“Saya kira pada waktu-waktu yang paling buruk itulah
saya menulis puisi. Saya kira bukan puisi, tapi hanya semacam puisi.”
Itulah
pernyataan Hanna Fransisca dalam pengantar buku antologi puisinya yang berjudul
‘Konde Penyair Han’. Setelah kelahiran buku puisi pertamanya itu, Hanna
menjelma penyair perempuan dengan kesadaran mempertahankan integritasnya pada
kebudyaan leluhur. Dia melanglang ke dunia sastra dengan karakteristiknya
sendiri. Beberapa penghargaan pun dia raih, satu di antara bukunya meraih
penghargaan Sayembara Anugerah Buku Puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia, itulah
sebabnya kepenyairan Hanna semakin kokoh dalam sastra Indonesia.
Pada buku ‘Hari Raya Puisi’ yang memuat
sepuluh judul puisi Hanna Fransisca, saya menemukan hubungan kuat dengan karya-karya
sebelumnya. Tampak di sana Hanna menghadirkan sesuatu yang biasa namun serius.
Kita dirangsang untuk berpikir, diperdayai melalui puisinya yang menyampaikan
pesan kultural. Oleh karena itu, terbuka peluang bagi puisinya untuk
ditafsirkan bermacam-macam. Tema puisinya biasa saja, akan tetapi menghadirkan
problem yang komplek tentang konflik batin dan perubahan sikap yang dilatari
oleh kehidupannya dalam tarik menarik antara ke-Tionghoan dan ke-Indonesiaan. Meskipun
demikian dalam beberapa puisinya Hanna memasuki wilayah tema umum tentang
kehidupan sosial perkotaan. Gambaran tersebut tampak pada puisi ‘Kota Suci’
berikut ini.
Jalan menuju kotamu,
rawa-rawa di sekelilingnya. Langit lurus, pohonan mampus.
Tak ada kelinci, tak ada bangkai ikan mujair, hanya
senapan untuk
memangsa
kawanan burung.
Asap dari langit seperti ayat,
sisa sayap serangga, bangkai semut
dan legenda para cacing
yang hilang
pada suatu malam.
Tak akan kautemui pabrik arak,
tak ada pelacur, bahkan patung-patung berhala roboh
pada suatu masa:
Dulu, ketika anjing
peliharaan masih ada. Dulu, ketika huruf-huruf latin masih dipakai untuk
menuliskan kisah bahagia. Dulu, ketika lelaki
perempuan
masih bebas berciuman
membicarakan dunia.
Jangan pernah bernyanyi
di jalan kotamu. Sebab suara
tembakan akan menggantikan
seluruh nada.
Di radio, hanya tinggal
nasehat
dan doa-doa.
Sebelum engkau pesta
akhirat:
saling membunuh,
antar saudara.
Puisi
ini tersirat menampilkan tema yang komplek. Hanna membidik peristiwa besar
dengan persoalan-persoalan di dalamnya disajikan secara rumit. Hanna fokus
terhadap persoalan manusia, isu sosial dan ketidakadilan. Kehidupan kota yang
keras dihadirkan oleh Hanna dengan begitu lugas, lalu ia membungkusnya dengan
harapan, bahwa kota bisa saja menjadi suci tanpa dosa. Namun, apakah itu memang
hanya semacam impian semua orang, atau sebenarnya Hanna hendak menyampaikan
sesuatu isu yang tengah berkembang baru-baru ini, dia membungkusnya dengan
metafora.
Jika
kita cermati puisi selanjutnya, Hanna memang hendak menyampaikan peristiwa
besar yang terjadi di kota, mungkin kota Jakarta. Puisi ‘Ziarah ke Kota’ pada
bait pertama, Engkau pamit pergi ke kota,
membawa kalung temanmu/yang beda agama. Larik itu mengisyaratkan hubungan
persoalan toleransi dengan peristiwa keagamaan di kota Jakarta. Ada semacam
kritik di dalam puisinya itu, bagaimana dia lirik memiliki seorang teman yang
berbeda agama di kota, kemudian dia pergi untuk mengunjungi kuburannya. Akan
tetapi, keluarganya, orang-orang disekitarnya melarang dan menertawakan. Hanna
ingin menyampaikan sesuatu yang suci, bahwa sesama manusia mestinya saling
menghormati dan menghargai. Di larik terakhir puisinya, Tak ada nama temanmu di sana/Tapi jasadnya terbaring mesra/di dalam
hatimu. Teka-teki penggunaan dia lirik dalam puisinya itu pun seolah hendak
menyampaikan bahwa mereka yang berbeda agama semestinya selalu ada di dalam
hati setiap orang beragama, dijaga haknya sebagai manusia, sesama makhluk
ciptaan Tuhan.
Hal
tersebut tidak hanya terhenti pada persoalan intoleransi, tapi juga pada
persoalan kekerasan dan kerusuhan sosial. Puisi ‘Anjing Punya Rika’ terasa
getir dan sunyi. Peristiwa kekerasan yang muncul pada puisi ini sebagai bentuk
ironi dan sebagai pertanyaan retoris, mengapa kita saling menyakiti hanya
karena rasa takut, benci atau dendam? Simaklah puisinya!
Anjing punya Rika, pergi
minggu lalu
Kedinginan
kelaparan
kena hujan
dan punggungnya luka
dilempar batu
Seorang anak pulang dari sekolah
Ia patuh ajaran Pak Guru,
“Untuk menjadi anak berani, harus belajar melempar anjing.”
Anjing punya Rika, memandang
ke kejauhan, Menggigil kedinginan,
di bawah halte bis antar
kota
Punggungnya luka
memandang dunia
Cukup
jekal bahwa Hanna hendak menyampaikan hal yang biasa terjadi namun memiliki
makna yang luar biasa. Ya, ada pertanyaan selanjutnya setelah membaca puisi
tersebut. Mengapa untuk menjadi berani harus melukai?
Berbeda
dengan puisi ‘Anjing Punya Saya’, naluri kebinatangan ditempelkan pada aku
lirik, Hanna menunjukan bahwa setiap manusia memiliki sifat kebinatangan yang
senang mencakar, menerkam, memangsa, dan saling membunuh tetapi bukan hanya
karena lapar, melainkan sifat itu dipelihara sehingga menjadi ambisi, dan
ambisi yang berlebihan berakibat pada kegilaan. Kau dan aku/sepasang anjing gila/menyalak/di kaki/ meja makan/Kita
tidak berebut tulang iga, tidak berebut daging/Kita hanya
senang/saling/mencakar.
Hanna
masih menyuarakan sikap kemanusiaan melalui puisi berjudul ‘Kucing Kecilku’.
Puisi itu seolah menunjukkan sikap apatis seseorang pada penghakiman keyakinan
antar individu. Ya, dengan kesadaran bahwa beragama adalah hak pribadi di dunia
ini, tak boleh ada pemaksaan kehendak keyakinan pada siapa saja. Pada larik, Ia menari bersama orang-orang suci/yang
berkumpul untuk membangun tembok agama/dari kata yang penuhi duka cita: “Pedang
menyala. Enyalah mata kafir. Najis Babi. Lendir anjing …” Larik ini
menegaskan bahwa ada semacam pemberontakan pada dirinya untuk tidak sepakat
pada fenomena keriuhan di negeri ini yang beratas-namakan agama tertentu. Bagaimanapun
juga puisi adalah simbol untuk menyembunyikan makna. Pesan-pesan yang sengaja
disembunyikan membuat puisi hidup menjadi bahan renungan yang sublim.
Puisi
berjudul ‘Musyawarah Katak’ semakin menegaskan bahwa penyair menolak agama
dijadikan senjata untuk saling menghancurkan. Sikap Hanna ini bisa saja
dilatarbelakangi oleh kultur leluhur. Namun, siapa pun pasti akan menolak
kehancuran dan permusuhan bukan? Hanna berdiri dengan menyimpan kultur leluhur
di belakangnya dan problem sosial yang kini di hadapinya. Bagaimana dia harus
bersikap?
1.
Nyanyi sore
di kolam kita
biar hujan tak lekas reda.
Putik belimbing daun talas
kamboja kuning
mekar serentak
2.
Gurih udara milik siapa:
kita bernyanyi,
untuk apa?
“Kita bernyanyi untuk semesta.”
“Kita bernyanyi
untuk manusia.”
Bukan. Bukan buat manusia.
Mereka tak akan mampu mendengar
suara. Mereka tak bisa mengintip sunyi,
yang menumbuhkan biji
di subuh hari
“Tapi mereka punya Tuhan.”
“Tapi mereka juga membakar pendosa,
yang berdosa di rumah ibadah.”
3.
Sore bahagia,
ranting dan pohonan
mendengar suara.
Di pojok kebun kolam kita:
Tuhan tersenyum
duduk di sana.
Dalam
puisi ini, metafora ditempatkan tidak hanya sebagai wadah persembunyian makna.
Ia juga memunculkan wujud estetika puitik. Itulah salah satu usaha membangun jurus
untuk menyadarkan emosi dan menggugah rasa kemanusiaan. Dalam hal ini ada usaha
untuk mengaitkannya dengan penyadaran beragama dan berketuhanan. Ada dialog
sesama katak yang membicarakan manusia, kemanusiaan dan ketuhanan. Ini
membuktikan satire yang dihadirkan begitu tajam.
Dalam
puisi berjudul ‘Perahu Kayu’ dan ‘Baju Orang Biasa’ ada kesan seruan atau ajakan
untuk menjadikan manusia dekat dengan kesadaran dirinya sendiri, dengan alam, dan
denganTuhan. Peristiwa pegunungan, hutan dan keheningan orang-orang dusun
membawa kerinduan pada kedamaian. Pikiran Hanna seolah tak ingin sesak oleh
keruwetan, kerusuhan di kota besar. Dia seakan ingin mengajak kita berdamai
untuk dirinya sendiri, meskipun terkadang mesti menelan kepahitan dalam
menjalankannya.
Peristiwa
dalam puisi terkadang sama namun tafsirnya berbeda. Dalam puisi berjudul ‘Malaikat’.
Peristiwa dalam puisi itu terkesan seolah-olah tidak ada hubungannya dengan
judul.
di tanah
cuma cacing mengeliat
sisa hujan
daunan busuk
rengat kayu
di antara suara guntur
tengah hari
laba-laba memintal jerat
serangga terbang
burung elang lapar
anak ayam menciap
dan petir meletus
di telinga
antara rimbun padi
air mengering
dan ular merayap
menuju rumahmu
Begitulah,
kata bisa menciptakan citraan yang berbeda, bergantung pada tombol mana yang
ditekan untuk merangsang memori. Kualitas memori pun dilatari oleh kekayaan
pengalaman masing-masing. Hewan-hewan yang dimunculkan pada puisi ini seolah
menjadi simbol untuk menggiring pembaca kepada Malaikat. Lalu pertanyaannya
adalah apakah malaikat di sini sebagai wujud, atau sifat-sifat malaikat? Nah,
di sinilah pentingnya suatu jembatan agar puisi tersebut dapat dimaknai secara
utuh. Hanna seolah sengaja melakukan itu semua sebagai hal yang biasa. Begitu
pun dengan puisi ‘Kuburan Batu’ terasa aroma kegelapan menyelimuti puisi
tersebut, sehingga naruli puisi yang menghidupkan seakan menjadi mati seperti
kuburan pada wujudnya, diam tak bergerak.
Berbeda
dengan ‘Puisi Mei’ pada bait pertama Hanna menjadikan seorang anak sebagai
tokoh. Anakku menulis puisi/Dengan tinta
merah/serupa darah. Permulaan puisi itu membawa kita ke hal yang
mengerikan. Mei, adalah namanya, dijadikan tanda untuk menarik dalam konteks
peristiwa Mei 1998. Ada semacam kegalauan pribadi yang tak bisa ditahan sehingga
melahirkan kecemasan peristiwa sejarah. Hanna, tak ingin menjadi seorang diri
yang menjadi saksi, dia menutup puisinya dengan bait, Ia tak tega/jika dari matanya/menyimpan saksi/kobaran api.
Sementara
puisi berjudul ‘Daun’ memberikan aroma semesta yang terasa kental. Hanna
menghadirkan makna yang membuat diri kita menyadari sebagai manusia. Makhluk
yang diciptakan Tuhan tanpa keabadian. Pada larik; Ia ingin kembali/menjadi bumi, muasal ia/dilahirkan. Daun yang
jatuh menyimpan makna bahwa manusia akan kembali ke tanah. Puisi ini seakan
menutup dari puisi-puisi di atas, bagaimanapun manusia hidup dengan segala
pikirannya, prilaku, dan kebudayaannya. Mereka pada akhirnya kembali kepada
sang pencipta dan harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Demikianlah
puisi-puisi Hanna dalam buku antologi puisi Pemenang Anugerah Hari Puisi
2013-2017 yang diciptakan olehnya pada tahun 2017. Tampak jelas jika Hanna
hendak memberikan pandangan bahwa dalam diri manusia memiliki sifat-sifat kebinatangan,
dan puisi hadir sebagai agama untuk mengingatkannya.
Jika
dia menulis puisi pada waktu yang paling buruk, dapat diakui kegelisahannya itu
pada setiap kata yang dituliskannya, pada peristiwa yang dihadirkannya, pada
tema yang diutarakannya. Hanna seorang penyair yang membaca, tidak hanya
buku-buku sastra, melainkan hal-hal lain yang hadir pada dirinya. Peradaban
kota, persaingan hidup telah membentuk dirinya memiliki kekuatan untuk berdiri
tegar sebagai penyair.
Desember, 2018
comment 0 komentar
more_vert