Ekologi dan Metafora Penyair
Nana Sastrawan
Manusia
memiliki perjalanannya sendiri dalam kehidupan ini. Terekam, menjadi ingatan.
Catatan-catatan dalam ingatan itu bisa saja berupa gambar peristiwa atau potret
anatomi tubuh sendiri, atau catatan-catatan kecil berupa cerita. Seiring waktu,
ingatan itu dapat diolah menjadi ide dan pemikiran, tinggal bagaimana manusia
itu mengolahnya untuk disampaikan. Salah satu media penyampaianya adalah karya
sastra. Jika kita cermati setiap karya sastra yang diciptakan oleh para penulis
Indonesia tidak lepas dari perjalanan panjang penulisnya atau berupa kesaksian
atas satu, serangkaian peristiwa yang terjadi pada zaman tertentu. Misalnya
(Sekadar merujuk satu nama) Pada puisi Chairil Anwar ‘Karawang Bekasi’. Itulah
sebabnya, dari karya sastra kerap ditemukan berbagai hal; tersirat atau
tersurat.
Jejak-jejak
penulis karya sastra Indonesia rupanya tidak terhapus atau tidak akan pernah
bisa dihapus. Jejak itu selalu dapat ditemukan oleh orang lain pada zaman yang
berbeda. Satu di antaranya Ni Made Purnama Sari, perempuan yang lahir di
Klungkung, 22 Maret 1989 memiliki rekam jejak karya di media yang mesti
diperhitungkan. Tidak hanya itu, sebagai perempuan dia tidak membatasi diri
dalam pergaulan. Dia sering melibatkan diri pada kegiatan sosial, sastra dan
pendidikan. Misalnya, mengikuti Program Penulisan Majelis Asia Tenggara
(MASTERA): Esai yang diselenggarakan oleh pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Kemendikbud RI (2009), Mentor Program Penulisan Esai dan Workshop
Kepemimpinan Tempo-Institue (2010), Temu Sastra Mitra Praja Utama (2010),
Festival Sastra Internasional Ubud
Writers and Readers Festival (2010), program Penulisan Writers Journey bersama para penulis Australia (2012) dan banyak
lagi kegiatan sastra yang diikutinya hingga saat ini. Tidak hanya aktivitas
kegiatan sastranya yang padat, karya sastranya berupa antologi puisi ‘Bali
Borneo’ masuk pada lima buku puisi pilihan Sayembara Hari Puisi Indonesia tahun
2014.
Buku
antologi puisi ‘Bali Borneo’ yang terbit Mei 2014 menjadi daya tarik untuk
didalami. Usia Ni Made tergolong muda, lalu apakah karya-karyanya bisa
dikatakan serius atau hanya semacam curhatan kegalauan pribadi dalam menjalani
kehidupannya. Puisi memang seperti jalan alternatif, membuka ruang ekspresi dan
menyuguhkan suara hati. Akan tetapi di sisi lain sebagai pergulatan estetis dan
tarik-menarik gelombang rasa yang melimpah. Gejolak perasaan itu harus
dikendalikan dan mesti diintegrasikan dengan pemikiran, dengan kualitas
intelek. Lalu, apakah Ni Made mencapai pada titik itu melalui puisi-puisinya di
dalam buku ‘Bali Borneo’?
Secara keseluruhan, ke-42 puisi yang terhimpun
dalam buku ‘Bali Borneo’ lebih merupakan
refleksi penyair dalam menjalani kehidupan. Pengembaraannya di negeri ini sebagai
orang urban yang berpergian ke berbagai daerah dan kota tersusun rapi dalam
larik puisinya. Kita dihadapkan pada kenyataan yang dialami penyair, membacanya
seolah berada di dalam situasi yang disampaikannya; marah, kesal, rindu, cinta
dan menderita. Perasaan-perasaan yang biasa hadir pada diri manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Puisi-puisinya juga merangsang kualitas penalaran untuk
dipahami, penyair menciptakannya dengan balutan diksi dan metafora sehingga
perpaduan bahasa dengan rasa menyatu, kental, kenyal dan elastis. Asosiasi
pembaca diajak menelusuri pemaknaan sehingga menimbulkan tafsir-tafsir baru.
Akan tetapi, kefokusan penyair pada gejolak perasaannya menimbulkan masalah,
ada beberapa puisi-puisi yang gagal dimaknai sebagai ide dan pemikiran. Puisi-puisi
itu hanya menggambarkan suasana batin seperti rasa kagum kepada seseorang atau
tempat tertentu yang pada akhirnya mengabaikan sesuatu yang penting pada
peristiwa di dalamnya.
Sutardji
Calzoum Bahcri mengatakan kepada publik dalam bukunya ‘Siasat’ bahwa puisi sebagaimana
halnya imajinasi adalah upaya pembebasan dari realitas, karena itu ia
membutuhkan realitas. Eksistensi imajinasi hanya mungkin bila terpaut dengan
realitas.
Ya, puisi-puisi Ni Made tampaknya tercipta dengan suatu realitas yang
dihidupkan kembali oleh imajinasi.
Mari
kita simak puisi berjudul ‘Borneo’ (hal 1).
Pada sebuah majalah wisata
Di ketinggian langit pesawat
Kupandangi wajah murung seekor orangutan
Dan hijaunya tumbuhan kantong semar
Di mana lebah terbujuk maut yang kesekian kalinya
Aku menelusup ke dalam matanya
Berada
di rimba raya
Terasa sekali, aku bukan lagi siapa-siapa
Entah muasal, atau hendak ke mana
Dari gemerlap kunang-kunang pada anganku
Aku buat satu sekoci dan kuarungi sungai-sungai
Menembus lahan gambut, menembus sepi kabut
Menembus waktu yang menyesatkanku jauh kemari
Suara-suara menggema dalam rimba tak bernama
Alir sungai, bening sungai, membayangkan pandangku
Melamunkan wajah siapapun
Yang entah pernah kukenal
atau
tak pernah kukenal :
Wajah para pelaut yang sunyi ditikam karam
Wajah para ibu yang tak henti menatap maut
Bila kusentuh bayang air itu
Kembali ia memantulkan malam semata
Hingga muncul lagi wajah orangutan
Penuh kasihan pada diriku
Dituntunnya aku pada lembar-lembar yang lain
Pada lembah, pesisir pantai, dan gua-gua rahasia
Menuju dunia yang lagi-lagi tak bisa kuingat
Gelap dalam penyap
Di ujung halaman, orangutan lain telah menanti
Menyeru kesekian kali, menunjukan hijau dahan-dahan
Juga biru langit dingin kabut
Di ketinggian langit pesawat
Sambil memandang wajah murung orangutan
Betapa inginnya aku kembali pulang
Puisi
itu hadir dalam renung imajinasi namun mengurai realitas pada larik-lariknya.
Realitas yang teraktualisasi mengalir dalam kenyataan sehari-hari. Puisi di
atas berhasil menggiring pikiran pembaca untuk masuk kepada pengungkapan
penyair yang serupa kritik terhadap kelangsungan hidup makhluk lain selain
manusia. Misalnya wajah murung seekor
orangutan, lebah terbujuk maut yang mempresentasikan bahwa kehancuran hidup
mereka adalah awal dari kesengsaraan hidup orang sekitarnya. Ya, hubungan alam
dengan manusia tidak bisa dipisahkan. Alam tanpa manusia akan membusuk, begitu
pun dengan manusia tanpa alam akan mati kelaparan.
Simbol-simbol
lain yang dbisa ditafsirmaknai sebagai peristiwa perubahan kehidupan manusia di
peradaban sekarang. Pada larik, Wajah
para pelaut yang sunyi ditikam karam/ Wajah para ibu yang tak henti menatap
maut. Kritik yang lembut namun menusuk tajam, di satu sisi digambarkan
begitu hijaunya pulau Borneo di sisi lain kesengsaraan terjadi di tengah-tengah
kesuburan.
Sepertinya,
Ni Made memang ingin menjadikan alam sebagai kata kunci yang penting pada
puisi-puisinya. Alam sebagai sumber metafora yang menyatu pada dirinya, atau
memang pada proses penciptaan puisi, Ni Made selalu dihadapkan pada peristiwa
yang dekat dengan alam dan kesunyian sehingga dirinya tersedot dan melarut.
Puisi
selanjutnya berjudul ‘Sajak Agustus’ (hal 12) lagi-lagi alam menjadi balutan
metafora.
Ada batu di sungai
Sendiri di air
Siapakah ia
Pertapa atau cuma
seekor ikan durhaka?
Sebuah ranting terjatuh
terbawa arus
adakah ia
untuk
kita?
Sebuah sampan nelayan
tak pergi ke hulu
atau ke tepian yang teduh
mengayuh menempuh buih
Kita tak punya sampan
atau kata-kata
Cuma punya tanya
sungai mengalir, entah ke muara
atau ke laut yang sia-sia.
Ada batu di sungai
dan ranting kayu
menolak terbawa arus
Metafora
batu, sungai, air, ranting kayu dan
peristiwa yang terjadi pada puisi di atas seperti sedang menampilkan misteri
kehidupan sehari-hari atau menggabungkan kata-kata dengan misteri kehidupan
yang terjadi di bulan Agustus. Dengan kata lain Ni Made seolah sedang
berhadapan atau menghayati suatu situasi kemanusiaan atau alam tertentu atau
suasana kehidupan manusia. Namun, perjalanan meraih kebebasan makna pada puisi
tersebut terasa tumpul. Misalnya pada larik Ada
batu di sungai/ Sendiri di air / Siapakah ia/ Pertapa atau Cuma / seekor ikan
durhaka? Terasa begitu gelap, bagaimana mungkin di sungai ada batu sendiri,
dan bagaimana mungkin ikan durhaka, terhadap siapa ikan itu durhaka? Jelas
terbaca puisi ini mengalami problem logika. Sehingga makna yang terkandung di
dalamya tidak dapat dimaknai secara jernih atau terasa begitu gelap.
Hans Bertens,
penulis buku Literary Theory the Basics
(2008) mengatakan bahwa peran alam,
bagaimanapun, tidak terbatas pada barometer moral. alam dapat muncul dalam
peran estetika, dikagumi karena keagungannya, keindahannya yang tidak terlalu
menakjubkan atau
bahkan untuk kelembutan yang sepenuhnya tidak mengintimidasi. itu mungkin
dipuji karena keasliannya dan kualitasnya yang murni mungkin sangat berbeda
dengan pemandangan alam yang diciptakan
manusia.
Penempatan ikan durhaka sejujurnya
tidak tepat dan mengganggu pada makna keseluruhan puisi yang telah dibangun
dengan kehidupan estetika alam.
Akan
tetapi, pada puisi ‘Rumah Kaca’ (hal 27) bisa dikatakan berhasil menggabungkan
antara kehadiran lingkungan atau alam sebagai sarana pembingkai dengan kehidupan
sosial manusia.
Rumah kacaku
menunggu di akhir halaman.
Di dekatnya sebatang pohon,
perdu limau, semak kayu manis:
kelopak bunga
gugur
dalam tangkainya
Di seberang dinding
Kuhibur
riang
Bagai murung memanggil pulang
Di ujung pilu,
Kehilangan
datang
dengan senyum roti-roti masa lalu
Aku menulismu kini
karena hujan hari tiada lagi:
Hujan hari
yang melambungkan angan
ke
ranting
hujan hari dengan cermin
bayangan
semua orang
hujan hari dengan lari kecil
burung
pagi
lari
samar yang enggan bulan
Pohon nangka makin tinggi,
helai
cempaka gugur pergi
halaman kini
hanya ada dalam sajakku.
Persitiwa
alam pada puisi di atas diibaratkan budaya yang natural terjadi dengan
keindahannya. Sementara rumah kaca dapat disimbolkan sebagai peradaban yang
diciptakan manusia. Mereka berdampingan dan menawarkan pemaknaan yang lain. Dua
kebudayaan ini bersanding, bagaimana alam hadir dengan segala isinya dapat
memberikan kesejukan dan kedamaian, akan tetapi manusia hadir menjadi senjata
untuk merusak kedamaian itu. Fenomena kerusakan dan kehancuran dipresentasikan
dengan satu kalimat hanya ada dalam
sajakku, kalimat itu menegaskan bahwa peristiwa alam yang sejuk dan indah
itu hanya rekaan yang belum tentu terjadi pada dunia nyata, atau bisa jadi
telah menghilang dari dunia sebenarnya.
Hal
senada diutarakan pada puisi ‘Rumah Jean’ (hal 28) dunia fantasi tentang alam
sebagai potret keindahan dimunculkan sebagai bingkai puisi. Misalnya pada larik
Di antara akar beringin/ ada sebuah
kancing kelabu/ kemilau di bawah bulan/ Serupa cermin, kulihat wajahku/ bagai
gelombang sungai yang hijau/ mengalirkan tawa riang/ dua saudara kutilang/ yang
mempertengkarkan hampa. Kedalaman makna puisi tidaklah mesti dibangun oleh
kerumitan. Tidak pula menghadirkan metafora yang dikaitkan pada teks dan
konteksnya berada jauh. Juga tidak harus berusaha memasukkan pesan ke dalam
peti besi. Penyair yang baik adalah yang jelas melihat peristiwa dan jujur
dalam pengungkapannya.
Puisi-puisi
Ni Made juga mengisyaratkan tidak hanya kepentingan manusia yang dipahami
sebagai satu-satunya kepentingan. Tempat yang memiliki peristiwa penting pun
dibidiknya sebagai catatan puitik. Pengalaman dirinya seolah tidak ingin
menguap dan hilang diterbangkan angin. Ada beberapa puisi yang menceritakan
perjalanan dan peristiwa penting yang pernah dialami olehnya. Seperti Lantai Atas Stasiun Gambir, Jalan Veteran 1,
Juanda, Depan Art Café, Karet dan lainnya.
Sitor
Situmorang dalam esainya tentang Angkatan 45 yang berjudul ‘Konsepsi Seni
Anggkatan 45’ mengatakan bahwa “Kegelisahan tanda Hidup’. Substansi tulisan
Sitor itu hendak menegaskan perbedaan semangat Angkatan 45 dengan angkatan
sebelumnya. Selain faktor momentum, dalam diri sastrawan Angkatan 45 juga ada
gejolak elan vital, ada semangat hidup untuk mencipta, ada kegelisahan untuk
berkarya. Maman S Mahayana mengelaborasi pernyataan Sitor dan mengatakannya
dalam buku Jalan Puisi dari Nusantara ke
Negeri Poci (2016) bahwa Kegelisahan tanda hidup itulah yang memaksa
manusia terus memelihara dinamika dan berkembang dengan berbagai
kreativitasnya. Itulah yang menyebabkan para penulis—sastrawan, terus berkarya
sepanjang usia. Tak ada kata pensiun bagi penulis selama nyawanya belum
melayang. Dan kegelisahan itu lahir dari sebuah elan yang datang bukan sekadar fanta rei, segalanya mengalir dinamis,
melainkan juga mengalir dengan semangat membangun sesuatu yang baru, mencipta
dan menegakkan monumen.
Boleh jadi, Ni Made berada pada posisi gelisah sepanjang perjalanannya ketika
menyusurui berbagai tempat, atau sekadar singgah.
Selain
puisi-puisi yang disebutkan di atas berkategori nama tempat, ada beberapa di
antara puisinya yang membuka kesadaran bahwa kegelisahan penyair menjadi
pengalaman batin yang estetik.
Simaklah
puisi berjudul ‘Jembatan Kota’ (hal 35).
Sehelai sakura menyentuh langit biru.
Ada riak kecil, sesaat menghilang
ditiup gelombang angin
Siapakah yang memberi nama
untuk semua burung camar
yang melayang hampa?
Barangkali payung seorang gadis
yang menunggu di jembatan
atau ilusi yang menyamar ranting pohon
Seandainya semua bisu
sebelum langit menjelma biru
bisakah lonceng bergema tiga kali
dan ribuan sakura berjatuhan?
Tapi hanya sehelai sakura
Yang menyentuh bayang langit biru
dan payung tertutup
Langkah kaki yang lincah
Bergegas di jembatan
Bukan ia
yang memberi nama untuk semua hampa
Sepertinya Ni Made konsisten mengungkapkan kegelisahan
dirinya dengan unsur alam, seolah-olah alam memang telah menyatu dalam dirinya.
Namun peristiwa dalam puisi itu pada akhirnya hanya sebagai bingkai yang
imajinatif. Tidak bisa dihidupkan sebagai puisi yang mengungkap fakta-fakta
kegelisahan yang erat kaitannya dengan jembatan kota, misalnya suatu peristiwa
sejarah yang berada di lokasi tersebut. Ni Made hanya menangkap peristiwa
keindahaan lingkungan sebagai sarana penyejuk jiwa. Dia seolah ingin
mengabarkan bahwa perjalanannya ke berbagai tempat hanyalah pengembaraan untuk
mencari kententraman jiwa, dia tidak ingin terlibat lebih jauh pada sejarah.
Seperti
puisi lainnya ‘Jalan Gajah Mada’ (hal 53).
Lebarkan jalan dan tanam pohon perindang
Tapi itu tak cukup kembalikan semua kayu
ke
hutan dan lautan
Tebing yang makin curam
jalan berliku tanpa tujuan
di sinilah kita tersesat dalam diri
dalam lambai daun-daun
yang melambungkan kita
ke ranting dan sarang burung
Bacalah papan iklan
dan kau akan tahu
betapa jauhnya kita dari rumah
Atau jauhkan tanganmu dari gerak
maka kau akan menyadari
waktu tak bisa mengubah ini.
Katakan saja jalan ini makin lebar
semua kota adalah jalan-jalan besar
dan semua orang kini tak punya rumah
kita akan melambang, bersarang
di
pohon perindang
serupa hutan serupa rumah
Jalan ini adalah kasih sayang yang lepas
di bulan tinggi
atau letih yang menunggu
setelah
hujan
tak menghampakan siapa-siapa
maka mungkin kita akan tahu :
kini kehilangan esok yang tiada
Puisi
ini sedikit banyaknya mengungkap keadaan suatu jalan yang bernama Gajah Mada.
Awalnya ada kecurigaan untuk mengungkapkan fakta sejarah tentang Gajah Mada,
atau mungkin saja penyair akan menghubungkan tokoh Gajah Mada dengan jalan di
suatu kota. Namun ternyata penyair tidak mengolah sudut pandang tersebut pada
proses penciptaan puisinya. Pada larik awal, Ni Made sudah memberikan
pernyataan keras, kritik terhadap keadaan yang terjadi di Jalan Gajah Mada.
Bisa jadi Ni Made sedang berada di jalan
tersebut dan menyaksian keadaan sekitar yang menggugah hatinya untuk berbicara
melalui puisi. Atau, dia memang sedang merindukan rumahnya dan merasa terasing
berada di suatu tempat yang jauh. Pada larik di sinilah kita tersesat dalam diri/ dalam lambai daun-daun. Dipertegas
lagi dengan larik berikutnya Bacalah
papan iklan/ dan kau akan tahu/ betapa jauhnya kita dari rumah. Ketika
perasaan seorang penyair tersentuh, maka wilayah kepekaannya akan tajam. Dia
bisa saja menjadi orang yang sangat tersakiti, atau orang yang merasa bersalah
dan menyesal. Kolaborasi perasaan
penyair dengan peristiwa sekitar dapat menghasilkan karya yang menyentuh.
Latar
pada puisi tersebut adalah kota yang padat, sesak. Kendaraan yang berada di
kota semakin banyak sehingga jalan-jalan yang tadinya sempit harus diperlebar
mengorbankan rumah-rumah di sepanjang jalan. Bahkan, mungkin saja rumah-rumah
sekitar beralih fungsi menjadi kantor-kantor. Pada puisi ini, Ni Made
menggunakan simbol-simbol alam tidak sekadar menjadi alat permainan semata,
melainkan suatu peristiwa yang sebenarnya terjadi untuk mengajak semua pihak
mencintai makhluk alam.
Ni
Made sadar bahwa menjadi penyair semestinya menyatu dengan lingkungan, alam dan
lainnya. Kepekaan hatinya jika berada di tempat-tempat tertentu selalu
menghasilkan bait-bait puisi dengan diksi dan metafora yang sederhana namun
menyatu dan seimbang dengan pikiran. Mungkin, dia memang jujur mengungkapkan
perasaannya pada puisi. Seperti pada puisi ‘Kuil Taman’ (63)..
Sebatang pohon ara, empat pina
tiga
pohon abu
Inilah kuil taman puingmu
Segala yang silam, dirimu yang lalu
terperangkap dalam liang gua
pada sebuah buku yang terbuka
di
perpustakaanmu
Dulu pernah ada semak buah beri
di mana seekor musang menyelinap
bersembunyi dari tangan mungil sang waktu
tubuhnya
ringan menyelusup
jauh hingga ke pucuk bayang sehelai daun
Dan pada pukul enam sore
semuanya lindap bagai kata-katamu
bagai cahaya di belantara raya
tersamar pekik liar burung-burung malam
Sebelum dini hari di bawah mimpi pohon kastanye
siapa dari kalian yang menyamar bajak laut arabia
menghunus belati kayu, membuka semua pintu
mencari jalan rahasia menuju dongeng yang lain:
Kisah tentang sebuah kota di mana benda-benda
selalu bercerita darimana muasal mereka
sebelum agama melenakan mereka
bahkan sebelum tuhan ada
Atau tentang benua yang perlahan tenggelam
dan orangorang terlambat menuliskan namanya di sana
Tapi seekor kucing yang lelap di teras rumah
sekilas tampak terjaga, memandang kalian
mengeong seakan tengah mengigau
Cakarnya yang tumpul
tadinya membias cahaya bulan yang entah
Kini tak ada ayunan di kuil tampan puingmu
tak ada sarang burung yang terjatuh
menyimpan telur-telur yang sebentar akan menetas
Dan pada buku ini, di perpustakaan ini
gambar-gambar masa lalu
telah kabur warnanya
Satire
yang dibangun pada puisi itu sungguh halus, dia tidak ingin puisinya berubah
menjadi kebencian, seperti alam raya yang tak menyimpan dendam kepada manusia
yang merusaknya. Alam raya selalu bergerak sesuai hukumnya. Ni Made
menggabungkan dunia khayal dengan dunia nyata, sehingga puisinya bergerak di
awang-awang. Personifikasi yang dibangun dari benda-benda alam seolah ingin
menunjukan bahwa puisi yang diciptakannya memiliki makna lain dari kehadirannya
di tempat tersebut.
Berbeda
dengan puisi berjudul ‘Sebuah Jalan di Klungkung’ (hal 51). Ni Made
menghadirkan ‘aku lirik’ seorang tokoh kartun yang dihidupakan. Seolah-olah dia
ingin mengisyaratkan bahwa puisinya tidak selalu berbicara tentang kegelisahan
dirinya atau hanya ungkapan kegalauan semata yang dibungkus dengan metafora,
imaji, simbol, paradoks, ironi atau majas lainnya.
Tokoh kartun adikku meremas roti.
dengan sekeping uang di saku
koin pemberian ibu.
Ada banyak pohon cemara
seperti dalam sajak masa kecilnya
penuh awan putih, sesekali tercerai
karena angin dan cahaya matahari
Tetapi tak ada sarang burung mungil
yang sendirian menunggu induknya
Sedangkan di jalan kecil
rumput membimbing seekor ulat yang tersesat.
Anak itu menatapnya, membayangkan drinya
seperti daun-daun kecil di jalan yang lengang.
Masing-masing membayangkan hujan,
dan tangisan tersembunyi seekor kupu-kupu.
Orang-orang berjalan tergesa
menepis dingin hujan
tanpa tangan ibu
terjatuh di tangga berlumut
tak ada sedu kanak-kanak yang manja
atau permen hadiah masa lalu
Begitu juga dirinya.
Ia menerawangkan koin itu
mencari-cari senyum ibu
tetapi selalu hujan menghapusnya
seperti tangannya
yang mengibaskan tetes hujan
Pada
bait pembuka, Ni Made menyajikan sesuatu yang berbeda dari puisi-puisi
sebelumnya. Dia mulai bermain dengan karikatur. Tokoh kartun adikku bisa saja dimaknai sebagai tokoh kartun yang
diciptakan oleh adiknya, atau adiknya yang menjadi kartun. Dengan begitu,
pilihan penyair memulai puisinya dengan pewartaan. Kemudian, penyair
menggambarkan suasana di dalam diri ‘aku lirik’ maupun di luar diri ‘aku
lirik’.
Pada
larik Sedangkan di jalan kecil/ rumput
membimbing seekor ulat yang tersesat./ Anak itu menatapnya, membayangkan drinya
/ seperti daun-daun kecil di jalan yang lengang. Metafora ulat menjadi simbol ‘aku lirik’ oleh
penyair untuk menggambarkan keadaan psikologi si Anak. Nuansa kepedihan,
kesendirian dan kesepian pada puisi itu hadir lalu menjadi kebebasan bagi
pembaca untuk menafsirkan hal lain. Puisi yang ekstrem pada kegelapan
menciptakan pembaca untuk masuk ke dalam kemerdekaan berpikir. Tentu saja jika
membaca puisi-puisinya dari awal ada kejenuhan karena tema-tema yang dihadirkan
oleh penyair nyaris serupa.
Puisi
itu seolah membuka kerinduan Ni Made pada kehidupan harmonis di dalam keluarga.
Pada pengembaraannya yang jauh dari rumah, dia mengharapkan pulang ke rumah
untuk bercengkrama dengan keluarga, bisa saja ayah, ibu, kakak dan adiknya.
Kerinduan itu hidup pada puisi ‘Mawar Ibu’ (hal 57).
Sekuntum mawar merekah dalam sajakmu
Sekuntum mawar, yang ingin larut dalam waktu
Keluhnya menyentuhku
Dan meruntuhkanku bagai sebuah rumah kartu
Dari sebuah buku
Ia tumbuh sebagaimana bunga di taman-taman
Sungguh mewangi, bagai harum embun
sebelum
badai bulan Januari
Di mana seekor kucing terlelap
Mengayun mimpi seharian
Dan tikus-tikus muncul dalam tidurnya
Membujuknya mencari ibu
Yang konon menanti pagi di cerah Februari
Bunga itu tumbuh merekah
Bersama seorang pendeta yang mengulur umur
dengan
mantra lama
Jadi saksi pemakaman siapa saja
Diusapnya peti mati orang-orang
Bagai membelai mautnya sendiri
Sekuntum mawar itu tak mau melayu
Durinya menyayat tanganku
Seperti kecupan kekasih
yang
tak pernah mencintaiku
Seketika aku merindukan ibu
Yang tak jua mau menimangku
Mautlah yang lebih dulu menimangnya
Membelainya
Mengecupnya
Diksi
yang dihadirkan begitu indah, mengalir dan hidup. Meskipun penyair memilih
puisi sebagai mediumnya, tentu saja ia juga mesti mempertimbangkan media
ekspresinya dalam ruang estetika untuk meneguhkan efek puitik. Tanpa itu, ia
akan terperosok pada apa yang disebut artifisial. Perhatikan citraan
penglihatan Dari sebuah buku Ia tumbuh
sebagaimana bunga di taman-taman berkelindan dengan citraan penciuman Sungguh mewangi, bagai harum embun lalu
diteruskan dengan sebelum badai bulan
Januari.
Citraan
yang dibangun menghidupkan daya imajnasi, meliuk-liuk dalam pikiran sehingga
rasa batin ikut menyerapnya. Namun, siapa sangka di balik ilustrasi keindahan
itu sebenarnya ada sesuatu kenyataan yang pahit di akhir bait puisi, Seketika aku merindukan ibu/ Yang tak jua
mau menimangku/ Mautlah yang lebih dulu menimangnya/ Membelainya/ Mengecupnya.
Simbol
Sekuntum Mawar dihadirkan sebagai tokoh yang mempresentasikan semua yang
membaca puisi tersebut. Hanya saja, mawar identik dengan perempuan sehingga
puisi di atas terkesan sepihak, tidak dapat mewakili perasaan seluruhnya. Meskipun
puisi diciptakan sangat pribadi, namun pada akhirnya dapat menjadi perwakilan
pengalaman batin semua orang.
Perjalanan
Ni Made, seorang perempuan yang pergi dari rumah ke kota lain, kota yang jauh
dari tempat kelahirannya membuat dia semakin merasakan kesepian dan asing.
Atau, bisa saja memang ‘ibu’ yang dihadirkan pada puisi-puisnya sudah lebih
dulu meninggalkan dunia ini sehingga dia semakin merasa rindu di saat dirinya hidup
dalam kedewasaan dan kemandirian.
Kehadiran
puisi bagi Ni Made seperti obat untuk batinnya dari setiap perjalanan yang
dilalui. Ni Made seolah sudah memilih jalan penyair, jalan yang beliku. Pada
puisi ‘Aku dan Jiwaku’ (hal 67) terbaca makna tersirat antara hubungan dirinya
dengan puisi Aku mau pergi ke bulan/
dipuja penyair dan kekasih malam kasmaran/ atau da.tang ke lain dunia/ jadi
tukang pos kesepian/ tak jemu mengirim surat untukmu/ Aku dan jiwaku/ berbaring
berdampingan/ menanti pagi datang. Begitulah, dengan cara berpuisi, penyair
melakukan pencerahan setidaknya bagi dirinya sendiri.
Ya,
kerja menulis puisi adalah upaya menjadikan manusia sempurna. Meskipun upaya
itu harus berhadapan dengan realitas yang imajinatif, atau bermain imaji dalam
ruang realitas. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, sistem
politik dan ekonomi telah dicapai namun hingga sampai saat ini kenyataan dalam
kehidupan sehari-hari sedang menggerogoti sifat kemanusiaan dalam setiap
individu. Bisa jadi, karena inilah Ni Made memilih puisi-puisi menggunakan benda-benda alam agar
manusia menyadari tentang peran alam untuk kelangsungan peradaban manusia.
Akan
tetapi, Ni Made hanya terjebak pada latar dan peristiwa keindahan alam semata,
batinnya hanya diasah untuk peka terhadap kehidupan alam yang tenang. Sesekali
dia menyinggung rasionalitas kehidupan individu yang bertanggungjawab atas krisis
lingkungan. Eksploitasi alam yang semakin marak demi kemajuan ekonomi. Alam
dijadikan bahan barang untuk kebutuhan perdagangan. Isu-isu politik yang
mengakibatkan kehancuran alam, limbah-limbah industri dan perburuan liar
mencoba dihidupkan dalam puisi-puisinya. Namun dia tidak menghidupkan
benda-benda alam sebagai kehidupan tersendiri, terpisah dengan kehidupan
manusia.
Seperti
Oka Rusmini, penyair perempuan dari Bali pada puisi berjudul ‘Monolog Pohon’
(hal 49) di buku Warna Kita. Dimana Pohon sebagai benda alam menjadi hidup dan
berkomunikasi kepada manusia. Misalnya pada larik Pelukis itu merias wajah pohon/ kau diam, wajahmu dingin/ tanah yang
melingkariku/ menjadi batu. Lengkap dengan kegelapan warnanya/ aku kehilangan
warna tanahmu/ kata-kata patah, jadi bangkai/ menaungi kemudaan warna daun.
Benda-benda alam yang dihadirkan tidak hanya menjadi tempelan atau bingkai dari
sebuah peristiwa manusia semata, melainkan benda-benda itu hidup dengan sifat
dan karateristiknya. Bahkan di tangan Oka Rusmini, benda-benda alam itu bisa
menjadi pemberontak kepada manusia.
Meskipun
Ni Made sudah berusaha masuk ke wilayah itu pada puisi-puisinya di atas, namun
kontruksi puisinya tidak dibangun dengan sikap yang tegas. Ni Made tidak
menggali lebih dalam kepada suasana batin dan lingkungan di sekitarnya. Dia
hanya melihat sesuatu, membayangkan kemudian dikombinasikan dengan perasaannya lalu
dituliskan. Chairil Anwar menegaskan: “Carilah makna kata sampai putih tulang!”
Bagi penyair seperti Ni Made yang tergolong muda dan senang mengembara,
semestinya dia berjuang untuk memperkaya bahasa melalui perburuan dan sekaligus
penciptaan makna baru, setiap kata dalam deretan kalimat, mesti dihadirkan
dengan kualitas yang sama pentingnya dengan realitas, perasaan dan perkembangan
peradaban.
Bagaimana
pun Ni Made telah hadir dengan karya-karyanya, dia berani berdiri sebagai
penyair. Keberaniannya itu mungkin akan membawanya sejajar dengan penyair-penyair
perempuan Indonesia seperti Toety H, Dorothea dan Oka Rusmini, jika dia tidak
berhenti belajar.
Bagaimana
pun juga kehadiran penyair dibutuhkan dalam peradaban manusia, penyair meneguhkan
pesan spiritual, sosial dan lainnya sehingga dalam perkembangan zaman dengan
lahirnya berbagai macam teknologi, puisi yang diciptakan oleh penyair menjadi
daya dorong, daya hidup jiwa-jiwa yang kering. Seperti yang dikatakan Dick
Hartoko, dalam buku Sepilihan Esai dan
Kritik Sastra Klasik Indonesia. Penyair Sebagai Bendahara Sabda, kepada
penyairlah sabda itu diserahkan untuk dipelihara.
Juli 2019
Share This Article :
comment 0 komentar
more_vert