MGt6NGZ6MaVaMqZcMaV6Mat4N6MkyCYhADAsx6J=
MASIGNCLEANSIMPLE101

Manusia Kesunyian : Hari Raya Puisi (Bagian 1)

Nana Sastrawan
            Suaraku hanyalah gema dari sepi yang sumbernya berada jauh
            Di dalam dada.
           
            Larik puisi ‘Suara’ karya Acep Zamzam Noor ini mengawali sebuah buku kumpulan puisi ‘Hari Raya Puisi’ Pemenang Anugerah Hari Puisi Indonesia yang dipilih oleh Yayasan Hari Puisi Indonesia. Buku ini penting untuk memperkaya wawasan khasanah perpuisian Indonesia sebab berisikan puisi karya para penyair yang terpilih jawara. Ya, penyair melewati perburuan panjang untuk menemukan misteri kata yang merepresentasikan gambaran kenyataan. Tentu saja kenyataan yang terjadi pada kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh gejolak sosial, ekonomi, politik, perkembangan teknologi yang dari keseluruhan itu menjadi semacam kegelisahan.
            Puisi mencakup pada Enam literasi seperti literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewarganegaraan. Sehingga tidak heran jika puisi selalu lahir dengan cara yang unik. Perenungan penyair menghidupkan kreativitas pada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Penyair seperti seorang pengembara yang menyampaikan risalah kebutuhan manusia untuk mewujudkan kebenaran terbuka lebar tanpa hijab menghalangi. Disinilah puisi-puisi Acep Zamzam Noor bergejolak, mereka lahir dari mata batin yang tajam untuk melihat segala kondisi di sekitar. Selain itu, Acep Zamzam Noor seperti manusia sunyi yang tak ingin berdiam diri, dia berkeliling untuk merekam segala peristiwa yang dia anggap penting untuk disabdakan kepada seluruh masyarakat sastra.
            Gaung yang memantul dari luka parah di lubuk hati
            Yang perihnya terasa hingga ke ujung kaki. Sepiku memerlukan suara
            Untuk sekedar bernyanyi dan lukaku membutuhkan bunyi agar bisa
            Menyatakan diri. Ketika daun-daun jatuh dan langkahmu menjauh
            Terasa ada yang berlabuh diam-diam di pipi. Kuraba paras bumi
            Udara bagaikan embun yang pecah disentuh jemari pagi
           
            Lanjutan dari puisi ‘Suara’ itu menegaskan bagaimana seorang Acep Zamzam Noor tidak ingin hanyut dalam kegelisahan menyaksikan peristiwa yang dia anggap sangat penting untuk diutarakan, dia menjadi manusia sunyi yang riuh, pikiran-pikirannya ingin terbebas dari segala macam hal yang mengganggu. Lalu, apakah ini hal yang wajar bagi seorang penyair? Tidak setiap orang dapat mengutarakan kegelisahan dalam bentuk puisi, begitupun tidak semua puisi dapat mewakili kegelisahan diri dan orang lain. Hubungan puisi dan kenyataan sangat dekat, jaraknya tipis, keduanya terkadang saling berkelindan.
            Dalam larik puisi ‘Kekuasaan’ misalnya, Acep mempertontonkan kegelisahan yang dikukuhkan sebagai pernyataan.
 Aku mendengar pulau-pulau di tenggara beranjak pergi
Lalu ketika napasmu memompa setiap degup jantung
Perahu-perahu tenggelam di tengah lautan, gelombang pasang
Menghempas daratan dan angin puting beliung menghantam
Pegunungan. Bumi berantakan bukan karena api cemburu
Tapi karena cinta tengah memamerkan kekuasaannya.

Menelisik kehidupannya yang dekat dengan kalangan pesantren, Acep memberikan simbol ‘api cemburu’ sebagai makhluk hidup dalam hati manusia yang lahir dari sejarah terciptanya perjalanan panjang manusia turun ke muka bumi. Sementara cinta bisa jadi adalah suatu tanda yang maha besar atau bisa dikatakan Tuhan dengan segala kekuasaannya untuk mengingatkan manusia.
Puisi-puisi Acep memang syarat akan perenungan, dia tidak ingin setiap kata hanya tertulis tanpa tujuan. Ia punya nilai sakral, melibatkan bayangan batin penyairnya secara emosional pada peristiwa atau pada waktu jiwanya tenang dan hening. Ada kekhasan yang menjadi karakteristik setiap puisi Acep di dalam buku Hari Raya Puisi. Yaitu, dalam pengemasan tema yang dihadirkan, beragam namun memiliki titik fokus pada satu tujuan, tidak ada satu kata atau unsur yang berlebihan namun mengejutkan. Acep seolah tidak ingin sendiri dalam kesunyiannya menulis puisi. Misalnya di salah satu larik puisi ‘Jejak’ Acep memunculkan seorang tokoh yang dapat membuka peristiwa spiritual.
Kawanku yang pendiam, matanya memancarkan cahaya
Udara siang memercikkan lentik-lentik api dari rambutnya
Napasnya menggetarkan tahun, meluruhkan daun-daun zaitun
Sedang dari pusat matanya burung-burung nazar menyeberang
Seperti para imigran. Kawanku bukanlah seorang nabi
Tapi dadanya adalah dinding tebal yang bernama ideologi
Sedang kakinya kokoh menyangga abad-abad sunyi
Di masa lalu, kawanku mungkin sosok paling sentimentil
Senyumnya yang meluruhkan hati semua lelaki dan perempuan
Kini menuntunku memasuki sebuah terowongan gelap

Bagi sebagian penyair tentu tidak mudah menulis tentang kesendirian, atau berbicara tentang diri sendiri, baik secara prosesnya maupun tentang alasan di balik tulisannya. Sebab sebagai penyair sejati pasti akan menyadari kelemahannya sendiri, yakni perjuangannya yang hampir sia-sia hendak menyelesaikan sesuatu dengan baik. Namun, maksud di balik tulisan tidak selalu menentukan tinggi atau rendahnya mutu karya melainkan pada angan-angan yang mendorong penyair untuk menulis. Angan-angan itu bisa saja mewujud gagasan, kemarahan pada ketidakadilan atau semacam harapan untuk melakukan suatu gerakan perubahan. Hasrat itu telah lama nempel pada Acep.
Ketika ia hendak menangkap pemandangan menarik dengan alat potret, yaitu inderanya. Perlahan ia melekat pada setiap gerak dan hari-harinya sehingga menjadi pengalaman yang tak dapat dengan mudah dihapus oleh waktu. Pengalaman perasaan dan pikiran diekpresikan dengan simbol. Itulah Acep, keheningan dan ketenangannya melahirkan bahasa. Pada puisi ‘Di Sebuah Taman’ Acep menyoroti wilayah kegetiran, suatu peristiwa sejarah yang entah, namun begitu sangat simbolik Acep menjelaskannya. Dia membawa pesan untuk tidak tenggelam pada pemujaan dunia.
Setiap kusaksikan kaki langit yang jauh
Kubayangkan cinta akan terus berkobar
Bersama dendam. Dari perut senja yang terbelah
Darah segar mewarnai sebagian langit
Sedang kemurunganku mewarnai sebagian lainnya
Ingin kusaksikan dosa pertama tumpah
Ketika manusia memahami dirinya
Sebagai ancaman bagi sesamanya

Aku duduk di antara meriam-meriam
Yang berdentum. Di antara reruntuhan kota-kota
Kusaksikan tahun-tahun lepas dari alamanak
Seperti orang-orang yang terbunuh dan kemudian
Membusuk dalam got. Lalu kureguk anggur
Ketika sejarah kembali mengirimkan ribuan peluru
Pada mataku. Kulihat bintang-bintang berhamburan
Darah segar mewarnai seluruh langit

Bertahun-tahun aku duduk di taman dunia
Menyaksikan kaki langit yang jauh. Bertahun-tahun
Aku duduk membayangkan cinta dan dendam
Seperti gelap dan terang. Kureguk anggur
Ketika pesawat-pesawat tempur membakar ufuk
Kureguk anggur dan aku mabuk di antara bom-bom
Yang berjatuhan serta bumi yang pelan-pelan
Ditenggelamkan para pemujanya

Pada puisi ini Acep menyinggung tentang sejarah perseturuan manusia yang tidak lepas dari latar belakang etnik, ras dan rumpunnya. Pertikaian umat manusia seolah tidak lepas dari peristiwa-peristiwa peperangan atau perebutan kekuasaan di setiap kelompok manusia dari sejarah nenek moyangnya. Kecintaan pada satu golongan yang berlebihan akan menimbulkan sikap chaufinistik, sehingga menolak golongan-golongan lain. Sikap inilah yang sering memunculkan dendam. Acep memotret peristiwa dunia dalam satu puisi yang metaforik.  
Kesunyian Acep juga terpancar dalam puisi ‘Seperti Cinta dan Maut’ gejolak kegelisahannya mengalir, menandakan dia hidup dalam bayang-bayang peristiwa yang selalu berputar. Penyair menempatkannya dalam lanskap sejarah, mereka lahir dan bergerak dalam segala bidang. Acep salah satu penyair yang lahir dari pergerakan sosial zamannya. Pada puisi itu digambarkan suatu kehidupan yang disimbolkan dengan cinta, sementara maut memberikan ruang tafsir pada kematian. Itu yang tak dapat dimungkiri bahwa kekuatan Acep dalam menulis puisi bukan sekadar meluapkan kegelisahan pribadi. Namun, menempatkannya dalam filosofi.
Kelahiran dan kematian adalah saudara kembar
Yang berbeda wajah dan lama terpisah, namun mereka akan bertemu
Pada saatnya. Seperti sepasang kekasih yang ditakdirkan berjauhan
Seperti cinta dan maut yang ternyata saling merindukan

Perlu diketahui, penyair di era 80 hingga saat ini sebagian besar lahir dari kreativitas membaca, yang menyadari kreativitas menuntut wawasan, pengetahuan, informasi lain dari naskah-naskah yang telah dituliskan. Selain itu, aktivitas diskusi tersebar di berbagai komunitas bermanfaat untuk menyebarkan wawasan sekalian berbagi gagasan. Oleh karena itu, ekspresi puitik yang terbangun dalam puisi Acep seolah setelah melakukan perjalanan panjang, tidak serta-merta lahir dari kekosongan atau kesendirian dalam kamar yang sepi. Persoalan sosial jelas hadir dalam puisinya. Aktivitas Acep ke berbagai daerah, tradisi diskusi dengan berbagai kalangan membentuk puisi Acep yang tidak hanya sekadar luapan emosi atau ekspresi jiwa. Secara tematik, Acep sadar betul bahwa puisi adalah sarana alternatif lain untuk mewartakan suatu kenyataan.
Puisi ‘Aku Ingin Menemanimu’ membuktikan bahwa pengucapan dan kemasan yang sarat metafora, di tengah hiruk-pikuk kesesakkan metro mini, kemacetan, melewati perlintasan kereta yang padat, kerumunan di terminal. Puisi ini hadir sebagai suara lain untuk tidak menyerah dan mengeluh. Tidak hanya itu, latar tempat yang sangat semerawut jika dihadirkan sebagai bentuk realitas kota; gang-gang sempit, tanah berlobang, pekarangan rumah kontrakan dengan jemuran yang menggantung menjadi terkesan simbolik untuk menginformasikan keadaan sosial.
 Lain halnya dengan puisi ‘Bagian dari Kegembiraan’ Latar alun-alun yang dipotret oleh Acep di suatu kota bernama ‘Tasik’ menjadi metafora yang menunjukan kecerdasan penyair. Dia melemparkan pertanyaan untuk dimaknai sehingga muncul beragam jawaban.
Apa makna alun-alun bagimu? Kenapa selalu mengajakku duduk-duduk
Di salah satu sudutnya? Apakah kau suka mendengar bunyi air mancur
Atau senang melihat pasangan-pasangan yang berpelukan dalam remang
Lampu taman? Atau ingin menjadi bagian dari Volkswagen Club Tasik
Yang sering nongkrong malam-malam? Lalu apakah makna
kegembiraan.

Itulah puisi yang sebenarnya, bermain dalam diksi, majas, gaya bahasa sehingga ekspresi kegelisahan penyair tidak terungkap secara artifisial dan denotatif. Kehadiran lariknya memantik kesadaran pembaca untuk memunculkan sesuatu lain dari kalimat-kalimat dalam puisi itu.
Pada puisi ‘Rambut Kesedihan’ Acep menyajikan hujan sebagai rambut kesedihan; Kesedihan adalah lipatan-lipatan mega yang memadat/Lalu pecah di udara. Dan hujan adalah rambut kesedihan/Yang jatuh terurai ke haribaan bumi sebagai kata-kata. Dalam sepenggal larik puisi itu, simbolis yang diciptakan oleh penyair adalah pencermatannya dalam meneroka lebih jauh dengan mata batin. Ya, mata batin dapat menjadi jalan untuk meneroka, mengungkap sehingga dapat melakukan penciptaan kembali yang berada dalam benda atau peristiwa di dunia ini.
Bagi penyair yang medan perjuangannya memperkaya bahasa melalui perburuan dan sekaligus penciptaan makna baru, setiap kata dalam kalimat, meski memiliki kualitas yang sama pentingnya. Sutardji Calzoum Bachri dalam pidatonya di Pesta Puisi Rakyat Hari Puisi Indonesia 2018 mengatakan bahwa setiap kata memiliki misteri tersendiri, sebab kata yang tercipta akan menghadirkan makna-makna lain dalam puisi. Jika kehilangan satu kata, atau bahkan satu kalimat, tidak mengganggu atau mengubah apa pun, maka larik puisi itu menjadi puisi yang baik, kemasannya belum padat, sebab kualitas setiap kata tidak seimbang, belum menjadi integral puisi.
Acep Zamzam Noor dalam puisi-puisinya hendak menghadirkan penciptaan makna baru, tidak dalam pengertian leksikal, melainkan metaforis, simbolis atau memiliki kekuatan asosiatif. Ketika membacanya, asosiasi kita melayang pada perkara kesepian, kematian, kegelisahan, kerinduan, kesendirian, kemarahan, dan entah apalagi. Setiap puisinya secara sintaksis dan semantik tampak sederhana dan mudah dimengerti. Namun, tetap saja memantik imajinasi pembaca untuk menghubungkan dengan peristiwa di luar puisinya.
Acep tidak ingin kedalaman makna puisi dibangun oleh kerumitan. Puisinya hadir sebagai penyejuk, kesunyian yang selalu dibutuhkan. Seperti satu di antara larik puisi ‘Amanat Galunggung’ Acep begitu dekat dengan ketenangannya dan pencariannya sebagai penyair yang hidup di wilayah pegunungan.
Di sini aku ingin belajar pada kelembutan kabut yang bergerak
Tanpa mengusik. Aku ingin berguru pada gunung yang tahan
Menyimpan dan merawat kerinduannya bertahun-tahun

Dalam sebait puisi di atas, penyair hendak menekannya bahwa setiap kalimatnya sederhana, namun menyimpan makna yang beragam sesuai tafsir masing-masing. Acep hendak menyampaikan segala gagasan, harapan dan pandangannya dalam puisi. Jalan penyair yang dipilih telah menempatkan dirinya sebagai penyair sejati. Tidak hanya tentang pershabatan dengan alam. Kepeduliaanya pada problem sosial terus berkelindan sampai akhirnya tiba di muara kehidupan: kematian.
Acep juga keras menyuarakan suara kemanusiaan, caranya menumpahkan ekspresi kreatif tidak ingin terikat oleh bentuk penulisan puisi yang konvensional. Ia mungkin tidak merasa harus terikat oleh bentuk atau tipografi. Ia tetap fokus pada persoalan kehidupan dengan gaya pengucapan.
Mungkin kau tengah sibuk mengukur dalamnya lautan
Ketika orang-orang saling menggunting dalam lipatan
Atau malah sedang khusyuk menulis puisi-puisi sepi
Ketika mereka berebut bangkai saudaranya sendiri
            November 2018

Share This Article :
Nana Sastrawan

Nana Sastrawan adalah nama pena dari Nana Supriyana, S.Pd tinggal di Tangerang, lahir 27 Juli di Kuningan, Jawa Barat. Menulis sejak sekolah menengah pertama, beberapa karyanya banyak dimuat di berbagai media, tulisan skenarionya telah dan sedang difilmkan. Ia senang bergerak dibidang pendidikan, sosial dan kebudayaan di Indonesia. Dia juga sering terlihat hadir di berbagai kegiatan komunitas seni dan sastra Internasional, kerap dijumpai juga tengah membaca puisi, pentas teater dan sebagai pembicara seminar. Laki-laki yang berprofesi sebagai pendidik di sekolah swasta ini pernah menjadi peserta MASTERA CERPEN (Majelis Sastra Asia Tenggara) dari Indonesia bersama para penulis dari Malaysia, Brunei, Singapura. Dia juga menerima penghargaan Acarya Sastra IV dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2015. Karya sastranya berupa buku kumpulan puisi adalah Tergantung Di Langit (2006), Nitisara (2008), Kitab Hujan (2010). Beberapa karya sastranya berupa puisi dan cerpen tergabung dalam Menggenggam Cahaya (2009), G 30 S (2009), Empat Amanat Hujan (2010), Penyair Tali Pancing (2010), Hampir Sebuah Metafora (2011), Kado Sang Terdakwa (2011), Gadis Dalam Cermin (2012), Rindu Ayah (2013), Rindu Ibu (2013). Dan beberapa novelnya adalah Anonymous (2012). Cinta Bukan Permainan (2013). Cinta itu Kamu (2013). Love on the Sky (2013). Kerajaan Hati (2014). Kekasih Impian (2014). Cinta di Usia Muda (2014). Kumpulan Cerpennya, ilusi-delusi (2014), Jari Manis dan Gaun Pengantin di Hari Minggu (2016), Chicken Noodle for Students (2017). Tahun 2017 dan 2018 tiga bukunya terpilih sebagai buku bacaan pendamping kurikulum di SD dan SMA/SMK dari kemendikbud yaitu berjudul, Telolet, Aku Ingin Sekolah dan Kids Zaman Now. Dia bisa di sapa di pos-el, nitisara_puisi@yahoo.com. Dan di akun medsos pribadinya dengan nama Nana Sastrawan. Atau di situs www.nanasastrawan.com. Karya lainnya seperti film-film pendek dapat ditonton di www.youtube.com.

5871077136017177893