Tak sanggup
aku sembunyi. Dari semua peristiwa yang tengah aku alami, hari-hari yang
menyenangkan akan berubah menegangkan ketika memasuki halaman rumah. Tidak ada
lagi penyambutan dari mamah dan papah ketika aku pulang dari sekolah, seperti
dulu. Sekarang kaki ini beku. Seolah
melangkah ke rumah, adalah memasukan diri ke dalam sebuah penjara. Namun, aku
belum bisa menghindar, aku harus masuk ke dalam rumah.
Mata ini memandang halaman rumah,
ada yang aneh. Semua di dalam rumah gelap-gulita. Apa mungkin mamah dan papah
akan membuat kejutan untuk hari ulang tahunku ini? Seperti juga teman-teman di
kampus yang membuat aku menangis terharu. Kuberanikan diri masuk ke dalam
rumah, pintu tidak terkunci. Aku menyalakan korek api, agar jalan yang akan
kulalui terang-benderang.
“Mah, Pah!” panggilku.
Namun tak ada jawaban, rumahku ini
berubah sunyi, seperti memasuki kuburan. Kuraba-raba tembok, agar aku tidak
tersandung.
“Mah, Pah! Kok gelap sih?”
Tetap saja tak ada suara yang
menyahut. Hanya mataku menangkap sekelebat bayangan, jantung ini
berdebar-debar. Kuangkat korek api lebih tinggi, agar api dapat menerangi lebih
jauh dari jarak pandang.
Ini hari ulang tahunku, apa mungkin
mamah dan papah membuat kejutan untukku? Tentu sangat menyenangkan jika itu
terjadi, seperti dahulu, aku selalu mendapatkan kejutan ketika ulang tahun.
Dari kecil, ulang tahunku memang sering dirayakan.
Aku melangkah ke ruang tengah,
terasa sepi.
“Mah…”
Tak ada suara, jantung
berdebar-debar, ketakutan menyergap, aku tak ingin bertemu hantu, apalagi
sekarang sedang musim film-film hantu. Bisa-bisa aku melihat pocong, suster
ngesot atau genderowo. Sering sekali jika aku melihatnya di dalam rumahku
sendiri, lebih baik aku segera menuju kamar.
Akan tetapi ketika berbalik, aku
menubruk sesuatu.
“Aw… jangan ganggu aku, hantu!”
jeritku sambil memejamkan mata.
Sesaat hening.
“Kamu baru pulang?”
Aku memberanikan membuka mata,
dihadapanku papah berdiri sambil mengacungkan lampu baterai.
“Papah? Kok gelap semua sih?” hati
ini terasa lega.
“Mati lampu,” ucap papah sambil
melangkah dan meletakkan lampu baterai di atas meja.
Mamah muncul dari kamar, rupanya
memang mati lampu, tak ada kejutan ulang tahun. Aku menatap mereka, semua
biasa-biasa saja. Mungkin papah pergi ke dapur untuk mengambil lampu baterai
dan mamah menunggu di kamar. Aku masih berdiri, berharap ada pelukan hangat
dari mamah dan papah lalu berbisik mengucapkan selamat atas hari kelahiranku.
Tak ada yang terjadi. Semua membisu,
aku beranjak dari ruang tamu, menuju kamar tidur, dengan sebatang lilin yang
diberikan oleh mamah sebelum aku masuk kamar. Lilin kuletakkan di atas meja
belajar, sebuah poster W.S Rendra tengah membaca puisi terkena sinar lilin,
tampak gagah.
Inikah cita-citaku? Menjadi seperti
mereka? Bukan itu yang terpenting, bagiku menentukan nasib sendiri adalah hal
yang sangat perlu diperjuangkan. Negeri ini sudah kehilangan banyak hal, aku
tidak ingin menjadi orang-orang yang ikut menghilangkan. Aku ingin menjadi
pribadi yang bisa menemukan kembali, apa yang telah hilang itu.
Kurebahkan tubuh di atas kasur,
menatap poster itu dengan hati berdebar-debar. Entah apa yang membuatku
berdebar, mungkinkah kekagumanku tentang dia, atau ketakutanku untuk
mencapainya? Saat ini, aku juga merasakan kehilangan dalam diriku, kasih dan
sayang orang tua. Aku juga merasa takut menjadi anak durhaka.
Air mata perlahan menetes. Hari
ulang tahun yang sungguh menyedihkan, di dalam rumah seperti di dalam penjara.
Orang-orang yang dulu menyayangiku, mengejar-ngejarku telah pergi, aku tidak
memiliki siapa-siapa.
Trrtt… Trrrt… Ponselku bergetar.
“Halo!”
“Hey, sombong sekali yang sudah jadi
mahasiswa!”
“Raka?”
“Ternyata kamu masih ingat suaraku,”
kata Raka.
“Hehe. Tentu saja aku ingat, ini
nomormu yang baru?”
“Iya.”
“Ooh… kamu sekarang ada dimana?”
“Di dekatmu, coba kamu lihat ke luar
jendela!”
Aku bangkit dari tempat tidur,
membuka jendela, lalu menatap ke sekeliling luar rumah, berharap menemukan Raka
di sana, namun sepi.
“Kamu dimana?”
“Aku ada di langit,” katanya.
Dengan terheran-heran, aku
mengalihkan pandangan ke langit, kemudian kulihat kilatan cahaya dan meledak di
langit, kembang api berwarna-warni menghiasi langit malam. Hati ini bahagia sekali
menatapnya, dan kembang api itu berkali-kali meledak, menemani hati yang sunyi.
“Selamat ulang tahun, Bunga!”
Air mata yang menetes, berubah
menjadi kebahagiaan. Seperti hujan, Raka hadir menyirami jiwaku yang kering.
foto diambil dari ilalangkota.blogspot.com
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert