Nana
Sastrawan
SIAPA yang mau
dengan sukarela melintasi gurun pasir yang terik dan kering ini? Saya yakin
hanya orang-orang gila yang melewati tanpa imbalan. Tetapi, lain cerita jika
mendapatkan hadiah berkeping-keping emas.
Sudah satu minggu kabar terdengar ke
telinga Abu Jail, bahwa setiap pemuda yang dapat melewati gurun pasir itu dan
menuntut ilmu di negeri seberang setelah melewatinya akan mendapatkan imbalan
berkeping-keping emas ketika pulang ke tanah air. Ini menarik, dan sangat
membuat para pemuda berduyun-duyun mencalonkan diri ke kerajaan.
“Abu Jail, mengapa masih duduk saja
di selasar? Mari kita ke pusat Kerajaan!” ajak seorang pemuda.
Sudah ke-sembilan puluh sembilan
pemuda yang mengajaknya untuk segera mencalonkan diri ke kerajaan, dan Abu Jail
belum beranjak dari selasar masjid, ia hanya duduk memandang daun-daun jatuh ke
halaman masjid. Semestinya, ia berangkat bersama pemuda lainnya untuk menuntut
ilmu.
Ada apa dalam pikiran Abu Jail?
Bukankah menuntut ilmu adalah kewajiban? Ke-sembilan puluh sembilan pemuda itu
masih mencari jawaban dalam perjalanan menuju kerajaan. Setiap pikirnya
membilang-bilang pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Namun, disela pikirannya
ada juga yang bercakap-cakap tentang rencana setelah mendapatkan hadiah dari
Raja.
“Saya hendak membeli tanah setelah
pulang menuntut ilmu,” kata seorang pemuda.
“Saya mau kawin setelah mendapat
emas itu,” ucap pemuda lainnya.
“Saya akan bangun rumah istimewa,”
sahut yang lainnya.
“Saya akan beli ternak,”
“Saya…”
“Sa…”
Percakapan itu menjauh, angin semilir menerpa daun-daun yang terserak di
halaman masjid. Abu Jail mengambil sapu lidi, lalu ia menyapu daun-daun jatuh
hingga halaman masjid bersih kembali, tak ada yang dirisaukan, tak ada gelisah,
seolah berita dari kerajaan itu hanya gossip baginya.
***
Di dalam istana, Raja
membilang-bilang mengira kehadiran para pemuda bakal calon penuntut ilmu ke
negeri seberang, negeri yang makmur, memiliki banyak cendikiawan. Namun, negeri
itu terpisahkan oleh gurun pasir yang sangat terik sehingga jarang para
penduduk negeri ini pergi melintasi gurun untuk mencapai negeri seberang. Bibir
raja menghitung jumlah pemuda lalu menggelengkan kepala.
“Penasehat!” panggilnya.
“Hamba tuanku Raja,” jawap
penasihat.
“Saya mau satu orang lagi, agar
genap seratus.”
“Baik tuanku Raja.”
Penasehat itu mengumumkan kepada
para pemuda untuk mencari satu bakal calon penuntut ilmu lagi, semua saling
pandang—semua saling bisik. Betapa sulit mencari satu orang lagi untuk
mengorbankan diri terpanggang panas matahari di gurun pasir, tak ada yang mau,
tak ada yang sanggup. Hingga tiga hari kemudian, empat hari kemudian, lima hari
kemudian dan satu minggu tak ada bakal calon yang datang ke kerajaan.
Akhirnya, Raja mengumpulkan kembali
ke-sembilan puluh sembilan pemuda itu, ia sudah putus asa dan pasrah karena
keinginannya tidak tercapai.
“Tidak ada lagi satu pemuda di
negeri ini?” tanya Raja dengan wajah murung.
Penasehat hanya diam—dia sudah
berusaha semampunya, namun tidak juga mendapatkan hasil. Tiba-tiba salah satu
pemuda berbisik-bisik dengan pemuda lainnya, peristiwa itu terlihat oleh Raja.
“Ada yang hendak kamu beritahu
kepada saya?” tanya Raja kepada pemuda itu.
“Maaf Tuanku, ada seorang pemuda
yang tidak mau menuntut ilmu,” jawabnya.
“Siapa dia?” tanya Raja, lalu
bangkit dari singgasananya, ia heran.
“Abu Jail.”
Raja murka. “Penasehat! Bawa Abu
Jail kehadapan saya!” perintahnya.
Dicarilah Abu Jail oleh seluruh
pengawal kerajaan hingga ditemukan sedang duduk di selasar masjid, lalu ia dibawa
kehadapan Raja. Disaksikan oleh ke-sembilan puluh sembilan pemuda.
“Abu Jail! Mengapa kamu tidak mau menuntut
ilmu?” tanya Raja.
“Saya bukan tidak mau, tetapi saya
punya pikiran sendiri bagaimana caranya menuntut ilmu,” jawab Abu Jail. Dia
sangat tenang.
“Apa pikiranmu?”
“Menuntut ilmu bukan perkara
imbalan, tetapi perkara pengorbanan.”
“Lalu?”
“Saya ingin Raja berkorban setelah
saya pulang dari negeri seberang.”
“Apa itu?”
“Membangun sekolah di seluruh
penjuru negeri ini. Karena akan percuma banyak orang pintar tetapi ilmunya
tidak bermanfaat bagi orang lain.”
Raja diam sejenak—ia tengah berpikir dan
menimbang-nimbang semua ucapan Abu Jail, sudah banyak memang para penduduk
negeri ini yang fasih ilmu agama, pandai berhitung dan pandai surat-menyurat.
Tetapi, baiklah permintaan Abu Jail disetujuinya demi memakmurkan negeri ini.
***
Ke-sembilan puluh sembilan pemuda
telah bersiap, membawa bekal yang cukup, air yang banyak dan alas kaki yang
tebal. Mereka akan melawan gurun pasir yang sangat panas, berkilo-kilo meter
jaraknya demi sebuah cita-cita, angan-angan dan keinginan diri mereka sendiri.
Abu Jail diantara mereka, dia hanya membawa sebotol air dan beberapa makanan
seperlunya, tampaknya dia yang tidak terlalu sibuk.
Pemuda-pemuda itu hanya menertawakan
Abu Jail, mereka kira Abu Jail memang sudah gila, mau mengorbankan dirinya demi
sesuatu yang bukan untuk dirinya. Akan sia-sia jika kita sudah berkorban
namun hasilnya bukan untuk kita, begitulah yang ada dalam pikiran para
pemuda itu, dia mau pergi melintasi gurun, demi sebuah imbalan.
Perjalanan dimulai, seratus orang berjalan beriringan ke tengah gurun
pasir, awal mula mereka riang dan gembira.
“Abu Jail memang sudah gila!” seru
seorang pemuda ke yang lainnya.
Ya, ini memang tidak wajar
dilihat—Abu Jail memasukan air seni-nya ke dalam botol ketika buang air kecil,
sedangkan para pemuda lainnya berbaris untuk kencing berama-ramai dan merasakan
kenikmatan setelah air seni itu terlepas, terkibas-kibas angin gurun. Kelakuan
Abu Jail akhirnya tidak dipedulikan oleh mereka, karena hampir setiap buang air
kecil, botol yang menampung seluruh air seni Abu Jail.
Seratus kilo meter…
Dua ratus kilo meter…
Tiga ratus
kilo meter…
Dan
seterusnya…
Para pemuda itu terlihat kacau di
tengah gurun pasir, keringat bercucuran, bekal makanan dan minuman sudah habis,
tak ada yang tersisa, kulit-kulit mereka terbakar. Bekal yang banyak tak dapat
dipertahankan dalam perjalanan yang sangat melelahkan, mereka akhirnya tak
kuasa meneruskan perjalanan, dan tak sanggup juga untuk kembali pulang. Setiap
dari mereka jatuh pingsan, kepanasan.
Hanya Abu Jail yang masih berjalan
walau dengan tertatih, persediaan air minum sudah habis, ia hanya bertahan
dengan air seni milik dia sendiri. Ketika haus air itu menjadi pelepas
dahaganya, hingga akhirnya dia dapat mencapai negeri seberang, lalu disambut
oleh para cendikiawan di sana, menuntut ilmu hingga akhirnya pulang ke negeri
asalnya dan membangun sekolah-sekolah untuk para penduduk untuk belajar. Ilmu
adalah setetes air di tengah gurun pasir, dapat membuat sejuk ketika kehausan.
2013
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert