kau gerus di ladang itu

Tapi napasmu masih melekat di kerumunan ikan mungkus
pada sungai yang tandus

Tak kan tanak periuk menggantung pada lipatan hari
tanpa kau siram peluh yang mengupas waktumu
           
Pulanglah nak, pada rejung yang mengurai bait-bait
pada lembar hari

hingga sungai di sudut matamu seperti rawang di lubuk betung

Mungkin bola salju itu telah menjadi bara,
membakar sketsa pada diary tahun yang kau cipta

Pulanglah nak, menarilah bersama meriam bambu di gubuk itu,
pipit-pipit menanti tembangmu


Mungkus: ikan khas sumatera selatan yang tidak di temukan
di daerah lain
Priuk: panci tempat menanak nasi

Jika kita cermati puisi ini pun menyimpan problem logika. Sebut misalnya larik Mesti detak arloji menghapus bayang, bagaimana gerak waktu digunakan untuk gerak fisik. Dalam hal ini sesuatu yang konkrit (arloji) digunakan untuk sesuatu abstrak (bayang). Pelanggaran logika terjadi juga pada bait 3, Tapi napasmu masih melekat di kerumunan ikan mungkus /pada sungai yang tandus. Makna sungai yang mengering dengan sungai yang tandus adalah hal yang berbeda, bagaimana mungkin sungai bisa tandus sementara di sana ada ikan.
 Pada larik yang lain terjadi lagi kontradiksi dan pelanggaran logika. Idiom bola salju bermakna sebagai hal berita atau peristiwa yang kemudian menyebar sebagai kehebohan. Kita dapat memahami maksud Willy Ana bahwa kehebohan itu menjadi peristiwa yang genting, Willy menggunakan kata ‘bara’ yang mengisyaratkan sesuatu yang panas. Bagaimana mungkin salju yang dingin menjadi panas, maka elok digunakan idiom yang lain yang tidak kontradiktif.
Zabidi Zay penyair yang tinggal di Bekasi dengan puisinya berjudul “Tak Ada Lagi yang Kau Punya” (hlm. 42).
Barangkali engkau pohon yang teramat letih
Daun-daun di kepalamu telah rontok
Dan di senja sore tadi selembar daun terakhir
Terlepas dari genggaman tangan ranting

Senja tak lagi menyimpan warna lembayung
Hanya putih dan itam
Serupa kabut yang membungkus malam
Sementara tanah di tempatmu berpijak
Telah mengering dan retak

Tak ada lagi yang kau punya
Kecuali sebuah bangku kayu
Berwarna merah jingga
Di mana kau ingin sekali
Duduk dan bersandar di sana

: Sekali saja
            Puisi ini tampak sederhana. Peristiwa yang dihadirkan mengisyaratkan sesuatu yang habis, tandas. Ada kesia-siaan di antara harapan yang masih tersimpan. Dengan demikian, percik harapan itu dapat menjadi pegangan kebertahanan aku lirik dalam menghadapi segala penderitaan.         
Itulah puisi-puisi yang terpilih dalam anugerah Litera 2018, yang penciptaannya berkisar tahun 2016-2017. Jika kita mencermati latar belakang kepenyairannya, mereka adalah para penggiat sastra yang sejak lama berkecimpung dalam dunia puisi. Memasuki puisi-puisi mereka kita optimis bahwa dunia kepenyairan kita tidak akan pernah sepi, tambahan lagi adanya portal-portal sastra dalam jaringan memungkinkan kreatifitas mereka dapat tersalurkan dengan baik. Anugerah Litera adalah satu di antara bentuk apresiasi pada kiprah kepenyairan mereka. Tinggal persoalannya bagaimana portal-portal itu dapat menjadi filter bagi munculnya puisi-puisi yang berkualitas.
 Saya masih percaya bahwa puisi-puisi yang terpilih lahir dari sikap penyair yang menjaga tata nilai, etika, sikap hidup, bahkan juga suara hati yang paling jujur. Apakah benar mereka telah menjadi penyair sejati? Atau boleh jadi, lantaran kedekatan dan pertemanan. Semua bergantung kepada intregitas penyair itu sendiri.
            Mengutip pendapat Subagio Sastrowardoyo tentang bakat alam dan intelektualisme, penyair sejati adalah mereka yang belajar pada sejarah. Oleh karena itu, penting artinya bagi penyair untuk membaca khasanah puisi penyair lain. Tanpa itu, dia akan jatuh pada kemampuan bakat alam. Munculnya metafora yang segar, tema yang aktual dan khas, majas yang tidak terjebak pada bentuk klise hanya mungkin dapat dilakukan dengan mencermati khasanah puisi yang menjadi kekayaan peta perpuisian Indonesia.
            Kehadiran portal-portal sastra dalam jaring (daring) adalah suatu harapan akan perkembangan sastra khususnya puisi Indonesia. Kemeriahan ini hendaklah tidak menjadi alat kepentingan pribadi, atau sekadar kamuflase untuk memanfaatkan puisi dengan menerbitkannya. Pada akhirnya hanya membentuk kampung puisi yang asyik masyuk dengan dirinya sendiri tanpa memberi kontribusi dan efek positif bagi masyarakat luas. Penulis bagaimanapun juga adalah suara kemanusiaan, kebenaran dan kejujuran. Jangan mencederai kesuciannya. Salam puisi bertubi-tubi!

 Agustus 2018

Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893